Ilustrated by AI
Pada 30 April 1932, tidak lama setelah konferensi Partai Komunis Soviet ke-17, sebagaimana dicatat Ibe Karyanto dalam bukunya Realisme Sosialis George Lukacs, Komite Pusat partai itu mengeluarkan resolusi tentang reorganisasi dari organisasi seni dan sastra. Adanya resolusi tersebut mendorong terbentuknya wadah tunggal dalam bidang seni dan sastra, di mana Gronsky menjadi ketua komitenya. Adapun sastrawan pencetus realisme sosialis, Maxim Gorky, diangkat sebagai anggota kehormatan. Salah satu keputusan penting yang dihasilkan adalah ditetapkannya realisme sosialis sebagai garis acuan dalam berkebudayaan.
Selanjutnya, oleh Partai Komunis Soviet, realisme sosialis diringkus dalam satu pengertian, yaitu sebagai karya seni yang menggambarkan kemenangan, jiwa patriotik dan optimisme dalam pembangunan sosialisme. Pembakuan realisme sosialis melalui tafsir tunggal inilah yang kelak dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan kreatif. Tidak mengherankan, di luar Soviet, demi mencari terobosan untuk menafsirkan realisme sosialis secara lebih luwes, muncullah berbagai konsep realisme sosialis. Para seniman dan intelektual berideologi kiri, seperti Brecht, Walter Benjamin, hingga George Lukacs, melakukan perdebatan untuk merumuskan kembali konsep realisme sosialis di luar pengertian “resmi” ala Soviet, yang berada di bawah kendali Stalin kala itu.
Di Indonesia, upaya untuk merumuskan pengertian realisme sosialis yang bisa dikonkretkan dengan seni dan budaya Indonesia dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebagaimana dipaparkan oleh Keith Foulcher dalam bukunya Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950-1965.
Buku setebal 216 halaman ini mencoba merekonstruksi sejarah dan sepak terjang Lekra selama lima belas tahun. Sebagai organisasi kebudayaan yang didirikan pada Agustus 1950, Lekra membuka Manifestonya dengan kalimat yang tegas “…bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan memperbudak kembali Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan militer, tetapi juga di lapangan kebudayaan.”
Pembukaan Manifesto Lekra ini menarik disorot karena melihat bahwa revolusi borjuis 1945, yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan, merupakan produk revolusi yang gagal. Kegagalan ini, menurut Lekra, akan berdampak pada kemungkinan bangkitnya kembali kebudayaan feodal dan kolonial, yang berarti kegagalan dari perjuangan untuk menggantinya dengan kebudayaan rakyat. Di atas landasan inilah Lekra berdiri dengan membawa tujuan, sebagaimana disampaikan dalam Manifestonya, “menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan kolonial, kebudayaan kuno, yang reaksioner itu.” Di sinilah realisme sosialis diperlukan sebagai alat untuk melawan bangkitnya kebudayaan feodal dan kolonial.
Realisme Sosialis Yang Dicari
Untuk mendapatkan gambaran lebih konkrit tentang realisme sosialis, sebagaimana disampaikan Foulcher, Partai Komunis Indonesia (PKI), lewat lembaga penerbitannya, Yayasan Pembaruan, memutuskan untuk menerjemahkan karya Marxim Gorky, Ibunda. Pramoedya Ananta Toer terpilih sebagai penerjemah karya tersebut. Dalam otobiografinya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya menjelaskan proses terjemahan Ibunda, yang bermula dia didatangi A.S. Dharta. Menurut Pram, tawaran Dharta itu merupakan suatu berkah karena bayarannya cukup lumayan, apalagi Pram sedang mengalami kesulitan hidup setelah pernikahan keduanya kala itu.
Dalam perkembangannya, Ibunda kemudian menjadi pijakan bagi karya berkarakter realisme sosialis. Ibunda dianggap sebagai prototipe karya realisme sosialis yang dengan tepat menggambarkan konflik sosial dalam masyarakat dan perjuangan untuk mewujudkan masyarakat sosialis. Selain menerjemahkan karya sastra, Lekra juga menerjemahkan esai-esai yang berkaitan dengan tema tersebut. Sebagaimana dicatat Foulcher, salah satu esai yang diterjemahkan oleh Lekra adalah karya penulis Ceko, Pavel Reiman, yang menguraikan realisme sosialis sebagai konsep dengan keyakinan optimisme terhadap kemajuan kemanusiaan dan menggantikan imoralitas dengan moral yang tinggi. Selain esai tersebut, diterjemahkan pula esai karya Tjau Jang dan Louis Aragon.
Pembukaan Manifesto Lekra ini menarik disorot karena melihat bahwa revolusi borjuis 1945, yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan, merupakan produk revolusi yang gagal. Kegagalan ini, menurut Lekra, akan berdampak pada kemungkinan bangkitnya kembali kebudayaan feodal dan kolonial, yang berarti kegagalan dari perjuangan untuk menggantinya dengan kebudayaan rakyat.
Dalam misi pencarian ini, konsep yang lebih baku kemudian dirumuskan oleh Bakri Siregar lewat artikel berjudul Catatan Realisme Sosialis. Dalam artikel itu disebutkan bahwa realisme sosialis “ditentukan semata-mata oleh sikap dan dasar pandangan hidup yang dinyatakan dalam ciptaan itu.” Komitmen kerakyatan dianggap paling penting dalam menciptakan karya. Oleh Lekra, konsep ini kemudian diwujudkan baik dalam karya sastra, musik, seni rupa, film, maupun teater.
Lantas apa yang membedakan karya seniman Lekra dan seniman non Lekra? Boejoeng Saleh mengatakan bahwa perbedaan pengarang Lekra dengan pengarang non Lekra, seperti Ajip Rosidi, W.S. Rendra dan Toto Sudarto Bachtiar, adalah ketidakmampuan mereka melihat realisme sehari-hari yang hanya sebatas observasi. Sebaliknya, para seniman Lekra tidak hanya menggambarkan hasil observasi tersebut, melainkan juga mampu menunjukkan semangat yang militan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih baik dalam karya mereka. Dengan kata lain, karya seni bukan semata ekspresi imajinatif, tapi juga alat perjuangan untuk melawan kebudayaan imperialis yang menindas. Lekra pun menggemakan slogan: Politik adalah Panglima.
Polemik
Selain masalah pencarian landasan kebudayaan realisme sosialis, ulasan menarik lain dari buku karya Foulcher ini adalah tentang polemik seputar masalah seni dan budaya antara kubu Lekra dan non Lekra. Salah satu polemik yang cukup panas kala itu adalah tuduhan plagiat terhadap karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Perdebatan ini cukup panjang, yang dihiasi dengan upaya keras dari kedua kubu untuk menunjukkan bukti-bukti yang mampu menguatkan argumentasi mereka demi mengalahkan pihak lawan.
Selain itu, Lekra juga terlibat dalam polemik seputar penghargaan yang diberikan majalah Sastra. Terhadap pemberian penghargaan tersebut, Lekra menyatakan penolakannya dengan alasan, “mereka tidak bisa menjadi bagian dari ‘kontra revolusioner.’” Polemik Lekra lainnya berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra Indonesia. Demi menentang buku A. Teeuw dan H.B. Jassin, Pramoedya menyusun risalah sastra Indonesia yang diberi judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Lewat risalahnya ini, Pramoedya menentang periodisasi sastra Indonesia yang disusun oleh kedua pakar sastra tersebut, yang menyingkirkan peran pengarang peranakan Tionghoa dan pengarang pelopor nasionalis radikal, seperti Haji Mukti, Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marco. Tulisan Pramoedya ini merupakan salah satu upaya melawan kanonisasi kritikus sastra liberal seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin.
Boejoeng Saleh mengatakan bahwa perbedaan pengarang Lekra dengan pengarang non Lekra, seperti Ajip Rosidi, W.S. Rendra dan Toto Sudarto Bachtiar, adalah ketidakmampuan mereka melihat realisme sehari-hari yang hanya sebatas observasi. Sebaliknya, para seniman Lekra tidak hanya menggambarkan hasil observasi tersebut, melainkan juga mampu menunjukkan semangat yang militan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih baik dalam karya mereka.
Adapun puncak polemik Lekra dengan kubu non Lekra muncul setelah lahirnya Manifes Kebudayaan. Para seniman yang berada di kubu non Lekra mengeluarkan Manifes tersebut untuk menandingi dominasi politik kebudayaan sayap Kiri yang dipelopori Lekra. Para seniman yang menolak konsepsi “Politik adalah Panglima” berkumpul untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran mereka. Setelah Manifes Kebudayaan—yang diolok-olok Lekra sebagai Manikebu alias mani kerbau—Lekra mulai agresif menyerang konsepsi para seniman Manifes hingga akhirnya Presiden Soekarno terpaksa turun tangan, melarang keberadaan Manifes Kebudayaan. Inilah titik kulminasi pertentangan antara “seni untuk rakyat” vs “seni untuk seni”, “realisme sosialis” vs “humanisme universal”.
Lewat uraian Foulcher dalam buku ini, kita disuguhi fakta bahwa polemik dalam dunia seni dan budaya Indonesia adalah hal yang biasa. Misalnya, sebelum Lekra muncul, telah ada Polemik Kebudayaan yang melibatkan berbagai spektrum pemikiran. Pada kenyataannya, polemik-polemik semacam ini justru membuat perkembangan seni dan budaya Indonesia kian matang. Bila hingga kini berbagai polemik dalam bidang seni dan budaya masih terjadi, itu menandakan bahwa tukar menukar pemikiran masih tetap terjaga.
Lewat buku ini pula, kita bisa melihat bagaimana Lekra bisa menjadi organisasi kebudayaan yang besar, salah satunya berkat polemik yang dilakukan baik secara internal (antaranggota) maupun secara eksternal (dengan kubu yang berseberangan). Bahwa Lekra kemudian menjadi pihak yang disingkirkan dalam badai politik kebudayaan setelah Peristiwa 1965 merupakan kenyataan sejarah yang perlu diungkap kembali. Pada titik itu, karya Foulcher ini bisa dilihat sebagai upaya untuk kembali mengangkat Lekra dari penenggelaman sejarah. Sebuah karya yang patut dibaca.***
*) Menulis Kritik Sastra
Judul: Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950-1965
Pengarang: Keith Foulcher
Penerjemah: Rima Febriani
Penerbit: Pustaka Pias
Cetakan: I, September 2020
Tebal: xxiv+ 216 halaman
Isbn: 978-623-94655-0-6