Ilustrated by AI
Bila Ken Arok atau Jokowi adalah keturunan lembu peteng, maka Amir Sjarifuddin yang akan kita bicarakan sekarang, ibaratnya keturunan “lembu (sapi)limosin” yang punya garis keturunan jelas dan unggul alias anak priyayi. Lihat saja silsilahnya. Amir berdarah biru dari bangsawan Batak Angkola asal Pasar Matanggor. Kakeknya, Sutan Gunung Tua, mempunyai jabatan penting sebagai jaksa di Medan, begitu pula bapaknya, Baginda Soripa, jaksa di Medan pula.
Sebagai anak jaksa bin priyayi, sudah jelas Amir hidup dalam budaya feodal. Budaya yang menurut Pramoedya Ananta Toer (2000:178), “tidak dalam tradisi bekerja produktif dan kreatif, cita-citanya sebelum bisa baca tulis sudah digadaikan pada kekuasaan yang berlaku.” Tapi faktanya, Amir ternyata bisa keluar dari kultur feodal. Ia menjadi semacam Minke dalam Bumi Manusia yang, karena didikan Eropanya lantas memunggungi budaya moyangnya. Ia buang gelar kebangsawanannya.
Mirip Minke, Amir juga lebih banyak diilhami oleh Revolusi Prancis dengan slogannya “Persamaan, Persaudaraan dan Kebebasan,” bukannya Revolusi Rusia 1917 yang dipelopori oleh Lenin, atau Revolusi Amerika. Semangat humanisme dari Revolusi Prancis inilah yang kemudian memberikan kesadaran bagi Amir untuk meninggalkan budaya tuan-hamba sahaya, demi merangkul budaya yang egaliter.
Kolonialisme & Feodalisme
Sebagaimana kita tahu, pada zaman penjajahan Belanda, bangsa kita dikuasai oleh dua kekuatan sekaligus: kolonialisme dan feodalisme. Keduanya bersekutu untuk menguasai sumber daya alam dan manusia bangsa ini sehingga, tentu saja, dibutuhkan usaha yang dua kali lipat kerasnya untuk melawan itu. Selain harus menjebol kolonialisme dengan wataknya yang eksploitatif, juga harus meruntuhkan feodalisme yang akarnya sudah tertanam dalam dan lama sejak zaman Kalingga hingga masa Amir dilahirkan. Cuma, khusus di Indonesia, ketika kolonialisme sudah memasuki corak produksi kapitalisme, bangsa ini masih memelihara feodalisme sebagai perpanjangan tangan kekuasaan. Maka jika kemudian Amir terlihat begitu bersemangat untuk membabat dua musuh ini sekaligus—kolonalisme dan feodalisme dengan budaya masing-masing yang sama-sama menindasnya—itu adalah langkah yang sangat tepat.
Budaya Merah
Setelah meninggalkan budaya feodal, Amir memasuki budaya merah yang dianutnya dengan teguh, selain Kristen, sampai kelak ia ditembak mati di Ngalihan, enam hari menjelang Hari Natal atau tepatnya 19 Desember 1948—entah siapa yang menurunkan perintah semacam ini. Budaya merah merujuk pada budaya komunis. Budaya yang di bumi Indonesia sudah berkembang sejak zaman Bapa Sneevliet, Kang Semaun, Mas Marco, Haji Misbach, Paklik Alimin hingga Pakdhe Darsono.
Tentu saja, Amir berkenalan dengan budaya merah pasca pemberontakan kaum merah 1926/1927, setelah ia mudik dari Belanda. Namun persisnya, Amir mengenal budaya merah ini setelah ia dekat dengan Musso. Menurut pengakuannya sendiri, sebagaimana dicatat Soe Hok Gie dalam Orang-Orang Di persimpangan Kiri Jalan, ia adalah orangnya Musso. Jadi jangan heran kalau sampai Peristiwa Madiun 1948, Amir memilih setia berdiri di sisi Musso, berada di sisi kiri jalan.
Budaya merah memberikan Amir kekuatan menentang budaya fasisme. Sikap kaum merah terhadap fasisme sudah sangat jelas: menolak sampai ke akar-akarnya. Titik. “Fasisme adalah serangan yang paling kejam dari kapitalis terhadap rakyat pekerja,” begitu bunyi laporan George Dimitrov dalam Kongres VII Komintern. Bahkan kamerad Stalin, karena menyadari begitu berbahayanya fasisme bagi kaum merah, bahkan mau-maunya dipeluk Roosevent dan Churchill dalam acara konferensi di Teheran dan Yalta. Kalau bukan karena mau melawan fasisme, tentu saja kamerad Stalin anti melakukan itu. Tidak mau ia dekat-dekat dengan pejabat yang bukan bestie-nya seperti dua borjuis Amerika dan Inggris itu.
Di Indonesia, Amir begitu juga: berjuang dengan caranya sendiri, mati-matian melawan budaya fasis yang dibawa Jepang. Hingga di tengah perjuangannya, tiba-tiba datanglah Indeburg dan memberikan uang sebesar 25.000 gulden untuk membiayai perjuangan tersebut. Akibat menerima ini, Sjahrir mengejek Amir sebagai “kacung londo.” Tapi dimaklumi saja kalau anak Menteng itu tak paham jalan Amir melawan fasisme.
Tentu saja, Amir berkenalan dengan budaya merah pasca pemberontakan kaum merah 1926/1927, setelah ia mudik dari Belanda. Namun persisnya, Amir mengenal budaya merah ini setelah ia dekat dengan Musso. Menurut pengakuannya sendiri, sebagaimana dicatat Soe Hok Gie dalam Orang-Orang Di persimpangan Kiri Jalan, ia adalah orangnya Musso. Jadi jangan heran kalau sampai Peristiwa Madiun 1948, Amir memilih setia berdiri di sisi Musso, berada di sisi kiri jalan.
Uang itu lalu dipakai Amir untuk mengonsolidasikan gerakan bawah tanah dengan kekuatan inti para anggota PKI Ilegal. Hingga kemudian terbentuklah Geraf dimana salah satu pimpinannya adalah Amir. Serupa Stalin, kalau bukan karena mau melawan fasisme, tentu saja Amir tidak mau bestie-an dengan Indeburg. Prinsip yang dipakai Amir adalah prinsip yang sering dipakai bocil-bocil zaman sekarang saat bermain game online: lawan dari musuhku adalah kawanku. Jelas tidak ada yang salah dengan prinsip ini. Toh, banyak pahlawan yang lahir dengan cara sungsang begini.
Ketika Amir yang menganut budaya merah bergelut mati-matian melawan budaya fasis, para penganut budaya borjuis seperti Sukarno dan Hatta justru memilih berkolaborasi—atau bahasa kerennya: kolab atau ngantek—dengan Jepang. Budaya yang dianut oleh ketiga tokoh tersebut memperlihatkan mentalitas dan karakter perjuangan mereka masing-masing. Seperti yang terjadi pada Amir.
Pada Februari 1943, Amir bersama 300 orang lainnya ditangkap oleh Jepang. Sudah jelas ia dan rekan-rekannya disiksa habis-habisan, bahkan banyak yang ditembak kepalanya. Amir sendiri disiksa sampai kepalanya ditaruh di bawah. Posisinya persis seperti Yesus yang disalib terbalik. Ada puisi Chairil Anwar—anak Medan satu ini juga melawan fasisme—yang mungkin bisa menggambarkan kondisi Amir ketika dipenjara Jepang:
Itoe Toeboeh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang didalam masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Konon, Amir dikenal sebagai pemeluk Nasrani yang teguh. Dan Puisi Chairil tersebut ditujukan “Kepada Nasrani Sejati.”
Tentara Indonesia & Menteri Pertahanan
Sebagai pelaku budaya merah, Amir juga ingin mengubah budaya tentara Indonesia yang, menurutnya, tercemar fasisme. Semasa menjadi Menteri Pertahanan, Amir menggagas Tentara Rakyat. Ia melihat bahwa tentara yang ada saat itu adalah tentara hasil didikan Belanda dan Jepang yang bermental penjajah sehingga harus diganti dengan Tentara Rakyat yang revolusioner. Maka ia pun mempersenjatai laskar-laskar dan kekuatan pemuda seperti Pesindo sebagai cikal bakal terbentuknya Tentara Rakyat. Namun, upaya ini lekas disapu Hatta.
Hatta hanya mengakui tentara bekas KNIL dan PETA, sementara laskar-laskar rakyat yang sebagian besar bergabung dalam PKI dianggap kotoran sehingga mesti dibersihkan dari tubuh tentara. Sampai sekarang, upaya untuk mengubah budaya tentara warisan KNIL dan PETA tidak kunjung berhasil. Usaha Amir ini sepertinya memerlukan pemimpin yang bernyali besar di masa depan—untuk pemimpin masa kini rasanya tidak perlu disebutkan karena sudah jelas siapa saja calon-calonnya. Budaya tentara yang diharapkan Amir tentu saja bukan budaya culik menculik, menjadi centeng modal, penjual lisensi, tetapi budaya revolusioner seperti Komandate Che Guevara, bukan seperti Jendral L, Jendral B atau Jendral P.
Budaya Front atau Kerjasama
Terakhir, dan tak kalah penting, adalah Amir membawa budaya front atau budaya kerjasama. Ini bisa dilihat dari upaya tak kenal lelah Amir dalam membangun front sejak ditujukan untuk melawan fasisme hingga FDR. Semua upaya itu jelas tujuannya, yaitu agar front ini menjadi pegangan dalam gerakan. Sebuah Front Rakyat. Agar seperti lidi yang bersatu menjadi satu sapu. Namun, apa yang terjadi sekarang? Budaya front ibarat sudah menjadi barang langka. Mudah terkilir oleh pragmatisme dan ego masing-masing. Paling banter, front yang ada sekarang adalah front pilpres. Setelah semua mendapatkan jabatan komisaris sesuai derajat dan pangkat, front akan bubar sendiri. Ironis memang, tapi itulah kenyataan hari ini.
Itulah inti sari budaya yang kemudian mencerminkan tindakan dan pikiran Amir. Yaitu, budaya merah yang bukan merah jambu.
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang meneruskan
Kerja agung juang hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan:
Suluh dinyalakan dalam malammu,
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan
.
(Puisi Henritte Rolland Holst (Tante Janet) di nisan Aliarcham, Tanah Tinggi)***