Manik Wijil Sadmoko sampai saat ini belum ditemukan. Kita patut khawatir akan kebahagiannya. Lelaki kelahiran Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul, sudah lama tak dijumpai oleh kawan maupun lawannya. IKOHI semestinya turun tangan menemukan keberadaannya. Bisa jadi lelaki dengan panggilan Admo ini disembunyikan.
Jangan sampai nasib Admo seperti Atmo Karpo dalam sajak W.S. Rendra:
“Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ke tiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.”
Joko Pandan, kawan karibnya, ketika ditanya keberadaan Admo, menjawab ragu: “Kalau belum pindah, mungkin di Salatiga. Belakang pabrik Damatex. Dulu hidup serumah dengan buruh Damatex, istri, pacar atau adik?” Kita tak tahu apakah Admo masih hidup dengan Sri Asih, mengorganisir buruh. Pernah terdengar ia membaca puisi Dongeng Marsinah di tengah mogok buruh. Suaranya kering mengoyak siang:
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
Kita semua kehilangan Admo. Kita rindu amarahnya. Sorot matanya yang menyala-nyala. Kita kangen bau jaket lusuhnya. Darmawan Iskandar yang tempat kostnya pernah menjadi tempat persinggahan Admo, masih ingat wejangan-wejangannya. Seperti nasihat Santo Petrus, ia meminta Darmawan untuk bersabar menghadapi cobaan perjuangan. “Jangan tinggalkan tempatmu sebelum ada penugasan baru,” begitu kata Admo sambil menghisap sebatang lisong. Dalam pertemuan di dekat Terminal Tingkir, Admo berpesan agar Sindu di karantina karena menyebarkan virus yang berbahaya: virus menjadi pangreh projo.
Kita semua merindukan Admo yang tak pernah lelah bicara basis. Dia tak pernah terlihat mendengarkan musik atau jalan-jalan ke mall. Hari-harinya hanya diisi dengan membangun basis. Ia pernah menjadi “raja” Jawa Tengah, tapi kalah dalam pertarungan di kota Bandeng Juwana. Hanya Musanto dan Bismo saja yang mengikutinya. Darmawan pun tak mau mengikuti tapak tilasnya. Seorang organiser sejati memang harus siap hidup seorang diri. Seperti pada masa ketika gerakan Kiri masih padam, Admo sendirian di Pijar, kadang ditemana Pedro atau Yudi. Malam-malam panjang yang sunyi. Masih jauh dari harapan Soeharto akan tumbang.
Pernah suatu malam, selepas rapat, Admo dikejar anak-anak Kapala. Pasalnya ia berjalan mengendap-ngendap. Saat itu, rasa paranoid dikejar aparat masih tersisa. Kiswondo masih menganggap seorang anak yang belajar sepeda motor, bolak-balik di depan Dian Budaya, sebagai intel. Rasa trauma pasca 27 Juli masih menggelayut, samar-samar.
Sampai kini kita tak tahu keberadaan Admo. Wilson sebagai koordinator IKOHI semestinya turun tangan. Ada aktivis Kiri yang menghilang. Teman-temannya mencarinya, tapi tak juga menemukan sisik meliknya.
Sebagaimana Pat Kai dalam serial Kera Sakti, Admo sepertinya harus menanggung derita yang tiada akhir. Organisasi yang pernah ikut didirikannya patah berkeping-keping. Kisah cintanya sering kali karam dalam luka hati. Ia semakin menenggelamkan diri dalam kesunyian. Mungkin benar kata Chairil Anwar: “nasib adalah kesunyian masing-masing.”
Kita hanya bisa merapalkan mantra Kakek Jabat: Admo, datanglah. Kami merindukanmu. Ada buku yang memuat namamu.***