Oleh: Endhiq Anang P
Tentang Peniup Seruling
M. Rustandi Kartakusuma dalam esainya memperkenalkan istilah pijpers (peniup seruling). Pijpers diperuntukkan bagi para kritikus sastra yang berasal dari negeri Belanda. Mereka itu, menurut Rustandi, mempunyai peranan vital dalam menentukan baik-buruknya karya sastra yang ditelurkan para penulis Indonesia generasi pasca kemerdekaan. Ironisnya, para penulis Indonesia begitu saja menari mengikuti irama seruling yang ditiup para kritikus yang pernah menjajah bangsanya. Dengan nada sarkastis, Rustandi mengatakan: ”Djika seruling lambat lagunya, lambat pula kita berdansa, bila seruling tjepat, tjepat pula kita. Dengan kata lain, kita hanya pembuntut.”
Gothe pernah menggubah cerita rakyat Jerman: Peniup Seruling dari Hamelin. Dikisahkan di kota Hamelin kedatangan peniup seruling. Tampilan si peniup seruling cukup memikat. Atraktif dengan pakaian warna-warni. Anak-anak pun banyak yang terpesona. Si peniup seruling itu memang mempunyai kekuatan sihir. Ketika seruling ditiup, anak-anak seperti domba yang mengekor pada penggembalanya. Tanpa sadar,mereka telah jauh meninggalkan kota. Kisah gubahan Gothe masih paralel dengan sinisme Rustandi: keterpukauan terhadap kritikus asing. Dengan segepok analisa yang seolah-olah memikat, mereka telah menyihir para sastrawan seperti anak-anak di kota Hamelin, yang mengekor begitu saja hingga tak sadar kalau sedang digiring masuk jurang.
Dalam lanskap kapitalisme, sastra termasuk medan pertempuran ideologi. Keith Foulcher menulis artikel yang memperlihatkan kecenderungan tersebut. Salah satu yang menarik dalam uraiannya, yaitu hubungan CCF (Congress of Cultural Freedom)—lembaga kebudayaan yang ada kaitan dengan CIA—dengan majalah Konfrontasi. Majalah Konfrontasi yang dikomandoi oleh Takdir Alisjahbana memuat tulisan anggota CCF seperti Richard Wright dan V.K Gokak. Dengan memuat tulisan semacam itu,secara langsung Konfrontasi menjadi corong CCF.
Lantas di mana posisi kritikus di tengah pertarungan tersebut? Kritikus tak bekerja di ruang kosong. Kritikus bukanlah wasit yang diharapkan berperan netral. Ia adalah pemain dalam dunia sastra. Sebagai pemain, ia akan berjuang demi kepentingan klub yang dibelanya. Tak bisa dielakkan, kritikus sastra adalah pembawa misi zending sastra yang berangkat dari kepentingan ideologi tertentu.
Dari Leiden Lahirlah Pokok dan Tokoh
Setelah pengakuan kedaulatan, banyak lembaga kebudayaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, salah satunya Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking).Tujuan utama Sticusa adalah mengendalikan sastrawan Indonesia agar selalu berkiblat ke Belanda. Profesor Logemann, direktur Sticusa, dalam Jaarboeken (Buku Tahunan)volume pertama menyatakan dengan gambling bahwa, “budaya Belanda kita adalah budaya dunia.” Dengan begitu, agar terjadi pengadaban maka perlu disebarkan ke “bangsa-bangsa yang masih muda.” Tentu saja, Indonesia adalah salah satunya.
Selain Sticusa masih ada pihak lain yang berperan. Ada kelompok yang dikomandani Roh Nieuwenhuis dan kawan-kawannya, misalnya. Mereka kemudian menerbitkan majalah seperti Orientatie, Kritiek en Ophouw dan Tjidsein. Tujuan zending sastra ini adalah mengenalkan sastra Indonesia ke pembaca Belanda. Sebaliknya, mereka membanjiri Indonesia dengan karya-karya Eropa terakhir. Ada pula kelompok Dolf Verspoor. Ia sastrawan yang kurang sukses di Belanda. Ia datang ke Indonesia bersamaan dengan agresi militer Belanda. Tugas yang diembannya adalah mensuplai literatur-literatur Barat untuk para sastrawan Indonesia.
Selain semangat humanisme universal yang mereka bawa, lembaga, kelompok atau perorangan yang berasal Belanda tersebut juga mengemban misi suci menyebarkan pesimisme Barat. Memang, sebagian rencana mereka ini berhasil. Sastrawan-sastrawan seperti Idrus, Achdiat, dan Utay Tatang Sontani, menurut Prof. Wertheim, telah terjangkiti pesimisme Barat. Menurutnya, untuk apa pesimis padahal Indonesia tak kehilangan apa-apa, malah mendapatkan kebebasan lewat kemerdekaan.
Begitulah usaha Belanda untuk terus menerus menyetir kehidupan sastra Indonesia. Nah, di antara pastor sastra Belanda yang datang ke Indonesia, salah satunya adalah A. Teeuw. Ialah si Peniup Seruling dari Leiden itu.
Teeuw memang rapi dalam menyimpan posisi dirinya. Ia secara resmi tak masuk kelompok Sticusa, Orientatie, atau Dolf Verspoor. Keterlibatannya secara terbuka hanyabisa dilihat dari peranannya dalam majalah Chatulistiwa. Majalah ini merupakan majalah Indonesia di Amsterdam yang di belakangnya terdapat seorang pendeta dominikan. Di majalah inilah Teeuw banyak meniupkan irama serulingnya yang kemudian diikuti joget para sastrawan di Indonesia. Tentang hal ini, Rustandi menyindir: “…dia berseruling (“pijpen”), dan masih banyak di antara kita jang berdansa ‘naar zijn pijpen’, misalnya saja fakultas Sastra Universiteit Indonesia–eh, ma’af–Universitas Indonesia.”
Dalam perkembangan selanjutnya, peran Teeuw lebih dominan dibandingkan kritikus-kritikus lain yang berasal dari Belanda. Ketika yang lain memudar, Teeuw semakan bersinar. Jika ia menyebut seorang sastrawan bagus maka yang lain akan menganggukkan kepala. Sebaliknya, ketika ia menyebut karya seorang pengarang buruk maka pernyataan tersebut sudah dianggap sebagai hukum pancung bagi si pengarang, karena yang lainnya akan mengecap serupa sabda Teeuw. “Bagi kebanjakan sasterawan2 kita jang belum terbentuk,” sindir Gajus Siagaan tentang para pengarang yang girang dengan penilaian Teeuw, “tjap itu sudah merupakan djaminan bahwa barang itu adalah patent dan menganggap buku2 mereka seperti Kitab Injil atau Kor’an jang harus dipertjajai.”
Kumpulan sabda-sabda Teeuw bisa dibaca dalam buku berjudul Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru (selanjutnya disebut Pokok dan Tokoh). Buku yang diterbitkan oleh Jajasan Pembangunan (1952) merupakan terjemahan dari Wereldoor Voltooid Voorspel, Indonesische Literatuur tussen twee Weredoorlogen (Jajasan Pembangunan, 1950). Seperti yang telah diuraikan di muka, Jajasan Pembangunan merupakan penerbitan milik gank Roh Nieuwenhuis/Orientatie. Dari penerbitnya saja sudah bisa dibaca arah buku Pokok dan Tokoh, yang tidak lain untuk menyuarakan kepentingan kelompok Orientatie (walaupun Teeuw tak secara resmi berada di dalamya).
Titik tolak Teeuw dalam Pokok dan Tokoh dimulai dari Pujangga Baru. Pilihan ini bukan muncul begitu saja, melainkan pilihan ideologis. Generasi Pujangga Baru merupakan produk pendidikan kolonial sebagai hasil dari program Politik Etis: edukasi. Dibukanya kesempatan sekolah bagi penduduk Pribumi, yang tujuan awalnya adalah menyiapkan tenaga administrasi bagi birokrasi dan perkebunan-perkebunan Belanda, ternyata mampu menghasilkan sastrawan-sastrawan “berbakat” sebagai cikal bakal kesusastraan Indonesia modern.
Sebagai anak didik Politik Etis, kiblat Pujangga Baru jelas ke Barat. Hal ini sangat kentara disampaikan oleh Takdir dengan nada bangga, “bahwa oleh pertemuan bangsa kita dengan budaya Barat,” yang menurutnya “hampir segala hal lebih maju daripada kita”, secara langsung akan mempengaruhi kesusastraan Indonesia. Dengan kata lain, Pujangga Baru hanya akan bisa bertumbuh bila menyusu pada Barat (Belanda).
Selain Pujangga Baru, Balai Pustaka—sebuah lembaga penerbitan yang didirikan oleh Belanda— juga dianggap sebagai titik keberhasilan Belanda yang lain. Tujuan Balai Pustaka adalah menyediakan bacaan-bacaan yang sesuai kepentingan kolonial. Prototipe manusia-manusia modern didikan Belanda bisa ditemui dalamkarya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, seperti Sitti Nurbaya, Salah Pilih, Layar Terkembang, sampai Azab dan Sengsara.
Selain bertitik pangkal pada Pujangga Baru dan Balai Pustaka sebagai awal sastra Indonesia modern, pilihan ideologis Teeuw juga tampak pada tidak dimasukkannya sastrawan Kiri. Padahal sastrawan-sastrawan tersebut berada dalam periode yang berhimpitan dengan Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Dua nama dapat disebut: Mas Marco dan Semaoen. Keduanya aktivis PKI (Partai Komunis Indonesia)yang dengan garang menyerang kolonialisme Belanda. Mas Marco menghasilkan karya-karya seperti Rasa Merdika dan Student Hidjo, sedangkan Semaoen dikenal sebagai pengarang Hikayat Kadiroen. Karya-karya mereka, oleh Pramoedya, disebut sebagai karya realisme sosialis periode awal. Teeuw dengan sengaja menghilangkan keberadaan sastrawan-sastrawan Kiri yang ikut mewarnai perkembangan awal sastra Indonesia modern. Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, sikap Teeuw yang memandang sebelah mata sastrawan Kiri tak pernah berubah. Ini wajar, sebagai bopo-biyung humanisme universal, ia harus menyuarakan kepentingan ideologinya.
Pokok dan Tokoh memang bermaksud membingkai perkembangan sastra Indonesia modern sesuai dengan keinginan Belanda. Dan, di Indonesia Teeuw mempunyai kolega bernama H.B Jassin (yang kelak dijulukinya Paus Sastra Indonesia). Dua orang ini seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kalau Teeuw punya Pokok dan Tokoh, Jassin memiliki Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (1954). Dalam bukunya tersebut, Jassin juga bertolak dari Pujangga Baru.
Jassinlah yang pertama kali memperkenalkan istilah humanisme universal. Ia memaparkan konsep humanisme universal dengan gamblang sebagai jawaban atas pertanyaan Aoh Kartadimadja. Baginya, kapitalis ada yang jahat dan ada pula yang baik. Dengan kata lain, kapitalisme buruk bukan karena sistemnya, tapi karena manusia-manusia yang ada di dalam sistem itu. Pun, humanisme Barat.
Teeuw Merumah-kacakan Pramoedya Ananta Toer
Ketertarikan Teeuw pada Pramoedya sudah muncul sejak masa-masa awal kepengarangan sastrawan kelahiran Blora itu. Pram sendiri sempat heran kenapa dalam usia kepenulisannya yang masih belia, ia mendapatkan perhatian yang besar dari Teeuw. Ia menduga perhatian yang luas terhadap karya-karyanya bukan sebentuk penghargaan, “tapi sekedar didasarkan pada keingintahuan dunia internasional tentang Indonesia” yang bisa merdeka tanpa “perkelahian bersenjata.” Pram sudah curiga sejak awal dirinya sedang dirumah-kacakan.
Dalam Pokok dan Tokoh, Teeuw memberikan pujian yang luar biasa terhadap Pram: “Saja sendiri menganggap bahwa Pramoedya Ananta Toer hingga sekarang adalah pengarang prosa terpenting jang terdapat dalam kesusasteraan Indonesia…” Dalam uraiannya tersebut bahkan Teeuw mau berperan sebagai malaikat pelindung bagi Pram dari serangan-serangan kritikus sastra lain.
Ada dua karangan Pram yang diulas Teeuw dalam Pokok dan Tokoh, yaitu Perburuan dan Keluarga Gerilya. Keduanya dipuji sebagai “kesaksian seorang pengarang jang bergulat untuk satu2nja harta yang jang dikenalnja: kemanusiaan.” Tentu saja kemanusiaan yang dimaksud adalah kemanusiaan yang universal. Ada orang pribumi yang jahat, ada pula orang Belanda yang baik. Pun, sebaliknya. Oleh sebab itu, untuk menutupi aspek ideologis karya-karya Pram tersebut, Teeuw berputar-putar pada psikologi tokoh-tokohnya. Sedangkan aspek “pemberontakan” terhadap fasisme Jepang (dalam Perburuan) dan perlawanan terhadap agresi militer Belanda (dalam Keluarga Gerilnya) dibuang oleh Teeuw.
Pram sendiri menyebut bahwa keberanian para pemuda melawan penjajahan merupakan bentuk revolusi jiwa: “epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka.” Karya-karya Pram pada periode ini, seperti Di Tepi Kali Bekasi, Keluarga Gerilya dan Perburuan, memang lebih banyak berbicara tentangrevolusi jiwa—sebuah revolusi yang tak kalah pentingnya dengan revolusi fisik dan revolusi sosial. Tapi yang disinggung-singgung oleh Teeuw hanya sebatas aspek kemanusiaan, tanpa menyebut perjuangan revolusioner melawan fasisme Jepang dan agresi Belanda.
Penilaian Teeuw mulai bergeser ketika Pram menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dekat dengan PKI. Pandangan tersebut tercermin dalam Modern Indonesia Literature I (terjemahan bahasa Indonesia, Sastra Baru Indonesia I). Dalam buku tersebut, Teeuw membandingkan karya-karya Pram sebelum dan setelah menjadi anggota Lekra.
Setelah menjadi anggota Lekra, Teeuw menganggap karya-karya Pramoedya menuju jalan mundur. Karya Pram seperti Sekali Peristiwa di Banten Selatan dinilainya “percobaan untuk bertujuan itu buruk kesannya kepada aspek-aspek kemanusiaan dalam cerita itu.” Maksud “bertujuan” tentu saja sastra untuk rakyat sebagaimana garis berkesenian Lekra, yang dinilai Teeuw telah menjauh dari “aspek-aspek kemanusiaan [universal].” Terhadap cerita Paman Martil, Teeuw memberikan hujah: “Malah kurang lagi kita dapati Pramudya yang lama dengan persoalan-persoalan kemanusiaan…”, karena cerita itu bersimpati pada pemberontakan PKI tahun 1926. Sedangkan untuk Panggil Aku Kartini Sadja, Teeuw bersabda: “Gambarannya tentang Kartini dalam Panggil Aku Kartini Sadja tentu saja agak berat sebelah karena segi pandangan Marxis yang digunakannya.”
Sudah pasti, Teeuw kecewa dengan perubahan Pram yang beralih ke Kiri. Penulis yang digadang-gadangnya sebagai yang “terbaik” dalam sastra Indonesia modern itu telah murtad dari ideologi humanisme universal. Dengan nada menyesal Teeuw mengatakan: “…sekembalinya dari Peking barulah impian pujangga itu digantikannya dengan tindakan-tindakan pejuang masyarakat.” Demikianlah, Teeuw mengakui Pram sebagai sastrawan “terbaik” hanya sampai pada tahun 1956: “Pramudya dari zaman antara tahun 1946 sampai 1956 merupakan penulis prosa modern Indonesia yang terbesar.” Setelah tahun itu, Pram telah menjadi Pram yang komunis.
Setelah Pram dikurung oleh rezim Suharto di Pulau Buru, Teeuw tidak menulis apa-apa lagi tentang Pram. Ia juga tak pernah protes terhadap penahanan Pram dan penulis-penulis Kiri lainnya. Ia hanya menyatakan proses penahanan tanpa pengadilan itu bertentangan dengan semangat humanisme universal dan Pancasila.
Setelah Pram lepas dari kamp konsentrasi di Pulau Buru dan langsung menggebrak publik sastra Indonesia dengan terbitnya Bumi Manusia (1980)—bagian pertama dari Tetralogi Buru—Teeuw bangkit lagi. Ia langsung menulis di De Volkskrant pada tanggal 25 Oktober 1980 untuk menyambut keluarnya Bumi Manusia. Dengan nada girang ia menulis: “…Bumi Manusia merupakan karya yang amat mengesankan dan mempesona…. menampilkan kelahiran manusia Indonesia modern, langsung menembus derita ganda.” Dan lebih dahsyat lagi, ia menyatakan: “…apabila dia dapat mempertahankan mutu Bumi Manusia dalam jilid-jilid selanjutnya, saya kira pencalonan untuk Hadiah Nobel memang selayaknya harus dipertimbangkan secara serius.”
Kajian Teeuw lebih luas tentang Tetralogi Buru kemudian dituangkan dalam Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997). Buku ini memang khusus mengulas karya Pram dari awal sampai akhir. Menurut Teeuw,hadirnya buku itu bertujuan untuk “memberikan tanggung jawab pembacaan karya sastra Pramoedya selama hampir setengah abad.”
Pembahasan Teeuw terhadap Tetralogi Buru dalam buku tersebut sebetulnya lebih tepat disebut sebagai resume, bukan kritik sastra. Ia menulis ringkasan isi novel dari awal sampai akhir sembari memberikan komentar-komentar sambil lalu tentang tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Pembahasan Teeuw memang cocok bagi pembaca Barat dan pembaca umum yang belum membaca Tetralogi Buru. Seperti pengakuannya sendiri, buku ini memang ditujukan untuk pembaca awam sehingga “sedapat mungkin dihindari uraian-uraian teori sastra.”—walaupun pada bagian sebelumnya ia menyebut bukunya sebagai kritik sastra.
Sebetulnya yang terpenting dari buku Teeuw adalah bagian kesimpulannya. Teeuw menyiratkan bahwa Pram telah bertobat dari pemikiran sastra bertendensi (realisme sosialis ala Lekra). Ia menyatakan: “Pramoedya sendiri dalam tahun 1958-1965 menciptakan beberapa karya yang pesan ideologi kirinya dominan.” Tapi Teeuw lega karena “tulisan semacam ini tetap merupakan kekecualian dalam keseluruhan karyanya.” Dengan pernyataan tersebut—mengecualikan Pram pada periode sebagai anggota Lekra—Teeuw menganggap Tetralogi Buru tak ada mengandung ideologi Kiri (realisme sosialis). Benarkah?
Ideologi Kepengarangan Pramoedya Ananta Toer
Sebelum menelisik apakah Tetralogi Buru bersih dari unsur-unsur sastra realisme sosialis, ada baiknya melihat terlebih dahulu ideologi Pram sebagai pengarang. Tujuannya untuk melihat sejauh mana ideologi tersebut kemudian mempengaruhi karya-karyanya. Dengan begitu bisa dilihat apakah Pram konsisten dengan ideologi yang dianutnya atau tidak.
Pram pernah menjadi bagian kelompok Gelanggang yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Sebagai bagian dari Gelanggang, ia sedikit banyak terguyur oleh pandangan humanisme universal. Dengan mengaku sebagai pewaris budaya dunia, Gelanggang mengampanyekan sifat universal kemanusiaan mereka. Bagi Gelanggang, rakyat bukan terbatas dari kelas tertentu saja. Rakyat adalah semua manusia yang ada di muka bumi.
Dalam esai berjudul Tentang Angkatan yang terbit di majalah Indonesia, Pram membela Angkatan ’45 sebagai tulang punggung Gelanggang. Tulisan tersebut dibuat untuk menyanggah esai Jogaswara (A.S. Dharta) yang berjudul Angkatan ’45 Sudah Mampus. Dalam tulisannya, Jogaswara menyatakan kematian Angkatan ’45 karena tak berdaya memberikan respons terhadap konflik politik yang pecah hingga menjadi Peristiwa Madiun 1948. Maka Jogaswara memaklumatkan “Di Madiunlah dikuburkan Angkatan ‘45”. Pram menyanggah dengan berkata bahwa selama angkatan masih menghasilkan karya maka ia masih terus hidup. Tulisnya: “Tetapi suatu angkatan tidak akan mati selama ia telah menjumbangkan hasilnja kepada sedjarah.”
Pergaulan Pram dengan Gelanggang tak berumur panjang. Tidak lama setelah membela Gelanggang, Pram menulis esai berjudul Kesusastraan dan Perjuangan. Dalam esai ini Pram mulai berpihak kepada orang-orang yang dikalahkan oleh sistem yang menindas. Ia melihat kesusastraan sebagai “alat” perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik. Mengutip V. Yermilov, Pram menyatakan bahwa penulis seperti Mayakovsky, Gorky, Nikoloi Ostrovosky, hingga Leonid Leonov, adalah “barisan pengarang yang memperjuangkan hari depan buat kesejahteraan ummat manusia dan memerangi kerakusan kapitalisme yang merampas kekayaan untuk memuaskan nafsu kekiniannya dengan menghancurkan seluruh kemungkinan yang baik buat hari depan.”Dengan posisi pengarang seperti itu, Pram menyatakan “…kesusastraan bukanlah hasil permainan kata kosong belaka.” Karya sastra bukan “barang antik yang baik untuk dipajang di atas buffet untuk dilihat tamu yang datang.” Bagi Pram, hasil kesusastraan mempunyai “fungsi dalam sejarah kehidupan manusia.” Dan, ia menutup esainya dengan mengutip perkataan Victor Hugo tentang kesusastraan: “hendaknya punya fungsi dalam jamannya.”
Menurut Savitri Scherer, esai Kesusasteraan dan Perjuangan merupakan awal perceraian Pram dengan Gelanggang. Setelah itu, Pram menulis esai Kesusastraan Sebagai Alat, yang mempertegas lagi pandangannya bahwa sastra semata sebagai alat seperti halnya “golok, alu, sepeda, mesin tulis dan sebagainya.” Oleh sebab itu, sebagai alat, kesusastraan bisa digunakan untuk mencapai maksud tertentu. Tak mengherankan kalau kemudian kesusastraan sering dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan mereka. Menurut Pram, yang dimanfaatkan sebetulnya bukan karya sastranya, tapi pengarangnya yang berhasil dikendalikan untuk menciptakan hasil sastra yang sesuai kepentingan tertentu. Pram mengambil contoh sastra zaman Jepang dan Jawa Baru sebagai sastra yang diperalat. Agar sastrawan tak diperalat maka ia harus tahu tujuan menulisnya, juga agar tak mudah dibelokkan.
Setelah menyatakan kesusastraan sebagai alat, Pram kemudian menulis esai berjudul Definisi Keindahan dalam Kesusastraan. Pram menggugat definisi kesusastraan sebagai “keseluruhan cipta manusia baik dalam prosa atau puisi untuk mengucapkan sesuatu keindahan.” Baginya, “hidup manusia ini bukanlah keindahan saja yang penting.” Sastra bukan seperti zaman romantik lagi yang semata-mata menggambarkan keindahan. Kini, sastra “bukan lagi merupakan nyanyian” tentang keindahan. Sastra harus mulai bicara tentang “[k]eadilan, kemanusiaan, kesusilaan bahkan kebangsaan tak jarang diucapkan dengan keyakinan yang penuh di luar segala yang dinamai keindahan.” Pram menghendaki karya sastra yang berbicara tentang realitas kehidupan dalam bentuk “realisme pait” seperti Black Boy karya Richard Wright. Dengan esai ini, Pram menolak kritik sastra formalis yang dikembangkan oleh Teeuw dan Jassin; sebuah kritik hanya berputar-putar pada estetika bentuk dan struktur karya.
Hong Liu melihat titik balik Pram setelah kepergiannya ke Tiongkok. Pada Oktober 1956, Pram diundang untuk menghadiri konferensi dalam rangka memperingati 20 tahun kematian Lu Xun. Sejak kepulangan dari Tiongkok, Pram menukar “humanisme universalnya digantikan oleh realisme sosialis tulen.” Sebenarnya, sebelum berangkat ke Tiongkok, Pram sudah semakin berbelok ke Kiri.
Dalam esai Tendesi Kerakjatan yang ditulis beberapa bulan sebelum berangkat ke Tiongkok, Pram melihat unsur-unsur kerakyatan mulai menjadi perhatian para sastrawan. Ia menyebut S.M. Ardan, sebagai contoh, yang dalam tulisan-tulisannya telah menggambarkan “tukang betjak, pelatjur Senen, pemain2 doger, tukang es dan sebagainya.” Pram juga menyebut Ajip Rosidi, yang dalam cerita pendeknya kuat unsur-unsur kerakyatan. Tapi menurut Pram, mereka “masih merupakan turis jang mengembarai daerah baru, mengumpulkan kenang2an jang lain daripada jang lain untuk ditjeritakannja kepada semua orang.” Walaupun begitu, Pram menyambut positif perhatian para pengarang terhadap masalah-masalah kerakyatan. Baginya, perkembangan itu sebuah kemajuan karena sebelumnya “tokoh dan lingkungan jang diambil ialah dari kehidupan kaum bordjuis, kaum pegawai, kaum terpeladjar serta versi2 baru daripada tjerita2 lama.” Tendensi kerakyatan ini, menurut Pram, akan mengalami kemajuan bila “sifat2 turisme itu hilang.”
Setelah menulis Tendensi Kerakjatan, Pram mempublikasikan Hidup dan Penulisan Kreatif di majalah Indonesia, yang merupakan terjemahan atas tulisan Ting Ling. Pengarang, menurut Ting Ling, haruslah memahami kondisi lingkungan dengan baik. Caranya, dengan hidup di tengah-tengah rakyat. Pengarang tak hanya cukup menimba kisah dari “merasuki hidup” dengan mengamati-amati semata. Dengan cara seperti itu, seorang pengarang memang akan mendapatkan banyak bahan untuk ceritanya, tapi bahan-bahan itu dangkal. Makna “merasuki hidup” yang tepat adalah dengan jalan: “…masuk ke tengah-tengah rakjat, bitjara dengan mereka, dan ikut berdjuang dengan mereka melawan kekuatan-kekuatan kuno….” Dengan kata lain, pengarang tak hanya bisa menjadi penonton, atau dalam bahasa Pram, menjadi turis semata. Dengan menerjemahkan esai Ting Ling, Pram mulai tertarik dengan metode sastra realisme sosialis yang dikenal dengan istilah turba (turun ke bawah).
Tentu saja agar perjuangan pengarang seperti yang dianjurkan Ting Ling menjadi kuat maka dibutuhkan sebuah organisasi. Berselang dua bulan setelah menerjemahkan esai Ting Ling, Pram menerjemahkan esai George Reavey, Hidup dan Organisasi Pengarang Sovjet. Esai ini menekankan pentingnya sebuah organisasi pengarang untuk mencapai tujuan bersama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat tertindas. Esai ini cukup lengkap membabar mulai dari tujuan sampai susunan organisasi pengarang Soviet. Penerjemahan ini merupakan titik balik dalam diri Pram; dari seorang pengarang individualis menjadi pengarang yang mulai tertarik terhadap pentingnya organisasi.
Bermodalkan pergulatan pemikiran yang tercermin dari esai-esainya di atas, Pram berangkat ke Tiongkok. Dalam pidato di acara tersebut, Pram langsung menggebrak: “Lu Xun memilih untuk berada di sisi orang-orang yang menderita akibat kesulitan hidup dan penderitaan… Ia tidak hanya membuat pilihan, tetapi juga berjuang untuk memastikan cita-citanya terwujud dalam kehidupan nyata. Ia seorang realis dalam pemikiran dan realis dalam tindakan.” Pidato ini tidak lain penekanan dari esai-esai yang telah ditulisnya. Pram yang baru telah lahir. Pram yang tak disukai Teeuw.
Sepulang dari Tiongkok, Pram sudah menjadi pribadi baru walaupun belum bergabung dengan Lekra. Sebagai bentuk pandangan barunya ia menulis esai berjudul Sedikit Tentang Pengarang Tiongkok. Esai ini menguraikan tugas Perhimpunan Pengarang Tiongkok. Pram mengagumi keberhasilan organisasi dalam menghimpun para pengarang Tiongkok. “Mula2 saja berpikir,” tulis Pram, “tidakkah organisasi jang mempujai tugas begitu banjak terhadap para anggotanja tidak akan membikin perpetjahan karena ikatannya.” Pram lantas menyadari keraguannya itu terjadi karena berangkat dari titik tolak yang salah, yaitu menyamakan Tiongkok dengan Indonesia. Menurutnya, para pengarang Tiongkok bisa bersatu dalam organisasi karena “berpandji-pandji sama, jakni padji-panji Marxisme-Lenisme.” Persamaan ideologi itulah yang membuat para pengarang mempunyai pandangan yang sama tentang tugas dan fungsi sastra.
Pram kembali ke Tiongkok pada tahun 1958. Pada kunjungan kedua ini Pram bukan anak culun lagi dalam khasanah kesusastraan Kiri. Bila pada kujungan pertama ia masih ragu-ragu menentukan sikap terhadap garis kesusastraan Tiongkok maka pada kunjungan selanjutnya ia telah berubah matang. Ia memandang positif peranan sastrawan Tiongkok dalam partisipasi politik dan sosial, dimana salah satunya melalui program pembuatan baja sebagaimana yang dicanangkan Mao. Pram sendiri ikut turun ke lokasi pembuatan baja untuk menggambar grafik hasil industri tersebut. Periode ini,menurut Hong Liu, merupakan masa ketika Pram “telah melewati tahap ketidakterlibatan dan kekecewaan; ia telah memulai upaya mengubah masyarakat tidak hanya menggunakan pena, tapi melalui tindakan.” Setelah kunjungan kedua ini, Pram menjadi bagian dari Lekra.
Sebagai manifestonya untuk bergabung dengan Lekra, Pram membuat tulisan panjang berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Dalam buku ini, pokok-pokok pikiran Pram tentang realisme sosialis dijabarkan secara lengkap; mulai dari definisi istilah tersebut, perbedaannya dengan humanisme universal, periode sastra Indonesia menurut sudut pandang realisme sosialis, sampai metode-motode untuk menguasai realisme sosialis. Sampai saat ini, mungkin tulisan Pram merupakan satu-satunya yang menguraikan realisme secara lengkap, yang ditulis oleh penulis Indonesia. Kalaupun ada tulisan tentang realisme sosialis yang lain maka lebih banyak mengekor di belakangpandangan Pram.
Nah, apakah Tetralogi Buru menggambarkan realisme sosialis seperti yang ditulis Pram? Betulkah penilaian Teeuw bahwa Tetralogi Buru bukan sastra bertendensi?
Tetralogi Buru Dikupas Dari Perspektif Realisme Sosialis
Lekra terkenal dengan semboyannya: Politik adalah Panglima. Menurut Pram,sebelum menulis, seorang pengarang terlebih dahulu perlu mengkaji bahan-bahan yang dimilikinya dari sudut pandang politik. Baginya, kesalahan analisa politik lebih berbahaya dibandingkan kesalahan artistik. Oleh sebab itu, “politik harus jadi obor.”Pram sejalan dengan Njoto bahwa politik harus sebagai penuntun setiap langkah. Dan, politik di sini bukanlah politik elit, tapi politik berdasarkan garis massa.
Gema “Politik adalah Panglima” terlihat sangat jelas dalam Tetralogi Buru. Kata-kata Minke dalam Rumah Kaca sangat gamblang: “Semua berpautan dengan politik!” Inilah gema realisme sosialis ala Lekra. Dengan panjang lebar Minke menjabarkan bahwa sejak zaman nabi, orang tak bisa lepas dari politik. Lebih tegas Minke menyatakan: “selama masih ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik.” Begitulah politik, senang atau tidak, semua bertautan dengannya. Dengan kata lain, politik adalah panglima.
Minke, protagonis dalam Tetralogi Buru, bisa dikatakan cermin perjalanan ideologi kepengarangan Pram. Ia berasal dari lingkungan priyayi Jawa yang memiliki prestise dibandingkan golongan hamba sahaya. Dengan prestisenya itu, ia bisa menikmati pendidikan kolonial sampai tingkat tertinggi. Sebagai siswa HBS, ia gemarmenulis—seperti Pram. Sebagai produk manusia modern, ia sangat menggandrungi Barat. “Dalam hidupku, baru seumur jagung,” aku Minke, “sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan [Barat] telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya.” Dengan bekal baru tersebut, ia merasa “telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya.”
Kegandrungan pada Barat membuat Minke memuji segala produk modernisme Barat. Ia mengagumi percetakan dan berseru: “Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari.” Ia terkesima oleh kemajuan mesin. Katanya,“Kekuatan bukan lagi monopoli gajah dan badak. Mereka telah digantikan oleh benda-benda kecil buatan manusia: torak, sekrup dan mur.” Kekaguman Minke pada Barat tak hanya berhenti pada hasil modernisasinya, tapi juga pada perempuannya. Minke terpesona oleh calon ratu Belanda. Ia memujinya sebagai: “Dara kekasih para dewa…”Kecantikan perempuan macam itu bisa terjadi karena “letak dan bentuk tulang yang tepat, diikat oleh lapisan daging yang tepat pula.”
Keterpukauan pada Barat juga membuat Minke memilih bahasa Belanda dalam karier awal kepenulisannya. Awalnya, ia menulis iklan sebelum beralih menulis cerita fiksi. Ia mempublikasikan karyanya dalam koran S.N. v/d, antara lain berjudul Een Buingewoon Gewoone Nyai di Ik ken (Seorang Nyai Biasa yang Luar Biasa yang Aku Kenal) dan Uit he Schoome Leven van een mooie Boerin (Dari Kehidupan Indah Seorang Wanita Petani Cantik). Minke pun semakin percaya diri menulis dengan bahasa Belanda setelah mendapatkan pujian dari gurunya. “Dia telah mampu menulis tanpa kesalahan dalam bahasa yang bukan miliknya,” puji Magda Petras, guru idola Minke.Minke telah dianggap sebagai produk hibridasi kolonial Belanda lewat Politik Etis yang berhasil.
Di bagian awal ini, Minke sama dengan Pujangga Baru dan kelompok Gelanggang yang berkiblat pada Barat, juga Pram. Sampai akhirnya ia disadarkan oleh seorang Nyai bernama Ontosoroh. Nyai mengingatkan: “Jangan agungkan Eropa secara keseluruhan.” Minke pun mulai terbuka setelah melakukan perjalanan ke daerah.
Dalam realisme sosialis, seorang pengarang perlu mengenal lingkungan masyarakatnya. Oleh sebab itu, ia perlu melakukan turba (turun ke bawah). Turba dalam konsepsi Pram bertujuan “menguasai realitas kehidupan massa” sehingga setiap pengarang “harus biasa dan membiasakan diri memasuki kehidupan massa itu sendiri, belajar dari pengalaman massa, ikut suka duka massa.” Dan, Minke mempraktekkan ini.
Dari Surabaya, Minke melakukan turba ke Sidoarjo. Turba ini penting bagi Minke karena, menurut Kommer—seorang wartawan Indo—, “Akan Tuan ketahui nanti, terlalu banyak yang Tuan tidak ketahui tentang bangsa Tuan sendiri.” Dan, turba akan membuat: “Sekali Tuan menggauli bangsa Tuan sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya, sumber tulisan abadi.” Kata Kommer ini akan mengingatkan pada esai Ting Ling yang diterjemahkan Pram, Hidup dan Penulisan Kreatif. Pengarang, bahwa pengarang harus “meresapi hidup” dengan berada di tengah-tengah massa..
Dalam Anak Semua Bangsa, Sidoarjo dipilih sebagai lokasi turba Minke karena daerah ini merupakan pusat perkebunan tebu, “yang kulihat hanya tebu, tebu melulu, mengombak-ombak seperti lautan hijau di atas pasir ungu-hijau.” Di tempat inilah konflik antara kekuasaan kolonial dan Pribumi akan terlihat jelas. Dalam kereta api yang akan membawanya ke Tulangan, Minke sudah melihat penindasan kolonial: “…nampak serombongan rodi memperbaiki jalan kereta api dan seorang peranakan Eropa duduk di atas kuda, berpedang, mengawasi mereka bekerja.” Minke mengaku sudah sejak kecil mengetahui kesengsaraan orang Pribumi yang dipaksa bekerja paksa. Pun, dari Saidja dan Adinda, ia mendapatkan gambaran tentang kesengsaraan kaum tani. Tapi, dengan melihat langsung dari atas kereta api, kejadian tersebut “mendadak jadi penghuni pikiran.”
Tebu dan gula pada zaman Minke merupakan primadona bagi modal Belanda. Ya, “semuanya berkisar pada gula, juga kejahatannya, juga impian-impiannya.” Dengan berada di lingkungan pabrik gula, Minke mulai mengenal bangsanya sendiri. Ia mengenal Sunarti yang rela memangsakan dirinya pada wabah cacar karena tak mau dijual oleh bapaknya kepada direktur pabrik gula. Di Tulangan pula Minke bertemu Trunodongso, petani korban pabrik gula. Di depan Minke, Trunodongso membongkar akar bulus perusahaan tebu dalam sewa tanah. Minke mendengar dan mencatatnya.
Agar lebih dekat dengan kehidupan petani, Minke tidur di rumah Trunodongso. Ia rupanya menjalankan “tiga sama” yang ditekankan Lekra: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama. Dari situlah Minke memperdalam tulisannya tentang kehidupan para petani di sarang pabrik gula.
Sekembalinya dari turba, dengan percaya diri, Minke mendatangi koran S.N. v/d. Ia serahkan tulisan terbaiknya kepada Maartn Nijman, bos koran itu. Dan, kesadaran baru pun diperoleh Minke. Melalui perdebatan panjang, akhirnya tulisan tentang Trunodongso ditolak. Minke patah. Tak menduga tulisan hasil turbanya ditolak tanpa sebab. Ketika bertemu Kommer, Minke barulah mendapatkan penjelasan bahwa S.N. v/d merupakan koran yang didanai pabrik gula. Tentu saja, koran tersebut tak mungkin memuat tulisan yang menyerang pihak pemberi dana. Sejak saat itu, Minke berkenalan dengan kata baru: modal.
Pelan-pelan, Minke mengetahui cara kerja kapitalis. Pengertian modal pertama ia peroleh dari Robinson Crusoe, tokoh dalam novel Defoe. “Bukan karena modalnya dia bisa hidup, tapi karena kerjanya,” kata Minke. Pandangan ini memang Marxis; menempatkan kerja sebagai esensi kehidupan manusia. Naluri manusia yang pertama adalah memenuhi kebutuhan hidup. Kerja merupakan aktivitas yang disengaja untuk mencukupi pangan, sandang dan papan. “Yang membedakan arsitek yang paling buruk dari yang terbaik di antara lebah ialah,” tulis Marx, “bahwa arsitek itu membuat struktur dalam imajinasi sebelum dia mendirikannya dalam realita.” Artinya, kerja dilakukan dengan sadar, bukan semata insting hewani. Tanpa kerja ini, kata Minke: “semua takkan ada harganya.” Pun, modal.
Setelah berdiskusi panjang dengan Ter Haar—yang menurut Pamela Allen merupakan personifikasi dari Sneevlit, tokoh sosialis yang menjadi “guru” tokoh-tokoh komunis Indonesia—pengertian Minke tentang modal semakin meluas. Ter Haar menjelaskan tentang “jaman kemenangan modal.” Modal dalam pengertian Ter Haar—sebagaimana pengertian Marx adalah tak hanya sebatas uang, melainkan meliputi kekuatan-kekuatan abstrak yang mengendalikan hidup manusia. Lewat modal itulah kapitalisme membuat “yang berpencar berkumpul, yang berkumpul berpencar, yang cair jadi beku.” Modal pula yang mengendalikan “cara berpikir, cita-cita.” Dialog Minke dan Ter Haar merupakan upaya untuk menelanjangi kebusukan kapitalisme.
Setelah segi-segi realisme sosialis, seperti “politik adalah panglima”, “turba”, dan “analisa kelas tentang kapitalisme” dijabarkan dalam Tetralogi Buru, masihkah ada hal lain yang ingin disampaikan Pram?
Lenin pernah membuat tulisan pendek berjudul “Where is to be done?” (Dari Mana Kita Mulai). Tulisan ini menjabarkan pentingnya koran dalam perjuangan gerakan Kiri. Lenin menggambarkan koran sebagai perancah yang menghubungkan sebuah bangunan. Menurutnya, koran berperan sebagai alat propaganda sekaligus pengorganisasian massa. Selain tulisan tersebut, Lenin juga menulis What is to be done? (Apa yang Harus Dilakukan?). Titik tekan tulisan ini adalah pentingnya membangun organisasi modern berbasiskan massa rakyat sebagai alat perlawanan. Dan, inilah yang dikerjakan Minke.
Setelah hijrah dari Surabaya ke Batavia, hidup Minke berkisar pada dua hal: koran dan organisasi. Titik tolak Minke pada periode Jejak Langkah ini bukan lagi Barat, tapi Tiongkok. Bila pada periode Bumi Manusia ia terpesona pada Barat lewat paras cantik Ratu Belanda dan perempuan Indo, Annelis, maka setelah melewati masa berjarak dengan Barat pada periode Anak Semua Bangsa, Minke memilih Ang Sang Mei. Siapa dia? Ang Sang Mei merupakan aktivis gerakan revolusioner Tiongkok yang sedang membangun kekuatan di Indonesia. Perempuan inilah yang membuka cakrawala Minke tentang tugas seorang terpelajar Pribumi dalam melawan ketamakan kolonialisme.
Hong Liu menduga karakter Ang Sang Mei merupakan karakter Chen Xiaru, seorang penerjemah yang bertemu Pram saat di Tiongkok. Menurut Liu, pertemuan Pram dengan Xiaru cukup menimbulkan kesan mendalam di antara keduanya. Bahkan, dalam karya Pram, Hoakiau di Indonesia, Xiaru merupakan sosok imajinatif dalam karya tersebut—dengan nama samaran Hs-y. Dari karakter Xiaru inilah muncul tokoh Ang Sang Mei dalam Jejak Langkah.
Bersama Ang Sang Mei, Minke mendatangi ceramah seorang dokter Jawa, Wahidin. Dalam ceramahnya, Wahidin menyinggung perlunya organisasi modern bagi kalangan pribumi. Apa pengertian organisasi modern? Wahidin menjelaskan sebagai organisasi yang “diatur dengan aturan demokratis, juga mendapatkan pengakuan dari kekuasaan yang berlaku, …dan lebih dari itu, organisasi modern di Hindia ini sama harganya dengan satu orang Eropa di hadapan Hukum.” Dalam hal organisasi modern, menurut Wahidin, Pribumi tertinggal dari orang-orang Tionghoa dan keturunan Arab.
Berbicara di depan calon dokter, Wahidin juga menyinggung peranan dokter Pribumi “bukan hanya menyembuhkan tubuh terluka dan menanggung sakit, juga jiwanya, juga hari depannya.” Kata-kata Wahidin ini merupakan pantulan dari pandangan Pram ketika berada di Tiongkok. Saat itu, Pram menulis bahwa penulis adalah “insinyur jiwa” bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, seorang penulis harus terlibat dalam setiap perjuangan untuk masa depan yang lebih baik.
Periode inilah titik balik Minke. Ia bukan lagi penulis cerita-cerita yang “menghibur pembacanya, bahwa tak ada terjadi sesuatu di Hindia, bahwa keadaan aman dan sentausa,” melainkan menjadi penulis yang terlibat. Dengan kata lain, pena saja tak lagi cukup digunakan untuk membawa Hindia lepas dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Ia menjawab pertanyaan Lenin dalam Apa yang Harus Dilakukan? dengan mendirikan organisasi yang dinamakan Syarikat Priyayi dan beranggotakan para priyayi. Namun, dalam perkembangannya, para priyayi ternyata tak bisa memutar baling-baling organisasi. Mereka lebih sibuk mengejar pangkat dan jabatan daripada berjuang untuk rakyat. Sarikat pun mati, meskipun tidak dengan semangat Minke. Ia kembali mencari baling-baling baru, dan menemukannya pada para pedagang beragama Islam, lapisan tengah masyarakat. Maka, lahirlah SDI (Sarikat Dagang Islam). Kelak, ketika Minke sudah tak ada, SDI berkembang menjadi SI (Sarikat Islam) yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Hindia. Pada periode inilah, Minke menjalankan amanat Lekra bahwa penulis harus terlibat dalam perjuangan rakyat dan selalu berada di garis massa.
Bersamaan dengan pembangunan organisasi, Minke juga menjawab pertanyaan Lenin: Dari Mana Kita Mulai? dengan mendirikan koran bernama Medan. Inilah koran pertama yang merupakan: “Milik pribumi sendiri. Bukan punya Belanda, Tionghoa atau pendatang lain.” Dari mingguan, koran ini berubah menjadi harian. Tentang masalah bahasa, Minke pada akhirnya melakukan saran Kommer pada periode Anak Semua Bangsa: menggunakan bahasa Melayu, yang bukan Melayu sekolahan, melainkanMelayu pasar yang banyak digunakan Pribumi kebanyakan. Ini tentu pilihan politis; meninggalkan bahasa Belanda (milik penjajah) untuk diganti dengan bahasa Melayu, yang kelak menjadi cikal bakal bahasa nasional bangsanya.
Medan awalnya hanya sebatas berisi penyuluhan hukum. Lantas Nyai Ontosoroh mengingatkan: “…kalau kau terus-teruskan juga mengurus penyuluhan, sebenarnya kau tak lebih dari pengabdi Gubermen dengan biayanya sendiri.” Sejak itu, Medan berubah. Medan menjadi tempat penampung suara rakyat. Medan tumbuh menjadi corong bagi rakyat sebangsanya, sekaligus alat untuk menyatukan rakyat yang keberadaannya terpencar-pencar. Koran sebagai alat propaganda dan pengorganisiran, seperti kata Lenin, telah diwujudkan oleh Minke—Sang Pemula.
Melalui pembahasan singkat ini, unsur-unsur realisme sosialis sangat kuat terpatri dalam Tetralogi Buru. Dan, inilah yang (sengaja) tak dibahas oleh Teeuw agar Pram pasca Buru adalah Pram yang kembali pada humanisme universal, bukan Pram pada periode Lekra dengan realisme sosialisnya. Itulah wujud nyata politik kritik sastra humanisme universal. Tapi, kebenaran tak bisa dibendung. Hingga tubuhnya dimasukkan ke dalam liang lahat di Karet, Pram selalu setia pada realisme sosialis. Pram yang menghasilkan karya realisme sosialis ala Indonesia lewat Tetralogi Buru.
Adakah karya sastra Indonesia modern yang mengandung unsur-unsur realisme sosialis melebihi Tetralogi Buru?***
*) Pernah dipublikasikan di buku Poe(li)tics: Esai-esai Politik Kritik Sastra (2015)
Daftar Pustaka
Allen, Pamela, Membaca, dan Membaca Lagi: Re Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-
1995 (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2004)
Dolk, Liesbeth, Hubungan terbelit: STICUSA dan Indonesia 1948-1956 dalam Jennifer
Lindsay & Liem, Maya H.T, (Penyunting), Ahli Waris Budaya Dunia, Menjadi
Indonesia 1950-1965 (Bali&Jakarta: Pustaka Larasan & KITLV, 2001)
Faulcher, Keith, Membawa pulang dunia; Lalu lintas budaya dalam Konfrontasi 1954-
1956 dalam Jennifer Lindsay&Maya H.T. Liem (Penyunting), Ahli Waris
Budaya Dunia, Menjadi Indonesia 1950-1965 (Bali&Jakarta: Pustaka Larasan &
KITLV, 2001)
Jassin, H.B, Kesusasteraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Essay (Jakarta:
Gunung Agung, 1955)
Jogaswara, Angkatan ’45 Sudah Mampus dalam E. Ulrich Kratz, Sumbar Sastra
Terpilih Indonesia Abad XX (Jakarta::Kepustakaan Populer Gramedia, 2000)
Kartakusuma, M. Rustandi, Indonisasi Tjiliwung II dalam E. Ulrich Kratz, Sumbar
Sastra Terpilih Indonesia Abad XX (Jakarta::Kepustakaan Populer Gramedia,
2000)
Li, Hong, Sukarno, Tiongkok, & Pembentukan Indonesia 1949-1965 (Depok:
Komunitas Bambu, 2015)
Ling, Ting, Hidup dan Penulisan Kreatif (Indonesia, No. 3 Tahun VII—Maret 1956)
Siagan, Gajus, Essay dan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini dalam op,cit,
Sumber Sastra
Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia 1 (Flores: Nusa Indah, 1980) :
————, Sastra Indonesia Modern II (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989)
————, Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1997)
Toer, Pramoedya Ananta. Di Tepi Kali Bekasi. Jakarta: Hasta Mitra. 1995.Hlm. 218
———, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dwipantara, 2003)
———, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (Jakarta: Hastra Mitra, 2000)
———,Kesusastraan dan Perjuangan dalam Astuti (ed), Menggelinding I (Jakarta:
Lentera Dwipantara, 2004)
———, Kesusastraan Sebagai Alat, Op.cit., Menggelinding I
———, Difinisi Keindahan dalam Kesusastraan, Op.cit., Menggelinding I
———, Tendesi Kerakjatan dalam Op.cit, Sumbar Sastra
———, Tentang Angkatan (Indonesia No. 12/Th III/ Desember 1951)
———, Rumah Kaca (Jakarta: Hasta Mitra, 1989)
———, Bumi Manusia (Jakarta: Hasta Mitra, 1980)
———,Anak Semua Bangsa (Jakarta: Hasta Mitra, 1980)
———,Jejak Langkah (Jakarta: Hasta Mitra, 1985)
Reavy, George, Hidup dan Organisasi Pengarang Sovjet(Indonesia, No. 5 Tahun VII—
Mei 1956)
Scherer, Savitri, Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi (Depok: Komunitas
Bambu)
Yuliantri, Rhoma Dwi Ariani, & Dahlan, Muhidin M., Lekra Tak Membakar Buku,
(Jogjakarta: Merah Kesumba, 2008)