Kiswondo tampil memukau dalam mempresentasikan draf buku sejarah KPRP (Komite Perjuangan Rakyat Untuk Perubahan). Buku tersebut bisa dikatakan “sejarah resmi” KPRP, dan Kiswondo bertindak seperti Nugroho Notosusanto sebagai penulisnya. Dengan suara baritonnya, Kiswondo menerang jelaskan konteks lahirnya KPRP. Bagi yang suka membaca “sejarah resmi” sisik melik organisasi perjuangan, silakan menunggu dengan harap-harap cemas kehadiran buku tersebut.
Malam itu, legenda-legenda Kiri yang bergabung dalam KPRP berkumpul Omah Mbah Mbah Mandor. Ada nama-nama yang sudah tidak asing di telinga publik pergerakan seperti Haris Rusly Moti, Gunadi Handoko, Wibowo “Jemek” Arif, Drs. Akuat, Ibob, Jery Nico Borong, Waskito Giri Sasongko dan lain-lain. Semua yang hadir bisa dikatakan anak didik Kiswondo, aktivis 90an yang selalu sembunyi di bawah tanah.
Acara berlangsung meriah. Musik mengalun dengan vokalis aktivis-aktivis KPRP. Berbagai jenis lagu didendangkan di antara udara yang dingin. Sebagai penghangat, minuman herbal dibagikan untuk membakar suasana. Kita bisa menyadur lagu Shaggydog:
“Di Omah Mbah Mandor di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di Omah Mbah Mandor di jalanan
Tuangkan air kedamaian.”
Kegembiraan bisa meleburkan perbedaan pilihan politik. Semua berjoget dan berdendang mewarnai malam. Inilah wujud Persatuan Nasional yang diinginkan Prabowo. Bersukacita dalam perbedaan. Sayang malam itu Manik Wijil Sadmoko sebagai peletak batu pertama embrio kelahiran KPRP tidak hadir. Mungkin dia sibuk dalam doa novenanya.
Kelahiran KPRP seperti kelahiran Yesus Kristus. Ia lahir untuk menjadi garam dunia. Manfaat garam adalah memberikan rasa dalam masakan. Dengan memikul kayu salib perjuangan, KPRP mengarungi jalan perjuangan dengan berbagai rasa. Malam itu, rasa itu dileburkan menjadi satu: rasa nostalgia. Di usia manusia yang sudah menginjak setengah abad, nostalgia penting agar kenangan masa lalu tetap menjangkar dalam diri. Dalam kenangan itulah bersemayam eros manusia untuk terus melakoni kehidupan bahwa di masa lampau kita pernah ada dalam pentas pergerakan.
Malam itu Kiswondo tampak muda lagi. Mungkin ia mengenang masa lalunya ketika menggembleng anak-anak muda untuk melawan Soeharto. Kiswondo sering menyebut dirinya PKI Malam. Pada malam-malam hari ia sering meninggalkan kantor Dian Budaya di Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Budaya). Sebagaimana prajurit Vietkong ia menyusuri malam untuk melakukan kerja-kerja pengorganisiran. Siang hari Kiswondo duduk di bawah pohon jambu mete di depan kantor Dian Budaya sembari mengamati anak yang mondar mandir belajar motor di jalan. Ia selalu waspada apakah anak itu intelejen yang sedang melakukan pengintaian atau bukan.
Malam terus berlayar. Acara musik dihentikan. Masing-masing bergerombol menurut selera. Bercerita membagikan kisah hidupnya. Suasana mengalun pelan. Suara bisik-bisik terdengar di pojokan-pojokan. Suasana inilah suasana paling magis. Masing-masing berkontemplasi tentang perjuangan hidupnya. Kisah revolusioner digantikan kisah sehari-hari bagaimana agar beras selalu ada di dapur. Sebagian mulai pulang. Kiswondo pulang lebih awal karena ia harus bangun sebelum kokok ayam jantan membelah pagi. Benar kata Pramoedya, hidup ini Bukan Pasar Malam, orang datang sendiri-sendiri ke reuni KPRP dan pulang sendiri-sendiri pula.
Setelah tengah malam lewat, masing-masing masuk ke pembaringan. Suasana semakin sepi. Dulu, malam-malam begini Kiswondo justru melakukan agitasi politik. Dari satu tongkrongan ke tongkrongan lain ia tanamkan ke anak-anak muda untuk menjadi komunis sejati. Ya, seperti Aidit, Nyoto atau Sudisman. Sekarang kita tak akan mendapati suasana agitasi tengah malam seperti itu. Malam adalah waktu untuk jeda. Dan, di hari ini siapa yang masih tertarik menjadi komunis sejati seperti yang diagitasikan Kiswondo puluhan tahun silam. Zaman telah berubah. Periuk nasi lebih penting dari agitasi propaganda. Siapa mau makan lauk agitasi propaganda?
Mungkin benar kata Drs. Akuat di XXI Jalan Solo: “Kita pernah revolusioner.”