PEMBANGKANGAN MEGAWATI

Surat Megawati yang memerintahkan kader PDIP yang menjadi kepala daerah agar tidak menghadiri retret (retreat) di Magelang adalah bentuk pembangkangan. Megawati bisa dikatakan telah melakukan makar terhadap konstitusi. Ia mbalelo terhadap perundang-undangan yang ada. Suatu pembangkangan terhadap pemerintahan yang sah. Semestinya kepolisian sudah bisa menangkap Megawati karena telah melakukan pembangkangan.

Sebuah paradoks. Partai yang seringkali menyebut diri sebagai pembela wong cilik justru melindungi koruptor bernama Hasto Kristianto. Selama ini Hasto memang berani mengendalikan Megawati. Bagi Hasto, Megawati seperti boneka burhanku yang bisa dipermainkan. Dengan diterungkunya Hasto, seringkali Megawati kehilangan kendali. Akibatnya Megawati diadu domba dengan SBY dan politisi yang lain. Dia seperti Banteng ketaton yang menyeruduk apa saja. Dia berubah menjadi Banteng gila, lari ke sana kemari dengan telanjang tanpa malu.

Selama ini Megawati selalu bersikap jumawa. Dalam berbagai pidato dia selalu merendahkan orang lain. Merasa diri paling besar sebagai trah Sukarno. Paling gila hormat dan dihormati. Kini posisinya terpuruk. Kekuatan politiknya pretel satu persatu. Pembangkangan yang dilakukannya merupakan upaya terakhir untuk menghidupkan kartunya. Namun ini semakin menelanjangi dirinya sendiri sebagai orang yang selalu bicara tentang konstitusi tapi justru menghianatinya. Terbukti bahwa kata-katanya hanya sebatas retorika politik alias omon-omon semata. Ketika konstitusi tidak menguntungkan dirinya dan partainya akan dia kentuti.

Tabiat Megawati dan PDIP memang mau menang sendiri. Ketika berkuasa akan adigang, adigung dan adiguna. Menindas kelompok lain dengan sewenang-wenang. Tetapi ketika tak berkuasa akan merecoki yang berkuasa. Kita tentu masih ingat ketika SBY berkuasa. Megawati dan partainya tiap hari merintangi kebijakan yang diambil SBY. Segala upaya mereka lakukan untuk mengganjal pemerintahan SBY. Bahkan dengan arogan menjuluki SBY sebagai kebo  (kerbau) yang berjalan lambat. Sebab musabnya sederhana saja, bukan karena kepentingan membela wong cilik tapi sakit hati karena kalah dalam Pilpres. Setiap kalah, Megawati tak mau terima.

Kita tentu masih ingat ketika berkuasa, Megawati melakukan pembantaian besar-besaran di Aceh dan Papua. Dia juga menjual aset-aset negara dengan harga murah. Dia juga melindungi para koruptor kasus BLBI. Tindakannya memang sudah terbiasa menabrak konstitusi. Dia bengis sekaligus lebih suka menjadi antek-antek koruptor.

Kita juga masih ingat ketika Megawati dan Amin Rais mengakali konstitusi untuk mendongkel Gus Dur. Mereka melakukan tuduhan palsu kepada Gus Dur agar bisa dijatuhkan. Bagi Megawati upaya apapun halal asal bisa berkuasa. Upaya itu memang berhasil. Megawati menjadi presiden dengan mengkudeta Gus Dur. Begitu berkuasa dia embat yang bisa dia embat. Dia garong yang bisa dia garong.

Istilah “petugas partai” merupakan bentuk kediktatoran Megawati. Dia selalu ingin mengendalikan orang-orangnya yang menempati berbagai posisi. Dalam kasus retret ini Megawati ingin memperlihatkan bahwa dirinya lebih berkuasa dari Presiden Prabowo Subianto. Dia ingin menunjukkan kepala daerah yang berasal dari partainya ada dalam kempitan di ketiaknya. Kepala daerah dari PDIP seperti Masinton dan Pramono Anung jelas lebih tunduk kepada Megawati. Dengan sadar mereka terlibat pembangkangan terhadap Presiden Prabowo. Terhadap orang-orang semacam ini mesti mendapatkan tindakan tegas.

Ada yang membandingkan sikap Megawati ini dengan upayanya melawan Orde Baru puluhan tahun lalu. Kelompok ini melihat upaya Megawati sebagai bentuk perlawanan. Pandangan semacam ini jelas pandangan keblinger. Megawati bukan sedang melawan, tapi sudah melakukan pembangkangan. Tentu saja hal semacam ini berbahaya. Upaya ini persis sama ketika Megawati memerintahkan Koster dan Ganjar untuk menggagalkan Piala Dunia U20. Jika tabiat membangkang ini dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan. Megawati akan terus mengulangi dan mengulangi lagi karena merasa pemilik negeri ini. Kepala daerah yang berada dalam hirarki pemerintahan pusat akan terus-menerus dikendalikannya. Padahal, mereka mesti tunduk pada presiden bukan tunduk kepada ketua partai.

Pembangkangan Megawati harus dihentikan. Jangan sampai Megawati menjadi duri dalam daging di negeri ini. Jangan sampai kewibawaan Presiden Prabowo diinjak-injak oleh Megawati. Banteng mesti dikandangkan.***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *