Oleh: Endhiq Anang P
“Adakah Ratu Adil hanyalah mimpi?”
Sindhunata membuka bukunya Ratu Adil, Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik (Gramedia Pustaka Utama, 2024) dengan puisi liris panjang berjudul Senandung Ratu Adil. Puisi itu semacam gerbang untuk membuka lorong panjang sejarah negeri kita, Indonesia. Sebuah negeri yang dalam proses dialektikanya antara zaman Kaliyuga (kegelapan) dan zaman Kertayuga (kejayaan) selalu merindukan sosok Ratu Adil. Dalam puisinya itu, Sindhunata menjawab apakah Ratu Adil hanya mimpi: “Tidak, karena ia tidak tinggal di sana/ ia beristana di sini, di perut yang lapar.” Sudah jelas di mana Ratu Adil bersemayam. Ia bersama mereka yang tergerus arus sejarah, orang-orang yang kalah.
Sejak Jayabaya
Bersama bukunya ini, Sindhunata mengerek Ratu Adil yang selama ini dianggap hanya sebagai mitos. Lewat kajian ilmiah sebagai hasil disertasi doktor di Universitas Hochuschule fur Philosophie SJ Munchen, Jerman, Sindhunata menyibak belukar-belukar misteri Ratu Adil yang kemunculannya sudah ada sejak era Raja Jayabaya. Upaya Sindhunata ini merupakan kajian historis sekaligus sosiologis terhadap kepercayaan rakyat terhadap Ratu Adil. Sebuah usaha untuk menerangjelaskan dinamika kehidupan masyarakat tentang sosok Ratu Adil yang tetap menyusup dalam kehidupan sehari-hari, hingga hari ini.
Seperti kita ketahui, Jayabaya merupakan raja Kediri yang bukan hanya dikenal sebagai penguasa, tetapi juga sebagai penulis nubuat yang dikenal sebagai Jangka Jayabaya. Sebagaimana ditulis oleh Sindhunata, “Jayabaya adalah raja yang dapat memandang jauh dan meramal jalannya dunia dan nasib dinasti-nasti Jawa pada masa depan.” Maka, “Jayabaya dipandang bukan hanya sebagai raja, tetapi juga sebagai “nabi” (hal.361).” Kedudukan inilah yang membuat ramalannya dianggap memiliki legitimasi yang dipercaya oleh masyarakat, terutama wong cilik.
Bagi masyarakat Jawa, siklus kehidupan manusia persis seperti pentas wayang. Berawal dari Kertayuga, kemudian melewati masa Kaliyuga (goro-goro), dan setelah mengalami keseimbangan kembali ke era Kertayuga (hal.385). Transisi dari masa Kaliyuga ke Kertayuga menjadi tapal kemunculan sosok Ratu Adil. Proses ini akan berulang dalam setiap perubahan kekuasaan maupun zaman. Menurut Sindhunata, kekhasan Ramalan Jayabaya adalah melibatkan wong cilik dalam siklus yuga. Posisi wong cilik yang termajinalkan merupakan aktor utama dalam menanggung dampak dari perubahan siklus tersebut (hal. 391). Inilah mengapa wong cilik merupakan elemen masyarakat yang paling merindukan kehadiran sosok Ratu Adil. Bahkan mereka pula berperan aktif dalam menyambut kehadirannya melalui serangkaian pemberontakan dan perlawanan terhadap status quo.
Protes wong cilik
Kondisi rakyat pada masa kolonial tidak baik-baik saja. Mereka terpuruk dalam tekanan ekonomi, terutama pajak yang tinggi. Selain itu, mereka juga seringkali diperlakukan tidak adil. Pada masa Tanam Paksa, misalnya, mereka harus menanam tanaman sesuai ketentuan pemerintah kolonial. Tenaga mereka dikuras untuk itu. Belum lagi masalah-masalah perampasan tanah dan ternak sebagaimana dikisahkan Multatuli dalam Max Havelaar. Himpitan-himpitan ini membuat wong cilik merindukan sosok Ratu Adil.
Guna memupus kesengsaraan tersebut, mau tak mau rakyat terlibat dalam pemberontakan dan protes sosial. Salah satunya Perang Diponegoro. Sebagaimana ditulis oleh Sindhunata bahwa Perang Jawa merupakan “panggung di mana petani membuat sejarah dengan mewujud-nyatakan potensi protes mereka menjadi suatu revolusi dengan kekerasan (hal.69-70).” Para petani yang merupakan bagian dari wong cilik meyakini bahwa Diponegoro adalah Ratu Adil yang mereka nantikan kehadirannya guna membebaskan diri dari derita dan nestapa. Maka, dengan sepenuh hati, mereka terlibat dalam perang bersama Diponegoro sampai dikalahkan oleh Belanda.
Sebagaimana diulas Sindhunata, protes wong cilik tidak hanya terjadi dalam Perang Diponegoro, tetapi juga di berbagai tempat. Pemberontakan Pulung, pemberontakan Kyai Kasan Mukmin, kemunculan Serikat Islam, Gerakan Samin hingga perlawanan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, merupakan sederetan kronik perlawanan wong cilik. Semua pemberontakan dan perlawanan tersebut dijelaskan secara rinci oleh Sindhunata. Pembaca akan mendapatkan konteks historis dan sosiologis di balik peristiwa-peristiwa tersebut sehingga memperoleh pemahaman yang utuh. Dengan begitu, pembaca dapat memahami kenapa wong cilik begitu militan dalam berjuang demi menantikan kemunculan sosok Ratu Adil.
Menulis sejarah orang-orang kalah
Selama ini, wong cilik atau para petani sering digambarkan sebagai kelompok masyarakat yang pasif dan tidak politis. Namun, lewat buku Ratu Adil, Sindhunata berhasil membuktikan bahwa anggapan itu tidak benar. Menggunakan literatur-literatur sejarah yang disiginya, Sindhunata menggambarkan perlawanan petani yang begitu militan dan radikal. Dengan senjata seadanya, mereka melakukan pemberontakan yang revolusioner. “Dalam diri mereka ternyata ada hasrat perlawanan yang kuat dan radikal, sampai mereka begitu nekat memberontak (hal. 575).” Fakta ini memperlihatkan ada bara perlawanan dalam diri wong cilik.
Munculnya gerakan Ratu Adil merupakan potret radikalisasi wong cilik dalam menghadapi kekuasaan yang menindas. Mereka berusaha melepaskan diri dari belenggu yang menghisap dan mengeksploitasi. Perjuangan mereka ini merupakan upaya menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Ironisnya, perlawanan-perlawanan tersebut sering kali berhasil dipatahkan. Sejarah mereka pun bisa dikatakan sebagai sejarah mereka yang kalah. Namun, dengan simpatik, Sindhunata menuliskan sejarah kekalahan tersebut. Inilah salah satu kelebihan buku Ratu Adil: ada empati terhadap mereka yang dikalahkan.
Sindhunata tidak memakai pendekatan seorang orientalis yang memandang perlawanan wong cilik sebagai sesuatu yang negatif, pembuat onar dan tukang amuk. Sindhunata mendekatinya dengan sikap pembelaan yang jelas, bukan sikap yang seolah-olah netral dan berjarak. Inilah yang membuat buku Ratu Adil patut menjadi rujukan tentang peran wong cilik dalam arus zaman.
Walaupun buku ini berasal dari naskah desertasi, tapi bahasa yang digunakan oleh Sindhunata cukup renyah dan lentur, tidak kaku dan membosankan seperti naskah akademik. Latar belakang Sindhunata yang juga seorang sastrawan dengan karya sastra seperti Anak Bajang Menggiring Angin hingga Air Kata-Kata, membuat narasi dalam buku ini begitu hidup sehingga kita seolah-olah bisa masuk ke dalam peristiwa demi peristiwa yang digelarnya. Ditambah ilustrasi dari Budi Ubrux, karya Sindhunata ini semakin menarik dan bernyawa. Kita akan semakin mudah bersimpati pada nasib wong cilik yang selalu ditindas dan dipinggirkan dari zaman ke zaman. Selama ini, sejarah hanya menuliskan perihal mereka yang menang, tapi Sindhunata berusaha membaliknya dengan menuliskan kisah wong cilik yang dikalahkan. Lewat buku ini, wong-wong cilik seolah mendapat kesempatan untuk bersuara dengan lantang. Sebagaimana sajak Senandung Ratu Adil yang ditulis oleh Sindhunata:
“Mereka, wong-wong cilik itu bukanlah kalah,
mereka hanya menitipkan rahasia penderitannya,
tempat tersimpannnya harapan akan masa depan.”
Sampai kini, dengan penuh harapan, wong cilik masih menunggu kehadiran sosok Ratu Adil agar hidup mereka bisa mulya (sejahtera) dan gumuyu (tersenyum) memandang zaman keemasan. Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menyimpan harapan besar itu demi dibawa ke masa depan.***