“Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu.” (Chairil Anwar)
Dalam Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mengenalkan istilah “perikemanusiaan limited.” Guna menggambarkan perikemanusian limited, Pramoedya mengambil perumpamaan seperti “seekor anjing mengambil sikap terhadap anjing yang tak pernah dikenalnya”. Artinya, pihak di luar dirinya adalah musuh: si Liyan. Sikap inilah yang kemudian melahirkan chauvinisme, suatu sikap nasionalisme sempit. Sikap inilah yang dikembangkan oleh PDIP, yang selama ini tak bunyi dalam masalah Palestina. Mereka justru sibuk dengan menyerang Jokowi yang sudah menjadi orang biasa. Kelamin mereka terhadap masalah anti imperialisme tak pernah jelas. Padahal, mereka selalu berkoar-koar sebagai partai paling nasionalis.
Sikap PDIP 180 derajat dibandingkan dengan Prabowo Subianto. Apa yang terlihat justru Prabowo yang menjadi anak ideologis Sukarno dibandingkan dengan Megawati. Begitu dilantik, Prabowo segera memelopori poros Selatan-Selatan dengan agenda utama melawan imperialisme Israel. Ini langkah maju setelah Sukarno pernah menggagas Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Semangat Dasasila Bandung adalah semangat perlawanan terhadap imperialisme dalam segala bentuknya. Sekarang api semangat Dasasila Bandung dihidupkan kembali dengan nyala yang berkobar-kobar oleh Prabowo.
Sejak awal kita memang bisa meragukan kenasionalisan PDIP. Sewaktu Megawati menjadi presiden, Sipadan dan Lingitan diserahkan pada Malaysia. Megawati pula yang menjual Indosat ke Singapura dengan harga murah. Semasa Megawati, Aceh digilas habis-habisan. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa nasionalisme PDIP bisa dikatakan nasionalisme merah jambu alias nasionalisme palsu.
Sementara itu di berbagai podium Prabowo dengan jelas menyampaikan tekad nasionalismenya. Ia dengan tegas akan menjaga kekayaan bangsa Indonesia. Berulang kali pula ia menyatakan Barat berupaya merebut sumber daya alam Indonesia. Ia tak luput mengisahkan negara-negara yang tak maju karena lama dijajah, dan setelah merdeka pun masih direcoki oleh kekuatan imperialisme.
Kata Lenin, kapitalisme berdiri di atas kepundan gunung berapi yang sewaktu-waktu akan meledak. Artinya, ia setiap saat bisa terkena sapuan krisis. Bila kapitalisme mengalami krisis, maka solusi mereka selain melakukan perang adalah menjajah bangsa lain. Bentuk penjajahannya bukan semata penguasaan teritorial, tetapi juga lewat penguasaan ekonomi yang sekarang dikenal dengan neo-liberalisme. Oleh karena itu, walaupun kita sudah merdeka, wajib waspada terhadap ancaman kapitalisme. Mereka bisa dengan berbagai upaya, mulai dari adu domba sampai melakukan serangan langsung. Situasi inilah yang disadari oleh Prabowo namun tak boleh dipahami oleh Megawati dan PDIP.
Upaya Prabowo membangun Persatuan Nasional adalah usahanya agar bangsa Indonesia berada dalam satu barisan membangun Indonesia Emas. Tanpa adanya persatuan, usaha tersebut akan dengan mudah dihancurkan oleh imperialisme. Sementara itu, PDIP sudah menghalang-halangi upaya persatuan itu. Awalnya mengadu domba Prabowo dengan Jokowi, setelah gagal, Prabowo dihadap-hadapkan dengan Gibran. Upaya PDIP tersebut gagal total. Maka upaya selanjutnya adalah mengganggu program pembangunan Prabowo. Terbaru adalah langkah PDIP berusaha menggagalkan kenaikan PPn 12%. Padahal, empat tahun lalu merekalah yang memelopori kenaikan tersebut. Sekarang dengan enteng mereka tinggal glanggang colong playu. Sebagaimana Brutus, PDIP menusuk Prabowo dari belakang.
Kita tahu, Sukarno adalah Bapak Persatuan Indonesia. Ia menyatukan bangsa Indonesia yang berbeda dalam segala hal menjadi satu rumah Indonesia. Selain itu, Sukarno juga berupaya menyatukan bangsa Selatan dan Utara dalam menghadapi imperialisme. Namun anaknya, Megawati dan PDIP justru gemar menciptakan perpecahan. Dengan hulubalang Hasto Kristianto, PDIP terus menjaga bara permusuhan agar tak redup, mengadu domba sana sini dengan cara kompeni. Bahkan batalnya acara pameran lukisan pun digunakan PDIP untuk gosok sana sini. Aura PDIP adalah aura neraka. Sartre, filsuf Prancis, pernah mengatakan, “orang lain adalah neraka.” Sementara itu, bagi rakyat maupun sesama partai politik, “PDIP adalah neraka”.
Langkah Prabowo dalam membangun Persatuan Nasional dan gerakan anti imperialisme, mengingatkan sajak Chairil, Persetujuan Dengan Bung Karno:
“Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh.”
Prabowo dan Bung Karno “satu zat dan satu urat.” Sementara Megawati dan Sukarno, saling memunggungi.***