PRABOWO DAN SENYUM KADER-KADER PRD

Ilustrated by AI

Kita bisa melihat Hari “Gombloh” Sutanta tersenyum lebar ketika bertemu kawan-kawannya sesama PRD (Partai Rakyat Demokratik) Jawa Tengah. Tawa lepas juga menghiasi wajah Drs. Akuat ketika bertemu Dhohir Farizi. Senyum mengembang tak lepas dari wajah Dwi “Lukas” Hartanto ketika berjabat tangan dengan para senior dan sesepuh. Wajah yang berseri serupa para santo juga semerbak di wajah para wakil menteri seperti Faisol Reza, Nezar Patria dan Mugiyanto Sipin ketika menyapa kawan-kawan seperjuangannya dan berfoto bersama. Inilah pesta kemenangan yang sesungguhnya.

Obrolan penuh tawa dan canda. Nostagia yang tak habis-habisnya ditimba. Kenangan masa-masa revolusioner yang tak pernah sirna. Semua menguar menjadi satu, malam itu. Revolusi Demokratik yang diperjuangkan telah menemukan muaranya. Semuanya tertawa. Semuanya riang gembira. Tak ada lagi air mata.

Malam yang indah itu hanya bisa terjadi berkat Prabowo Subianto. Sang jenderal telah bermurah hati memberikan anugerah yang besar kepada PRD. Karunia yang melimpah dari seorang jenderal yang ditempa di medan pertempuran. Baret Merah sejati yang lapang hatinya sehingga menjadikan Budiman Sudjatmiko, Agus Jabo, Nezar Patria, Mugiyanto dan Faisol Reza, menjadi abdi-abdi Istana di Kabinet Merah Putih.

Malam itu, semua berkumpul menjadi satu. Tidak hanya yang kemarin menjadi pendukung Prabowo dalam Pilpres, tapi juga yang mencaci maki Prabowo dalam kampanye.  Semua bertemu dalam suasana riang gembira. Tanpa ada sekat-sekat. Berkat Prabowo, persatuan itu terjadi. Hari “Gombloh” Sutanta yang dalam pilpres gila-gilaan mendukung Anies Baswedan, malam itu, bisa berbincang dengan penuh keakraban dengan nuansa kasih sayang dan tanpa canggung dengan Agus Jabo yang berada di kubu Prabowo. Inilah malam ketika bunga-bunga mawar merah bermekaran. Tiga puluh tahun lalu, kita tak akan bisa membayangkan bahwa Prabowo Subianto, jenderal yang dituduh menculik kader-kader PRD, yang ternyata menyatukan PRD yang tinggal prasastinya saja. Tak pernah terpikirkan, Prabowolah yang mengangkat harkat dan martabat PRD. PRD yang telah bertungkus lumus berjuang, selama beberapa tahun dijadikan paria dalam politik nasional di tengah pesta pora para petualang politik, kini diangkat dengan penuh kasih dan welas asih oleh Prabowo.

Orang yang tak pernah belajar Materialisme Dialektika Historis (MDH) dan para Marxis Vulgar akan menuduh masuknya kader-kader PRD dalam Kabinet Merah Putih adalah sebuah pengkhianatan, stockholm syndrome dan hujatan-hujatan lain. Mereka yang menuduh seperti itu, hidup dalam Idealisme Hegelian. Dunia mereka hanya berada dalam kepala, bukan dalam realitas hidup sehari-hari. Prabowo telah berubah menjadi kualitas baru yang mengayomi semua golongan, termasuk kaum kiri seperti PRD. Sementara para penghujat ini sebagaimana Hegel, menjadikan kepala sebagai kaki. Maka tugas kita sebagai pihak yang paham MDH, sebagaimana dikatakan Marx dalam pengantar Das Kapital edisi kedua: “Kita harus membaliknya, agar kembali ke atas kakinya, agar dapat menemukan inti rasional yang terbalut oleh kulitnya yang mistikal.”

Bila kita memakai MDH, perubahan Prabowo ini sesuatu yang wajar. Selepas jatuh pada masa Orde Baru, Prabowo terus berkontradiksi dengan lingkungannya. Ia kalah dalam konvensi Partai Golkar, mendirikan Partai Gerindra, bertarung dengan SBY dan Jokowi dan kalah. Dari rentetan kontradiksi-kontradiksi itu, mengubah kualitas Prabowo sebagai politisi. Ia tampil lebih luwes dan merangkul siapa saja. Ia negasikan Prabowo yang lama dengan Prabowo baru. Sampai akhirnya memenangkan pertarungan. Dari sejarah yang panjang itu, Prabowo tidak lagi memusuhi kubu kiri tetapi merangkulnya. Sebagaimana dikatakannya sendiri dalam ulang tahun Partai Golkar ke-60, ia ingin meniru Persatuan Nasional yang digagas oleh Sukarno. Dan ini ia lakukan dengan merangkul PRD.

Berbeda dengan Prabowo yang berubah secara dialektis, justru masih ada sebagian dari orang-orang PRD yang malah menjadi beku. Isi kepala mereka berada dalam rentang tiga puluh tahun lalu. Seperti manusia gua Plato, mereka hidup dalam dunia bayangan masa lalu. Tak mengetahui semuanya telah berubah. Otak mereka diamputasi oleh kebencian dan halusinasi masa lalu. Akibatnya, argumen-argumen mereka sudah usang dimangsa zaman. Terhadap orang-orang semacam ini kita hanya bisa mendoakan agar Tuhan membukan pintu hati mereka, menghilangkan perasaan dendam dalam hati mereka, dan memberikan mereka petunjuk berupa jalan yang lurus: shiratal mustaqim. Amin.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *