Sejak dua tahun lalu Riswan Lapagu terdiagnosa mengalami stroke haemoraghik. Dalam situasi seperti ini, ia hidup sebatang kara di sebuah kontrakan yang terletak di daerah Depok. Sewaktu muda, Riswan pernah aktif di PRD (Partai Rakyat Demokratik). Selepas acara Silahturahmi Nasional SMID-PRD, Hari “Begy” Subagio bertemu dengan Agus Jabo, Wakil Menteri Sosial. Dalam pertemuan sesama kader PRD itu, kisah nestapa Riswan disampaikan Begy kepada Agus Jabo. Setelah mengetahui kondisi Riswan, dalam waktu kurang dari 9 jam, Agus Jabo langsung menyelesaikan masalah tersebut. Riswan pun mendapatkan bantuan langsung dari Kementerian Sosial.
Selama ini banyak yang menuduh aneka rupa kepada kader-kader PRD yang bergabung dalam kabinet Prabowo-Gibran. Tuduhan mulai dari melakukan pengkhianatan, tak konsisten hingga menjual kawan sendiri, dialamatkan kepada mereka. Syakwasangka langsung dijatuhkan kepada mereka. Seolah-olah mereka pesakitan yang divonis berdosa tanpa harus diadili. Ada satu kisah sufi. Seorang pezina yang hendak dihukum rajam. Batu-batu sudah berada di genggaman orang-orang yang berkerumun. Hanya waktu saja yang menunggu batu itu dihujamkan ke tubuh pezina itu, sebagaimana setan di lempari jamaah haji dalam jumroh. Seseorang yang ada di situ bersuara lantang, memecah kebisingan seperti dengung lebah. Orang itu berkata, “Siapa yang paling suci, silakan melempar paling awal.” Orang-orang yang berkerumun itu saling pandang. Detik waktu terus mengalir dan tak ada seorang pun yang akhirnya melempar batu. Pada akhirnya, mereka pergi satu persatu.
Kisah Riswan itu membuka mata orang-orang yang menggenggam batu itu. Tersadar bahwa Agus Jabo tak seburuk yang ada dalam imajinasi dan dalam khayalan mereka. Terbukti, Agus Jabo bergerak cepat memberikan bantuan demi membantu kawan seperjuangannya. Kenapa Agus Jabo bisa bergerak cepat? Sebagai wakil menteri, ia tentu memiliki kekuasaan. Sebagai orang nomor dua di kementerian sosial, ia memiliki wewenang untuk memberikan perintah pada birokrasi di bawahannya. Yang diperintahkan pun bergerak. Kurang dari 9 jam Agus Jabo menerima laporan dari Hari “Begy” Subagio, Riswan langsung mendapatkan bantuan. Kalau Agus Jabo tidak diberikan jabatan oleh Prabowo Subianto, apakah hal itu bisa terjadi? Bagi yang tak bebal dan tak terbelakang dalam berpikir serta tak sok–sokan sebagai orang paling suci nan revolusioner, sekarang bisa menyadari itulah salah satu pentingnya kader-kader PRD di dalam pemerintahan Prabowo.
Selain kisah Riswan, ada pula kisah Haji Faisol Reza yang membantu biaya operasi Petrus H Harianto.Banyak juga yang menuduh Haji Faisol Reza sebagai pengkhianat karena masuk kabinet Prabowo. Padahal karena berada di kabinet Prabowo itulah, ia bisa membantu kawan-kawannya yang sedang sakit. Tuhan menganugerahkan kita banyak warna, tetapi seringkali kita hanya memilih warna hitam dan putih.
Di sinilah pentingnya kekuasaan perlu digenggam. Dulu, untuk itulah PRD berjuang. Sekarang kekuasaan sudah di tangan. Maka pemikiran, cita-cita dan impian PRD bisa diwujudkan. Kisah membantu kawan ini hanya sekrup kecil dalam upaya mewujudkan sosial demokrasi kerakyatan (sosdemkra). Memang awalnya dari yang terdekat. Agama mengajarkan, bila ada tetanggamu yang kelaparan sementara kau yang berkecukupan diam saja, maka dirimu akan masuk neraka. Dengan begitu, apa yang dilakukan Agus Jabo dan Haji Faisol Reza sudah benar. Berangkat dari sekitar dulu untuk kemudian bergerak lebih luas, mencakup seluruh rakyat Indonesia.
Apa yang dilakukan kader-kader PRD dalam kabinet Merah Putih itu sudah segaris dengan humanisme Prabowo. Selama ini Prabowo mengembangkan humanisme wong cilik, humanisme yang berada di sisi mereka yang kesusahan dalam gerusan kapitalisme. Maka Prabowo memilih di jalan populisme. Ia bagian dari golongan ksatria, tetapi berada di tengah-tengah golongan sudra. Dengan prinsip seperti ini, ia perintahkan kepada jajarannya untuk melakukan hal serupa. Dalam politik, tujuan akhir adalah berkuasa. Selanjutnya, kekuasaan itu hendak dipakai untuk apa. Prabowo mengulang-ngulang dalam pidatonya: gunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Secara tegas pula akan menanggulangi kebocoran dan korupsi. Baginya, dua hal itu sangat merugikan wong cilik.
Bila kita melihat program-program Prabowo, semuanya diarahkan ke wong cilik. Makan siang gratis, menaikkan upah buruh hingga hilirisasi, semua ditujukan untuk wong cilik. Populisme Prabowo jelas berbeda dengan PDIP. Selama ini PDIP hanya memanipulasi wong cilik untuk kepentingan elektoral. Oleh PDIP, wong cilik hanya dijadikan komoditi yang memiliki nilai guna untuk kemudian ditukar dengan kekuasaan. Prabowo kebalikan dari semua itu, ia mempertukarkan kekuasaannya demi wong cilik.***