PENULISAN ULANG SEJARAH, GUS DUR DAN MASA DEPAN REKONSILIASI NASIONAL

Begitu dilantik menjadi presiden, Gus Dur langsung mendatangi sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Gus Dur juga meminta maaf atas apa yang terjadi pada Peristiwa 1965. Tak berhenti sampai di situ, Gus Dur juga mendorong agar Tap MPRS XXV/MPRS/1966 untuk dicabut. Saat itu, segala langkah rekonsiliasi nasional yang coba dirintis oleh Gus Dur banyak ditentang dan menimbulkan kontroversi. Gus Dur pun dituduh macam-macam, mulai dari pro komunis sampai anti Pancasila. Rupa-rupanya pemikiran Gus Dur waktu itu dianggap kemajon atau melampau zaman.  Namun kini langkah tersebut mulai mendapatkan kebenarannya.

Bermula dari pencabutan Tap MPR

Pada masa akhir masa baktinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membuat langkah yang patut diapresiasi. Satu Tap MPRS dan dua Tap MPR yang menjerat Presiden Sukarno, Soeharto dan Gus Dur dicabut oleh MPR. Langkah ini merupakan titik maju bagi proses bernegara di Indonesia. Batu fondasi untuk melangkah menuju rekonsiliasi nasional mulai ditata.

Bila dilihat dari sejarah, pencabutan Tap MPRS dan MPR tentang presiden merupakan upaya untuk menulis ulang sejarah. Dengan dicabutnya Tap tersebut tentu bersekuensi terhadap revisi penulisan sejarah. Dalam kasus Gus Dur, misalnya, sejarah tentang sebab musabab Gus Dur dijatuhkan perlu ditulis kembali dengan berdasarkan versi terbaru. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa penulisan ulang sejarah merupakan awal mula dari rekonsiliasi.

Sebelum Tap MPR Nomor II/MPR/2001 dicabut, tentu keluarga Gus Dur akan terus-menerus terganggu. Saat cucu-cucu Gus Dur mulai sekolah dan mendapati guru mereka menerangkan bahwa sang kakek, Gus Dur, dijatuhkan jadi kursi presiden karena dianggap terlibat korupsi dan membangkang terhadap konstitusi sebagaimana tertuang dalam Tap MPR Nomor II/MPR/2001,  tentu mereka akan merasa malu kepada teman-temannya karena kakeknya telah berbuat sesuatu yang tercela. Sekarang, setelah Tap MPR tersebut dicabut, mereka bisa merasa lega dan bangga bahwa kakeknya tidak terbukti melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari konstitusi. Dan, kakeknya dijatuhkan karena justru mempertahankan tegaknya konstitusi.

Pelajaran dari kasus Gus Dur adalah ketika presiden dijadikan sandera politik. Sebagai presiden yang paham konstitusi bahwa negara kita menganut sistem presidensial, Gus Dur tak sudi disandera. Oleh karena itu, lawan-lawan politiknya menyusun konspirasi politik untuk menjatuhkan Gus Dur. Gus Dur bergeming sehingga pada akhirnya dijatuhkan dengan alasan yang dicari-cari. Saat itu Gus Dur menjadi pesakitan dan diusir dari Istana. Hujatan demi hujatan menderanya dan hampir tidak ada tokoh politik maupun intelektual yang membelanya secara terbuka. Namun kini, kebenaran mulai terkuak. Bangsa Indonesia melalui MPR mengoreksi Tap MPR yang menjerat Gus Dur. Pada akhirnya kita sadar bahwa Gus Dur tidak melakukan kesalahan yang pernah dituduhkan.

Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, “Rekonsiliasi tidak berarti melupakan atau mencoba mengubur rasa sakit akibat konflik.” Atau dalam bahasa Gus Dur, “Kita memaafkan tapi tidak melupakan.” Prinsip utama rekonsiliasi adalah keadilan bagi korban. Korban perlu dipulihkan harkat dan martabatnya dengan permintaan maaf secara resmi oleh negara. Langkah yang diambil MPR sudah tepat. Sebagai lembaga negara, secara resmi MPR memulihkan harkat dan martabat presiden Indonesia. Sebagai representasi negara, MPR telah mengakui kesalahan di masa lalu dan meluruskan sejarah yang bengkok karena konflik politik.

Harapan untuk pemerintahan Prabowo

Ada baiknya bila Presiden Prabowo Subianto menyampaikan permintaan maaf terhadap semua konflik politik yang pernah terjadi setelah kemerdekaan hingga yang terjadi hari ini. Dan negara akan memulihkan harkat, martabat dan memberikan konpensasi kepada para korban. Pidato semacam ini akan menandai bahwa rekonsiliasi akan dikomando oleh negara dan melibatkan seluruh rakyat, bukan rekonsiliasi elit politik semata.

Selama ini proses rekonsiliasi hanya dipahami antara elit politik semata. Kesan yang muncul rekonsiliasi dimaknai sebagai bagi-bagi kekuasaan. Padahal yang paling banyak menjadi korban konflik politik adalah rakyat kebanyakan. Dari konflik politik PRRI/Permesta, Peristiwa 1965, DOM Aceh dan Papua, Tanjung Priok, Mei 1998, konflik politik di Ambon serta Poso, dan konflik-konflik politik lainnya, rakyatlah yang paling banyak menjadi korban. Selama ini mereka dibiarkan begitu saja sehingga sampai anak cucu harus menanggung dosa leluhurnya. Bahwa leluhurnya dicap sebagai pemberontak hingga keturunannya mesti ikut menanggungnya. Maka penulisan ulang sejarah semestinya bertujuan sebagai jembatan rekonsiliasi nasional.

Dalam berbagai pidato, Prabowo sering menekankan pentingnya persatuan dan rekonsiliasi nasional. Membangun ribuan kilo jalan tol, waduk, bendungan, ibu kota, angkatan perang, food estate, bandara dan pelabuhan memang penting untuk kemajuan perekonomian Indonesia. Namun menegakkan nilai-nilai kemanusian tidak boleh dipinggirkan. Selama ini pragmatisme politik dan ekonomi seringkali meminggirkan nilai-nilai kemanusian. Padahal sebagaimana dikatakan Multatuli bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia, artinya menjadikan humanisme kerakyatan menjadi aras utama kemajuan sebuah bangsa.

Rekonsiliasi merupakan langkah agar nilai-nilai kemanusian bisa tegak kembali dengan menghapus dendam masa lalu dan memulihkan harkat dan martabat korban. Tanpa itu kita akan menjadi bangsa yang terus-menerus memeram dendam dan tidak pernah mengakui kesalahan di masa lampau. Hendaknya kita menjahui humanisme limited, kemanusian sempit, kemanusian golongan, namun menganut kemanusian bagi seluruh kalangan rakyat Indonesia.

Pendiri bangsa dan Sumpa Pemuda memulai dengan “kami putra dan putri Indonesia” dan dalam Proklamasi dengan “kami bangsa Indonesia”. Artinya bahwa bangsa Indonesia saat itu melawan penjajah yang bukan bagian dari “kami”. Namun setelah merdeka,  ego “kami” sepatutnya ditanggalkan diganti dengan kesadaran “kita” sebagai saudara sebangsa. Selama ini konflik sering kali terjadi tersekat-sekat dalam “kami”. Tidaklah mengherankan kalau upaya rekonsiliasi seringkali menemui jalan buntu. Sudah waktunya “kita” beriklar sebagai satu bangsa Indonesia. Dengan begitu jalan rekonsiliasi akan terang benderang.

Rekonsiliasi merupakan kebetuhan mendesak di tengah situasi dunia yang tak baik-baik saja. Juga sebagai benteng di tengah-tengah kekuatan asing yang hendak memecah belah kita. Agar kuat, kita perlu bersatu dengan dilandasi oleh rekonsiliasi nasional. Melalui penulisan ulang sejarah dan langkah-langkah konkrit lainnya, kita berharap pemerintahan Prabowo Subianto bisa melakukan rekonsiliasi sebagaimana pernah dicita-citakan oleh Gus Dur.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *