Tatkala menghadapi krisis, ada dua jalan yang akan ditempuh oleh kapitalisme: neo-liberalisme dan perang. Sebetulnya ada jalan ketiga sebagai alternatif, tapi tak mungkin dipilih oleh kapitalis, yaitu: sosialisme.
Neo-liberalisme merupakan resep kapitalisme agar mereka terhindar dari krisis. Namun tak semua negara mau menerapkan resep ini karena terbukti hanya menguntungkan negara kapitalis besar. Terhadap negara yang bandel ini, negara adidaya akan memakai berbagai cara untuk menggulingkannya. Upaya yang dilakukan mulai melalui cara-cara yang demokratis hingga melakukan kudeta. Bila cara tersebut tidak mempan, maka akan diperangi seperti Irak dan Afghanistan.
Sedari awal Karl Marx sudah menganalisa dalam Das Kapital bahwa pada satu titik kapitalisme akan mengalami surplus komoditi. Mereka akan menggali liang kuburnya sendiri. Guna mengatasi hal tersebut, kapitalisme melakukan penjajahan terhadap negara-negara di Afrika, Amerika Latin maupun Asia. Selain mencari sumber daya alam, mereka juga mendistribusikan barang produksi mereka di negara jajahan. Maka Lenin mengingatkan bahwa puncak tertinggi dari kapitalisme adalah imperialisme. Tujuan akhir dari imperialisme adalah agar surplus produksi bisa diatasi dengan cara memaksa daerah jajahan membeli produk mereka.
Usaha untuk mengendalikan pasar di Afrika, Amerika Latin dan Asia inilah yang memicu perang. Lenin dengan tegas menyatakan kapitalisme tidak bisa hidup tanpa perang. Perang Dunia I dan II terjadi karena hal ini. Kapitalisme tak mempunyai jalan lain selain perang. Lewat perang mereka berusaha menata kembali pasar. Tanpa pasar yang diperbaharui lewat perang, maka krisis akan tetap terjadi. Ketika pasar sudah berhasil ditata kembali, barang-barang mereka bisa dijual kembali.
Sebagai contoh, hantaman rudal Israel ke South Pars–pusat LNG terbesar dunia yang dimiliki Iran–merupakan usaha menata pasar. Selain dikuasai Iran, South Pars juga dikerjakan bersama dengan Malaysia, Rusia dan Korea Selatan. Ada pundi-pundi besar di South Pars, dan negara Barat tentu ingin ikut menikmati. Ketika Barat sudah “meninta baik-baik” untuk mendapatkan jatah namun tidak diberikan, maka rudal Israel yang diluncurkan. Sebagaimana ditulis John Perkins dalam bukunya Pengakuan Bandit Ekonomi, Israel hanyalah ampibi Barat di Timur Tengah yang kaya dengan sumber daya alam. Ampibi tersebut kapan saja bisa digerakaan apabila kepentingan Barat tak terpenuhi. Tak mengherankan kenapa hanya pusat LNG Iran yang diserang sementara milik Qatar aman, padahal tempatnya berdempetan? Tentu saja LNG Qatar aman karena dengan sukarela mau menjadi sekutu Barat dalam menyedot gas tersebut.
Sudah tepat pernyataan Prabowo bahwa perang Israel melawan Iran harus segera dihentikan lewat gencatan senjata. Sebagai seorang jenderal tentu ia paham bahwa perang yang sedang berkecamuk di kawasan Timur Tengah hanya akal-akal negara kapitalis besar untuk mengatasi krisis di negaranya dan untuk berebut pasar. Perang tersebut bukan perang pembebasan untuk memerdekaan diri. Tak mengherankan kalau Barat tetap berkehendak agar perang terus berlangsung. Terakhir negara-negara Barat menyatakan akan tetap mendukung Israel. Mereka adalah botoh dalam peperangan ini. Dalam epos Mahabharata mereka adalah Kresna yang tugasnya mengadu antara Kurawa dan Pandawa. Maka sosok Kresna dalam wujud sesungguhnya adalah raksasa bertubuh hitam legam: simbol angkara murka perusak dunia.
Prabowo tentu tak mau ikut menari diiringi tambuhan gendang negara-negara kapitalis besar. Bagi Prabowo, perdamaian harus diutamakan. Kalaupun ada konflik, meja perundingan adalah jalan keluarnya. Tentu untuk mengakhirinya tak akan mudah. Banyak kepentingan yang saling berkelindan di sana.
Selain untuk berebut pasar, hari ini perang bukan sekadar saling serang, tapi telah menjadi komoditas. Kapitalisme menjadikan perang sebagai pertunjukan kolosal yang disiarkan langsung lewat berbagai saluran media sosial dan televisi. Tidak hanya bola saja yang disajikan lewat siaran langsung, tetapi juga perang. Seperti piala dunia sepak bola, siaran ini ditonton oleh jutaan orang merupakan pundi-pundi besar bagi kapitalisme. Hari ini, perag bisa ditonton seperti menonton film di bioskop-bioskop sembari makan popcorn.
Dalam masyarakat konsumsi—meminjam istilah Jean Bauldrillard—perang adalah hiburan yang dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bagian budaya massa. Seperti adegan tinju, semakin berdarah-darah petinjunya, penonton akan semakin berjingkrak-jingkrak. Korban perang yang terluka dengan kain perban di sekujur tubuh, buntung kaki atau tangannya, ibu yang memeluk anaknya yang mati, reruntuhan bangunan, mobil dan motor yang hancur lebur, bagi masyarakat konsumsi adalah pertunjukan sebagaimana vidio porno. Seperti yang ditulis Roland Barthes bahwa gulat yang selama ini dianggap sebagai olah raga sejatinya adalah hiburan bagi masyarakat. Pun,perang. Hari ini perang sudah dinikmati sebagai budaya populer sebagaimana Starbucks, McDonald’s dan Macintosh.
Maka pernyataan Prabowo tentang perang yang harus diakhiri tidak akan populer di negaranya. Berbeda bila Prabowo, misalnya, menyatakan mendukung Iran, maka akan disambut dengan pesta pora. Bagi masyarakat konsumsi di Indonesia, pernyataan Prabowo yang menghendaki dilakukan gencatan senjata akan dianggap menggangu hiburan yang sedang seru-serunya; pernyatan yang tidak maskulin alias kurang laki. Bagi mereka, ini merupakan perang yang sudah ditunggu-tunggu. Setelah penat bekerja, mereka pergi ke cafe, menikmati french fries dan tentu saja sembari menonton siaran langsung perang. Ketika rudal terlihat meleset dari sasaran, mereka akan berteriak, “Jancuk!” Saat ada peluru yang ditangkis lawan, mereka berteriak, “Asu!” Ketika tembakan mengenai sasaran, mereka akan berjingkrak-jingkrak seperti saat Maradona membobol gawang Peter Shilton dengan tinjunya: dendam Malvinas terbayarkan.
Dalam esainya Manusia dan Bom Atom, George Orwell pesimitis perang bisa dihentikan. Menurutnya, bom atom akan memungkinank perang terjadi secara besar-besaran. Dengan senjata yang semakin canggih, manusia akan menghancurkan dirinya sendiri. Dengan perlombaan senjata yang semakin gila-gilaan, menurut Orwell kondisi kehidupan manusia dalam posisi “perdamaian yang tidak damai.” Artinya, perdamaian itu hanya hal semu karena masing-masing siap untuk berperang. Pesimisme Orwell memang berdasar.
Apa yang ditulis Orwell sama dengan dengan analisa Lenin bahwa selama kapitalisme tidak tumbang, perang masih akan muncul dalam cerita manusia. Bagi Lenin, perang merupakan karakter bawaan kapitalisme yang anarkis dan kompetitif dalam menguasai pasar dunia. Dalam Imperialisme: Puncak Tertinggi Kapitalisme,Lenin menuliskan:”Aliansi damai mempersiapkan jalan bagi perang dan pada gilirannya tumbuh dari perang; yang satu mengkonsolidasikan yang lain, menghasilkan bentuk-bentuk perjuangan damai dan tidak damai secara bergantian.” Dalam kerangka ini kita bisa memahami kenapa terjadi perang Iran dan Israel dan munculnya ketegangan antara Amerika Serikat, Tiongkok dan Rusia dalam bentuk perang dagang.
Sebagai manusia beradab kita masih bisa optimis bahwa perang bisa dihentikan–walaupun mungkin sementara. Pada tahun 1960-an, Generasi Beat dan Generasi Bunga bisa menghentikan Perang Vietnam. Oleh karena itu, kita perlu mendukung langkah Prabowo untuk menghentikan perang yang sedang berkecamuk.
Allen Ginsberg, pelopor Generasi Beat, dalam puisi Howl, menuliskan:
“Moloch! Moloch! Mimpi buruk Moloch!
Moloch yang tidak punya cinta!
Moloch yang gila!
Moloch si penghakiman berat bagi manusia!”
Moloch merupakan alegori dari kapitalisme. Kita bukan Moloch. Kita bukan mimpi buruk. Kita memiliki cinta. Kita tak gila. Maka kita masih menghendaki perdamain di muka bumi ini.***