Dalam Kitab Omong Kosong karya Seno Gumiro, perang yang dikobarkan Rama membawa dampak luar biasa terhadap kerusakan lingkungan. Hutan, lahan pertanian, hewan, semuanya hancur lebur hanya karena persembahan kuda untuk memuaskan ego Sri Rama. Akibatnya, sebagaimana dinarsikan Seno: “Balatentara sejuta pasukan berkuda itu mengalir bagaikan banjir bandang melumat persawahan, melenyapkan apa pun yang dilewati.”
Sejak Gilgamesh, raja Uruk, sekitar 2700 SM, melancarkan perang pertama yang tercatat dalam sejarah, dampak kerusakan lingkungan akibat perang sudah terlihat. Manusia telah melewati ribuan kali peperangan, besar dan kecil, merusak apa saja hanya untuk satu tujuan: kemenangan.
Puncak peperangan pada abad modern, pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, kita menjadi penyaksi bahwa kerusakan itu begitu nyata. Tanah, air dan udara terpapar radiasi bom atom. Akibatnya, terjadi mutasi gen yang menyebabkan munculnya penyakit kanker dan penyakit lainnya yang membawa dampak berkepanjangan. Efek rumah kaca akibat perang secara langsung telah mengubah ekosistem bumi. Alam rusak.
Dampak perang yang begitu merusak lingkungan itulah, memunculkan slogan Revoluai Rusia: roti, anggur dan perdamain. Perang tak menghasilkan apa-apa selain kerusakan dan penderitaan bagi umat mausia. Tak mengherankan kalau Albert Einstein yang teorinya menjadi dasar pembuatan bom atom, begitu terluka melihat dampak dari perang. Bersama sastrawan Bertrand Russell, Einstein membuat manifesto menolak perang. Salah satu bunyi manifestonya: “kita sekarang tahu, terutama sejak uji coba terkini, bahwa bom nuklir secara bertahap dapat menyebarkan kehancuran ke area yang jauh lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya.”
Sikap Einstein, Russel dan penandatangan manifesto perdamaian, berkebalikan dengan kelas menengah pemuja mooi indie. Beberapa hari lalu, lidah mereka belum kering, bergenit-genit membuat tagar #saveRajaAmpat dengan dalih bahwa penambangan merusak lingkungan. Kini, dari ruangan 4×6 meter, mereka bersulih menjadi ahli tatikus perang dan ahli persenjataan, sembil menegak wine dan menghisap ganja, bertempik sorak melihat peperangan antara Israel melawan Iran. Mereka mengisi grup-grup WA dengan analisa pseudo ilmiah dan sok tahu tentang perang yang tengah berkecamuk, tanpa secuilpun melakukan kecaman terhadap perang. Bagi mereka,korban perang hanyalah deretan angka.
Sikap hiprokrisi (kemunafikan) kelas menengah pemuja mooi indie menunjukkan karakter mereka sebenarnya. Mereka tidak benar-benar mencintai alam. Mereka hanya tidak mau surga di negaranya hancur karena menghilangkan kesempatan penyembuhan jiwa, tapi mereka tak peduli lingkungan alam di negara lain porak-poranda karena perang.
Semua mesin untuk perang, sejak zaman perang masih memakai pedang hingga era drone, adalah produk dari pertambangan. Hasil tambang bukan digunakan untuk membangun peradaban manusia, tapi untuk memproduksi mesin pembunuh massal dan perusak lingkungan. Tapi kelas menengah pemuja mooi indie ini mata hatinya telah terbungkus oleh jelaga. Mereka justru bersuka ria melihat perang yang tak berkesudahan ini. Hanya karena kebenciannya terhadap bangsa Israel, mereka berpeta pora ketika Iran menyerang tanah tiga agama itu. Sampai kini, mereka masih bersuka cita menyebarkan berita dan vidio peperangan seolah-olah mereka berada di garis depan pertempuran. Dengan hati dingin, mereka tak peduli dengan dampak peperangan yang tengah terjadi.
Kelas menengah pemuja mooi indie ini, meminjam istilah Nietzsche, adalah manusia risentimen. Mereka berjingkrak-jingkrak melihat penderitaan orang lain. Manusia resentimen membutuhkan musuh di luar dirinya yang sedang menderita. Erich Fromm menyebut manusia semacam ini sebagai manusia tuna daya. Mereka merasa memiliki kekuatan bila malukan dan mendukung kekerasan. Dan, perang adalah bentuk kekerasan paling purba.
Bila berada di lokasi perang, bencana atau musibah, tabiat manusia tuna daya ini akan memelih mengabadikan korban perang/bencana/musibah yang sekarat dengan smart phone yang selalu menempel di tangannya, daripadamenolong korban terlebih dahulu. Mereka menikmati erang kesakitan korban untuk kemudian mereka sebarkan di media-media sosial dengan dibumbui komentar bijak ala filsuf. Sebagian besar manusia tuna daya inilah memang kelas menengah. Mereka tak berdaya menghadapi gilasan kapitalisme, lantas melampiaskan ketidakberdayaan itu sebagai penyembah perang:menikmati derita nestapa orang lain.
Perang dengan alasan apa pun harus dipungkasi. Perang telah terbukti tidak hanya menghancurkan kemanusian, tapi perusak terbesar lingkungan alam. Maka kami menolak peperangan. Janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu menjadi pemuja perang yang tak beradab dan tak berprikemanusiaan.***