OLIGARKI GEREJA DAN KOMPENI: PENIKMAT TAMBANG TERBESAR DI NEGERI KAMI

Doa Columbus merupakan puisi yang dianggit oleh Walt Whitman. Ditulis pada akhir 1873, lantas diterbitkan dan dpada tahun 1874. Salah satu baitnya berbunyi:

Aku tidak dapat beristirahat, ya Tuhan—

aku tidak dapat makan, minum, atau tidur,

Puisi tersebut menggambarkan perjalanan Columbus mencari Dunia Baru. Tentu saja pelayaran membelah samudera yang ganas itu dilakukan oleh Columbus setelah Perjanjian Tordesillas. Pada tanggal 7 Juni 1494, Portugis dan Spayol sepakat membagi dunia menjadi dua bagian seperti membelah semangka. Paus Alexander VI yang merestui perjanjian tersebut. Maka pemilik modal dan gereja bergandengan tangam, memulai zaman kolonialisme. Dua oligarki ini sampai pula ke Nusantara dengan kapal, meriam dan salib: merampas semua yang ada dari tanah kami.

Awalnya memang rempah-rempah. Tapi, apakah hanya itu yang dibawa gereja dan komponi dari bumi Nusantara? Doktor Putra Budi Ansori—kader PRD yang lama di STN—membuat pernyataan yang menarik: “Apakah hanya pala dan cengkih yang diangkut kapal ke Eropa dengan ganasnya lautan? Berkembang ‘dugaan’ bahwa pala dan cengkih hanya bagian atas kapal, tapi di geladak kapal dipenuhi emas dan batu mulia.”

Pernyataan Doktor Budi tentu tidak mengada-ada. Sejak kompeni datang, mereka sudah melakukan penambangan. Tambang emas pertama disebut tambang emas Salido di Sumatera Barat. Di dukung gereja, selama 150 tahun VOC mengelola pertambangan ini. Tentu saja tidak hanya emas, tapi juga batubara. Salah tambang batu bara tertua pada masa kolonial adalah tambang Oranje Nassau di Kalimantan Selatan.

Peran gereja sangat signifikan dalam pertambangan di era kolonial. Gereja Santa Barbara di Sawahlunto, misalnya, merupakan contoh kehadirannya di pertambangan. Sejauh ini, belum ada dokumen yang menyatakan bahwa gereja Santa Barbara menolak pertambangan batu bara di kawasan itu karena merusak lingkungan. Sama juga, Gereja Oikumene Soteria, Gereja Sion, dan Gereja Ainggigi—ketiga gereja ini ada dikawasan pertambangan Freeport—tidak terdengar teriakan tentang kerusakan lingkungan Gunung Nangkawi dan sekitarnya. Mengapa? Karena mereka bagian dari mesin oligarki.

Pertautan gereja di Indonesia dan tambang sudah terjadi sejak zaman kompeni. VOC dan kamudian dilanjutkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, membiayai berdirinya gereja sebagai institusi oligarki yang bertugas melakukn hegemoni dan kontruksi terhadap penduduk pribumi: bahwa penjajahan ini mulia seperti ajaran Kritus karena berusaha memberikan terang cahaya bagi penduduk yang masih bar-bar. Tentu saja biaya untuk membangun gereja berasal dari hasil menjarah hasil bumi dan pertambangan.

Dengan adanya sumber keuangan yang besar ini, sebagai bagian dari oligarki kolonial, tak mengherankan kalau gereja bisa membangun tidak hanya fasilitas peribadatan, tetapi juga fasilitas pendidikan dan kesehatan. Dengan sumber dana yang besar, gereja bisa membangun sekolah dan rumah sakit dengan kualitas yang baik. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan sumber daya manusia beragama Protestan dan Katolik dengan baik. Sebagian dari sekolah dan rumah sakit mereka masih bertahan sampai. Dengan status “elit”, hanya orang-orang dari kelompok ekonomi tertentu yang bisa mengaksesnya.

Menariknya, sekarang gereja ribut ketika tambang hendak dikelola oleh NU dan Muhammadiyah. Ada upaya dari oligarki gereja agar pertambangan di Indonesia tak jatuh pada ormas-ormas Islam.  Sebagai representasi organasasi Islam di Indonesia, kedua organisasi tersebut tidak pernah menikmati secara langsung hasil tambang. Tak mengherankan kalau mereka tidak bisa membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan sebaik gereja. Akibatnya, kondisi umat Islampun terseok-seok, hingga hari ini.

Ketika pemerintah hendak memberikan konsensi tambang kepada ormas Islam, tiba-tiba dihembuskan dengan kencang isu tambang sebagai perusak lingkungan. Seolah-olah baru saja Indonesia membuka tambang. Upaya untuk mencegah ormas Islam mengelola tambang tentu bukan tanpa tujuan. Mereka tak ingin hasil tambang digunakan untuk membangun umat Islam.

Di tengah berbagai propaganda dampak negatif tambang, ormas Islam tetap menerima tawaran pemerintah. Sekarang setelah memulai, LSM asing, kelas menengah sekuler dan gereja ramai-ramai menghantam hilirisasi tambang. Ada semacam ketakutan kekuatan ormas Islam akan membesar yang akan mendorong kesejahteraan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bila terjadi, kekuatan umat Islam akan mendorong keluar oligarki Barat yang selama ini menguasai pertambangan di bumi Nusantara.

Melihat heboh kasus tambang Raja Ampat, kita semakin tahu siapa musuh kita yang hendak menggagalkan hilirisasi tambang—mereka bagian dari oligarki yang sudah ada sejak zaman kolonial yang tak ingin kemewahannya dihancurkan. Gereja dan LSM asing hanyalah oligarki  berkedok pejuang lingkungan yang sengaja mengganjal agar bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa kere. Dengan begitu, bangsa Indonesia tetap bisa dijadikan budak negara-negara Barat (kompeni) dan gereja.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *