Pidato Prabowo Subianto bahwa Belanda telah menggondol kekayan bangsa Indonesia adalah kenyataan sejarah. Kompas TV menuliskan: “Menurut Prabowo, jika dikonversi dengan nilai uang saat ini, besarnya kekayaan Indonesia yang diambil saat itu mencapai USD31 triliun.” Jumlah itulah yang bisa membuat Belanda menjadi negara maju seperti saat ini.
Di Indonesia, penjajahan Belanda tidak hadir sendirian. Ia datang bersama gereja. Slogan kolonialisme selain gold dan glory adalah gospel (kejayaan Gereja). Setiap kejahatan seperti kolonialisme membutuhkan legitimasi agar berubah menjadi misi suci. Dan, yang memberikan penyucian itu gereja.
Uli Kozok dalam bukunya, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, dengan mengambil penelitian tentang Perang Toba, memberikan urain yang jelas hubungan antara penjajah dan gereja. Nommensen yang selama ini dipahlawakan karena dianggap telah mengadabkan orang-orang Batak, dalam tulisan Kozok, tak lebih dari koloborator Belanda. Musuh mereka—Nommensen sebagai penginjil dan Belanda—menurut Kozak adalah sama: Singamaharaja XII dan rakyat di kawasan Sumatera Utara yang gigih melawan penjajah.
Menurut Nommensen, “orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa (hal.101).” Nommensen memakai kata “kami” untuk mengidentikkan dirinya dengan kegiatan tentara Belanda dalam menumpas perlawanan orang-orang Batak (hal.106) dan di luar Batak seperti Mandailing, Angkola, Simalungun, maupun Karo Pakpak–yang mayoritas beragama Islam.
Entah dengan adanya kajian Kozok ini mungkin masih ada orang Batak pemuja mooi indie masing mengagung-agungkan tokoh gereja seperti Nommensen, karena menurut T.B. Silalahi: “Kalau dulu Apostel Nommensen tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai sekarang.” Bila apa yang dikatakan T.B. Silalahi benar dan seandainya Nommensen tidak hadir, kita akan menyaksikan pelancong-pelancong mooi indei berseliweran dengan memakai cawat di Raja Ampat, Gunung Kawi atau sedang kungkum di kawah Gunung Merapi.
Peranan gereja sebagai pendukung penuh kolonialisme menjadi bahan ejekan Multatuli dalam Max Havelaar. Struktur gereja besatu dengan struktur penjajahan untuk merampas kerbau Saijah. Gereja tak hanya diam, tapi berperan aktif melakukan penindasan. Dalam sejarah Indonesia, gereja dan kolonialisme Indonesia memang selalu berpelukan sembari menindas rakyat dan menguras seluruh kekayaan Indonesia. Hasil semua itu, dalam hitungan Prabowo, RP. 502.000 trilliun dibawa penjajah Belanda ke negerinya.
Tentu saja peranan gereja sebagai patner pemerintah kolonial Belanda tidak hanya terjadi di Tanah Batak, tapi semua wilayah Indonesia. Dengan membawa Injil ditangan, kaki mereka menginjak-injak rakyat Indonesia agar tak melawan. Sembari berucap haleluya, mereka menebas orang-orang pribumi.
Sartono Kartodirdjo menulis Pemberontakan Petani Banten 1888. Dalam buku yang mendalam itu disebutkan peranan ulama dan rakyat dalam melawan penjajahan Belanda, tapi tak ada peranan gereja untuk membantu perjuangan tersebut. Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi menyebut tokoh Haji Misbach sebagai pelopor perlawan Belanda di Solo, tapi tak ada gereja di Solo mendukungnya. Peter Carey menulis tiga jilid Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, tak ada pula gereja yang membantu dalam Perang Jawa tersebut. Dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer memang ada tokoh Nasrani asal Manado bernama Pangemanann, tapi jadi antek-antek Belanda untuk memata-matai Minke.
Baru setelah Indonesia merdeka ada teriakan “100% Katolik, 100% Indonesia”—itu pun karena takut digasak oleh revolusi di daerah-daerah. Dalam sejarah panjang Indonesia, tangan gereja berdarah-darah ikut menggorok leher bangsa Indonesia. Dan, kini hendak menjadi pahlawan kesiangan berkedok humanisme universal ala Barat untuk mengganjal program hilirisasi tambang.
Program hilirisasi tambang merupakan upaya besar bangsa Indonesia untuk mengolah kekayaan alamanya, tak mengherankan kalau ada hantaman yang besar pula. Program ini yang akan menjadi roket pendorong agar bangsa Indonesia keluar dari negara berkembang menjadi negara maju. Persatuan nasional dibutuhkan agar program hilirisasi tambang ini berhasil, namun banyak kepentingan asing yang berusaha menggagalkannya.
Kalau kini gereja berkoar-koar tentang tambang nikel di Raja Ampat, itu hanya sebuah upaya agar kolonialisme gaya baru tetap langgeng di Indonesia. Agar bangsa Indonesia tak mengolah kekayaan alamnya sendiri. Agar rakyat Indonesia tak berdiri di atas kaki sendiri. Agar bangsa Indonesia tetap terbelakang, yang penting tetap menjadi Hindia yang molek bagi bangsa asing dan kaki tangannya.***