PROPAGANDA BARAT DI BALIK HEBOH RAJA AMPAT

Dalam bukunya Propaganda, Edward Bernays mengungkapkan: “Kita diperintah, pikiran-pikiran kita ditata, selera-selera kita dibentuk, gagasan-gagasan kita dimodelkan, terutama oleh orang-orang yang tak pernah kita kenali.” Hal yang disampaikan Bernays terjadi dalam segala bidang, termasuk ekonomi-politik.

Bernays bukan semata teoritikus propaganda, tetapi juga seorang propagandis. Pada tahun 1953, Bernays direkrut oleh pemerintahan Eisenhower yang dekat dengan CIA. Ia diperkerjakan di United Fruit Company di Guatemala. Tugas pokoknya adalah menggulingkan pemerintahan Jacoba Arbena. Seperti kita ketahui, rezim Arbena ini dipilih secara demokratis, tapi Amerika Serikat tidak suka karena dianggap condong ke Kiri. Maka Bernays dan tim propagadannya bertugas menggembar-gemborkan ancaman komunisme di Guatemala. Tugas ini berhasil. Arbena jatuh bersama nanas dan pisang yang mengalir ke Amerika.

Bila kita melihat dari kasus Bernays,   sebagai seorang propagandis ia tidak ditempatkan di departemen politik, tapi pada perusahan buah-buahan. Dalam konteks hari ini, para propagandis Barat bisa bersulih menjadi aktivis LSM, intelektual, uskup, pembuat film dokumenter ataupun seorang pelancong.

Salah satu titik lemah pemerintahan Prabowo adalah tidak punya tim propaganda yang tangguh untuk membalik propaganda Barat. Sementara Prabowo sendiri bukan propagandis ulung seperti Hitler, Sukarno, Castro atau Putin. Akibatnya ia selalu kalah selangkah bila menghadapi propaganda Barat. Dulu, Partai Rakyat Demokratik (PRD) memiliki departemen agitasi dan propaganda. Dikomandani oleh Muhamad Maruf, departemen ini mampu melawan propaganda Orde Baru. Prabowo tak memiliki itu. Ia memang memiliki PCO (juru bicara), tetapi bukan tim petarung dalam adu narasi dalam propaganda. Mereka sebagian besar adalah intelektual, bukan propagandis.

Program hilirisasi tambang akan menjadikan Prabowo sebagai karung samsak propaganda Barat. Raja Ampat hanya satu saja usaha untuk menggoyang program hilirisasi. LSM binaan Barat dan kelas menengah pemuja surga dunia akan terus-menerus berisik anti nikel walaupun kemana-kemana menenteng smart phone berbahan nikel. Para buruh, petani maupun kaum miskin perkotaan tak akan bisa berwisata ke Raja Ampat. Bila agen-agen Barat tersebut terus menyanyi, itu demi kepentingan kelas mereka sendiri.

Bila daya gedor mereka kurang, maka tokoh agamawan seperti uskup akan dikerahkan. Kita tahu, sejak zaman rempah-rempah, para tokoh agama seperti uskup inilah yang menjadi kaki tangan penjajah untuk melegitimaai kolonialisme. Propaganda mereka yang terus-menerus diocehkan: Bahwa orang-orang Timur yang masih bar-bar perlu diadabkan dengan pengkabaran Injil biar seperti Eropa yang putih. Dan, sekarang pun masih terjadi. Tangan mereka tetap berdarah-darah di balik kisah-kisah eksotisme Timur: “Bahwa Papua adalah surga yang diturunkan Bapa kami sebagai cerminan surga di atas sana, dan kini dirusak oleh tangan-tangan kotor setan dan iblis.” Apa yang bisa kita harapkan dari tokoh yang hidup dari persepuluhan?

Prabowo sudah sadar bahwa taktik pecah belah akan dilakukan Barat. Pelan-pelan masalah Raja Ampat digeser ke arah agama. Kita tahu, salah satu komisaris tambang nikel di Raja Ampat adalah pengurus PB NU. Maka uskup dimajukan dengan propaganda mooi indie-nya. Akan diangkat bahwa tambang di Papua komisarisnya tokoh Islam dan Jawa pula, bukan tokoh Katolik dan Papua. Sebagaimana dinarasikan oleh Taslima Nasrin dalam novel Lajja, agama merupakan ranting-ranting kering paling  cepat untuk membakar perpecahan.

Lantas partai apa yang akan segera tabuh gendang? Jelas Banteng. Selama partai ini masih dikuasai elemen-elemen Islamphobia, partai akan menyirami masalah Raja Ampat ini dengan bensin agar semakin berkobar. Kita sudah hafal tabiat partai ini, apalagi ketika di luar kekuasaan. Ketika di dalam mereka adalah moster paling rakus, ketika di luar akan melakukan adu domba. Dan, umat Islamlah kuda troyanya.

Bila kita membaca buku Metode Jakarta karya Vincent Bevins, kita dengan mudah bisa mengetahui cara Barat mengacak-ngacak negeri kita. Tahun 1965 isu komunisme yang dipakai sebagaimana terjadi di Guatemala. Hari ini masalah hilirisasi tambang bisa digunakan. Barat tentu memiliki kepentingan untuk mengobrak-abrik program hilirisasi tambang. Bila hilirisasi tambang ini berhasil, Indonesia akan menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang akan melejit kesejahteraannya. Tak mengherankan, LSM, Gereja dan kelas menengah hedon akan dikerahkan untuk menganggu program hilirisasi. Di sinilah pemerintahan Prabowo mendapat ujian terberatnya. Apakah ia mau digulingkan seperti Arbena di Guatemala, atau bertahan seperti Mao di Tiongkok—membangun basis modernisasi bagi negaranya melalui hilirisasi?***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *