KAUM MOOI INDIE ANTI HILIRISASI

Kaum mooi indie yang didanai Barat berkedok kecintaan pada alam, mencoba mengganjal dan mengganggu program hilirisasi pemerintahan Prabowo. Kita tahu penganut mooi indie adalah pemuja Indonesia molek. Mereka kelanjutan dari romantisisme yang berkembang di Eropa pada abad ke-19. Bagi mereka, alam tak boleh dijamah agar tetap alami sebagaimana Tuhan pertama kali menciptakannya.

Mooi indie adalah kontruksi Barat tentang Timur. Edward Said dalam Orientalisme dengan apik menguraikan bagaimana cara kontruksi Barat terhadap Timur bekerja. Bagi Barat, Timur merupakan alam liar, tempat berbagai tumbuhan, hewan dan dedemit hidup. Maka lahirlah paham eksotisme Timur yang rasis.

Dalam seni lukis, mereka menggambarkan sawah, gunung, sungai dan perempuan-perempuan Timur yang mereka anggap eksotis. Semua digambarkan serba indah: pohon nyiur, kerbau dan telaga yang bening. Dalam sastra, lahirlah karya-karya Pujangga Lama dan Baru. Sebagai contoh adalah puisi Intijo berjudul Pulau Bali:

Sawah ladang,
Padi hilalang,
Berderek-derek pohon nyiur
Hidup semua subur
Sekitar Karangasem yang permai,

Permai s’bagai tiada yang memadai
Warna aneka laksana pelangi sutera,
Terbentang bertaburkan kembang Semboja,

                        O, Bali pulau bahagia,
                        Kau patut dipuji, dipuja.

Memang pandangan mooi indie ini telah digasak oleh Sudjojono, Affandi, Chairil Anwar hingga Lekra. Namun bukan berarti telah lenyap. Kini, selain dianut oleh LSM-LSM binaan Barat semacam Greenpeace, pandangan mooi indie juga dikeloni oleh kelas menengah kota yang terasing dalam dunia kapitalisme.

Alienasi kata Karl Marx, bukan semata manusia terpisah dari komoditi yang dihasilkan, tapi juga ketika manusia memuja komiditi itu. Manusia menjadikan komoditi sebagai Tuhan baru. Dalam konteks kelas menengah kota, mereka menjadikan alam sebagai Tuhan baru yang tak boleh diusik dan dijamah. Sebagai budak kapitalisme, mereka mengalami keterasingan yang membutuhkan Tuhan baru. Mereka butuh apa yang disebut sekarang sebagai tempat healing (penyembuhan). Sebagai Sisifus yang dipaksa terus-menerus mendorong batu, mereka mengalami gangguan kejiawaan yang membutuhkan saluran penyembuhan.

Para kelas menengah pemuja mooi indie ini ingin melihat telaga tiga warna di Kalimutu, ombak menghantam karang di Pantai Popoh, pasir putitih di pesisir Bayuwangi, senja di Raja Ampat, kicau burung di alas Purwo, malam di Teluk Bone. Atau pergi ke kampung-kampung melihat petani menanam nanas, ketela dan gembili. Menonton kerbau mandi dan kambing makan rumput. Bagi mereka, semua itu adalah kejaiban dunia yang tak pernah terlihat kota. Dengan gaya tuan-tuan kolonial zaman Belanda, mereka memandang penduduk lokal dengan kacamata eksotisme mooi indie: serba indah.

Apakah mereka benar-benar pecinta alam? Bukan. Mereka hanya ketakutan kehilangan tempat swa foto (selfie) dengan dada telanjang di pinggir pantai, di kubangan sawah, naik kerbau atau mengepalkan tangan kiri di puncak gunung—untuk kemudian diunggah di media sosial atau diserbarkan di group-group WA. Sebagai bagian dari manusia-manusia kota yang terasing, mereka takut kehilangan si liyan: tempat menghibur diri setelah sekian lama diperbudak oleh kapitalisme.

Kaum mooi indie inilah yang paling berisik tentang tambang nikel di Raja Ampat atau tambang emas di Tumpak Pitu. Bersama LSM-LSM binaan asing, mereka satu suara agar program hilirisasi  pemerintahan Prabowo ini gagal. Progam hilirisasi memang menakutkan Barat. Maka dihantamlah dengan isu-isu kerusakan alam. Dan, kelas menengah kota yang hidupnya terasing dan kesepian, ikut tabuh gendang. Mereka memilih menjadi Londo ireng, antek-antek Barat.

Ada ejekan menarik  A.A. Navis dalam cerpen Robohnya Suarau Kami. Terjadi dialog antara Tuhan dan Haji Saleh di akhirat:

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Di negeri di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’ 

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’‘
Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.

Mengapa negeri yang kaya raya namun penduduknya miskin sebagaimana sindiran Tuhan dalam cerpen Robohnya Suarau Kami? Karena penduduknya mabuk candu. Dalam cerpen Navis candu itu berupa agama. Dalam era sekarang, candu itu adalah tipu muslihat mooi indie. Mabuk inilah yang menyebabkan mereka tak mau mengolah komoditi yang telah dianugerahkan alam kepada manusia. Mereka sibuk menyenangkan diri sendiri, menentramkan jiwa-jiwa mereka yang resah.

Baik agama maupun mooi indie menawarkan hal yang sama: surga—tempat sungai susu yang mengalir indah, buah-buahan yang selalu ranum, perempuan-perempuan eksotis yang selalu perawan, burung yang selalu berkicau, anak-anak rusa yang minum di telaga biru.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *