ARUS MAJU REFORMASI 1998

Tujuan utama dari gerakan Mei 1998 adalah Revolusi Demokratik. Revolusi ini akan membuka ruang-ruang demokrasi yang selama Orde Baru tersumpal. Orang tak bisa bebas bersuara, berserikat dan berkumpul. Lembaga-lembaga ekstra yudisial seperti Kopkamtib hadir untuk mematai-matai rakyat. Akibatnya, rakyat terterungku dalam kandang kedikatoran. Inilah yang dijebol oleh Revolusi Demokratik.

Revolusi Demokratik memang revolusi borjuis. Borjuasi menghendaki kebebasan dan persamaan. Dengan kondisi seperti itu, mereka bertumbuh dengan sehat, hidup dalam pertarungan yang terbuka. Borjuasi zaman Orde Baru mengkhianati karakter kelasnya sendiri. Mereka bersedia kehilangan ruang demokrasi—dengan menyetujui kediktaron Orde Baru—asalkan mendapatkan akses ekonomi. Maka yang lahir kemudian adalah borjuasi kroni, borjuasi yang hidup di ketiak kekuasaan.

Gerakan 1998 yang dipelopori kelas menengah—mahasiswa—ingin mengembalikan makna demokrasi borjuis yang sejatinya. Yaitu terbukanya ruang-ruang partisipasi politik yang luas, baik dalam pendirian partai politik maupun dalam melakukan kritik terhadap kekuasaan. Dan, ini berhasil.

Setelah Soeharto tumbang, borjuasi memberikan keleluasaan mendirikan partai politik. Dalam Pemilu 1999, banyak partai politik yang terlibat. Dua yang perlu disebut adalah PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan PK (Partai Keadilan). PRD digerakkan oleh ideologi Kiri, sementara PK berada di sisi kanan. Keduanya bertarung dalam medan elektoral. Keduanya sama-sama tidak lolos PT (Parliamentary Threshold). PRD mampu membangun tak kurang 14 cabang di tingkat provinsi dan 150-an cabang di level kabupaten. Hasilnya, sekitar 78.000 orang memberikan suara pada partai bernomor punggung 16 ini. Prestasi yang bagus.

Sementara PK kemudian bertransformasi menjadi PKS dan lolos masuk parlemen pada Pemilu 2024. Catatan  Greg Fealy, dkk, berbicara: “PK memiliki anggota 33.000 pada pemilu 1999; dan PKS, 400.000  pada  pemilu 2004. Target jangka panjang ialah dua juta anggota.”

PRD juga bertransformasi hingga menjadi PRIMA hari ini, namun belum berhasil menembus parlemen. Yang terpenting dalam hal ini, PRD konsisten dengan demokrasi yang diperjuangkan. Mereka tak memunggungi medan elektoral. Bahkan di masa Prabowo ini, Agus Jabo sebagai representasi PRD yang berpartai masuk ke dalam kekuasaan.

Bagi yang alergi kekuasaan, ada karya Lenin yang ditulis setelah revolusi Oktober 1917: Komunisme ‘Sayap Kiri’: Suatu Penyakit Kekanak-Kanakan. Risah ini ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak revolusioner. Saat gelombang revolusi menerjang, dengan mudah orang akan mengangkat tangan kiri. Bila situasi sebaliknya, satu persatu akan meninggalkan perjamuan. Tapi bukan berarti tak terpecahkan. Dalam situasi yang biasa-biasa saja, Lenin menekankan pentingnya partai seperti PRIMA mengambil strategi bekerjasama dengan kekuatan lain. Dan, bila memungkinkan ikut ambil bagian dalam pemerintahan yang berbasis luas. Artinya, tinggalkan molotov dan batu, untuk kemudian ambil bagian dalam kekuasaan.

Agus Jabo dan PRIMA—sebagai anak sah dari PRD—menempuh jalan serupa. Mereka mendukung kekuasaan yang bagi mereka demokratis. Orang boleh mencemooh langkah ini kompromis, tak revolusioner atau ejekan lainnya. Tapi mereka justru cerdas. Dengan melibatkan diri dalam kekuasaan, mereka berlatih untuk memerintah dan bertarung secara terbuka dalam arena yang disediakan borjuasi. Sehingga, ketika kelak menjadi partai penguasa, mereka telah terbiasa.

Berkat demokrasi borjuis pula memunculkan Partai Buruh. Dalam Pemilu 2024 mereka juga bertarung dalam Pemilu. Belum berhasil memang, tapi telah memberikan angin segar bahwa kaum buruh sudah memiliki partainya sendiri. Setelah 27 tahun, mawar demokrasi semakin merekah.

Juga perlu dilihat pula kemunculan PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Belum lolos parlemen memang, tapi partai ini memberikan harapan baru bagi perpolitikan Indonesia, khususnya golongan muda. Sebagian besar pengurus mereka adalah anak-anak muda. Ada nama Dhohir Farizi sebagai representasi anak muda NU, Furqan AMC mewakili kelas menengah perkotaan yang sudah muak dengan partai semacam PDIP, Isyana Bagus Oka dan Grace Natalie sebagai wakil perempuan modern, Kaesang sebagai borjuasi baru yang muncul pasca Orde Baru, dan nama-nama lain seperti Ade Armando (intelektual), Raja Juli (Muhammadiyah), Andi Budiman (wartawan), dll. Mereka berkehendak memajukan demokrasi di interenal partai dengan sistem one man one vote. Tanpa adanya reformasi 1998, terebosan-terobosan semacam ini tak akan pernah terjadi.

Dalam waktu dekat juga akan dideklarasikan partai baru. Partai ini dipelopori anak-anak muda berpikiran progresif. Lewat reformasi 1998, mulai semakin banyak yang sadar pentingnya partai sebagai alat perjuangan. Suatu kesadaran yang menggembirakan. Mereka telah keluar dari jebakan ideologi LSM-isme.

Dihapusnya PT oleh Makamah Konstitusi juga merupakan kemenangan dari demokrasi. Dengan begitu suara rakyat tidak hangus lagi. Peluang partai baru untuk mendapatkan kursi di parlemen semakin besar. Kemungkinan partai dikooptasi oleh oligarki juga semakin kecil. Partai dari berbagai spektrum ideologi dapat bertarung dengan bebas.

Keluh kesah bahwa ada kemunduran demokrasi adalah igauan orang ngelindur. Setelah 27 tahun, demokrasi justru berada dalam kondisi terbaiknya. Serikat apapun boleh berdiri. Partai apapun boleh ada. Tapi bagi kaum pesimitis yang takut bertarungan di arena borjuasi, mereka lebih suka mengatakan Indonesia gelap.

Orang-orang seperti Rocky Gerung yang tangannya tidak pernah kotor mendirikan serikat di tingkat RT apalagi mendirikan partai politik, merupakan contoh dari borjuis kecil pengecut. Hanya berani mengkhotbahkan pesimisme di mimbar-mimbar diskusi, tapi tak mau berkeringat membangun serikat-serikat rakyat. Manusia-manusia yang hanya mau disuapi, namun tak mau pernah repot-repot ke sawah bergelimang lumpur menanam padi. Kita tak membutuhkan mereka. Kalau pun membutuhkan mereka karena demokrasi juga membutuhkan badut untuk dipentaskan keliling sebagaimana atraksi topeng moyet.

Dalam arus maju reformasi ini, semuanya kembali kepada kita sendiri. Apakah kita tetap berkeluh kesah di pinggir lapangan, atau mau ikut  babak belur di dalam arena pertarungan. Dalam satu risalah, Karl Marx menulis bahwa dalam situasi apapun, yang dikendaki atau tidak: “Manusia membuat sejarahnya sendiri.”***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *