SEKOLAH RAKYAT ALA PRABOWO

Motode dalam pendidikan merupakan faktor penting. Selama ini pendidikan di Indonesia masih memakai motode yang formalistik dengan menempatkan murid sebagai obyek semata. Ada motode lain yang perlu dicoba dalam dunia pendidikan, yaitu Metode Socrates. Metode ini lebih menempatkan guru dan murid sebagai kawan dalam berdialog. Inilah metode yang idealnya diterapkan di Sekolah Rakyat yang sedang dirintis oleh pemerintahan Prabowo Subianto.

Socrates, filuf Yunani, menempatkan dirinya sebagai bidan. Seperti bidan, ia membantu orang melahirkan pengetahuan baru. Metode yang ia pakai untuk membantu proses persalinan pengetahuan baru adalah dialog. Inilah yang kemudian dikenal dengan Metode Socrates.

Prosedur dialog Socrates diawali dengan mengajukan pertayaan. Misal, “Apa itu persahabatan?” atau “Apa itu keberanian?” dan sebagainya. Pertayaan-pertanyaan tersebut merupakan pokok bahasan yang fundamental dalam kehidupan manusia. Setelah mendengar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, Socrates memberikan umpan balik. Semisal ada jawaban bahwa hakikat keberanian adalah kesanggupan menghadapi kesulitan, Socrates akan mengajukan tanya, “Lantas, apa yang disebut keras kepala? Orang yang keras kepala dapat memperlihatkan keteguhan yang luar biasa? Apakah keras kepala sama dengan berani?” (Bryan Magie, 2008:21)

Dengan motede Socrates, kita diajak untuk berpikir terbuka dengan segala kemungkinan. Setiap pengetahuan mempunyai celah untuk dipertanyakan. Prinsip ini kemudian melahirkan motode dialektika, yaitu mencari kebenaran lewat proses dialog. Dengan begitu kita selalu diajak untuk selalu berpikir kritis dan tidak berhenti pada dogma-dogma tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.

Problem pokok pendidikan di negara kita bukan semata pada pergantian kurikulum yang seringkali terjadi, tetapi lebih metode pengajaran. Selama ini proses pendidikan kita cenderung satu arah. Murid, sebagaimana dikatakan Paulo Freire, ditempatkan seperti rekening bank untuk menampung pengetahuan. Guru menjejalkan segala pengetahuan ke dalam diri murid tanpa perlu dipikirkan apakah diperlukan atau tidak. Proses ini berlangsung terus menerus hingga murid menyelesaikan masa studinya. Tidak ada proses dialog seperti Metode Socrates. Proses ini menempatkan murid sebagai obyek semeta. Sebagai obyek, ia tak ada bedanya dengan papan tulis dan penghapus di dalam kelas. Sistem pengajaran semacam ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia penimbun ilmu.

Dengan konsep pendidikan seperti itu, tak mengherankan kalau bangsa kita kurang menghasilkan pemikir dan penemu. Sejak pendidikan dasar, kita tidak dibekali cara melihat dari sudut pandang yang berbeda dan berpikir secara kreatif. Materi-materi pelajaran yang ada lebih banyak untuk dihafalkan, bukan untuk dipahami dan dimengerti.

Maka murid diwajibkan hafal Pancasila, butir-butir Pancasila, rumus-rumus hingga tanggal-tanggal peristiwa penting dalam sejarah. Tak mengherankan kalau orang-orang Indonesia hafal Pancasila, tetapi rendah toleransinya, tipis solidaritas sosial, suka bertengkar karena tak paham makna musyawarah mufakat, dan tak peduli dengan ketimpangan sosial di sekitar. Sebagai bangsa penghafal, kita bisa menyebut di luar kepala isi sebuah teks, tapi tak memahami yang ada di balik teks dan konteksnya. Dengan kondisi seperti ini, sebagus apapun kurikulum, tak akan bisa menyelesaikan persoalan pokok pendidikan.

Metode Socrates mengajak manusia belajar sama-sama maka dalam konsep Sekolah Rakyat, siswa dan siswi ditempatkan di dalam asrama. Dalam pendidikan, motode tersebut menempatkan guru sebagai teman dialog, bukan pemegang otoritas kebenaran di dalam kelas. Sebagai teman, guru terus mendorong muridnya untuk berpikir secara kritis dan terus-menerus berani mengajukan pertanyaan. Semakin banyak pertanyaan, jalan menuju pengetahuan semakin terbuka. Lewat belajar bersama-sama, maka akan terjadi dialektika manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungan sosial, dan manusia dengan alam.

Ki Hajar Dewantara memberi nama sekolah yang didirikan dengan sebutan Taman Siswa. Ia memilih kata “taman” untuk memberikan penekanan bahwa lembaga pendidikan ibarat taman sebagai tempat rekreasi ilmu pengetahuan, bukan tempat indoktrinasi. Dengan konsep seperti, maka yang lebih ditekankan adalah suasana yang nyaman dan santai, bukan ruang kelas yang angker. Guru dan murid berada dalam taman yang sama untuk berbagi pengetahuan.

Homonisasi dan Humanisasi

Konsep belajar sama-sama dengan menerapkan Metode Socrates bertujuan untuk mengembalikan manusia pada hakikatnya. Seperti yang disampaikan oleh Aristoteles, manusia adalah makhluk rasional. Dengan kemampuan rasionya, manusia mampu membuat peradaban yang membedakannya dengan hewan dan tumbuhan. Oleh sebab itu, rasio inilah yang perlu terus-menerus dikembangkan agar manusia bisa mencapai kebenaran etik dan etis. Dengan begitu, manusia akan selalu menjaga dirinya tidak melakukan tindakan-tindakan yang merusak dirinya sendiri maupun alam.

Harus diakui, sejak era Renaisance yang berujung pada industrialisasi, manusia mengalami dehumanisasi. Kapitalisme mendorong manusia untuk mengantungkan diri pada tenaga mesin guna mencapai kekayaan yang berlimpah. Akibatnya, secara berlebihan manusia melakukan eksploitasi terhadap alam. Dan, dengan sistem ekonomi yang liberal, manusia bersaing satu dengan yang lainnya.

Sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes, hidup manusia menjadi perang melawan semua (bellum omnium contra omnes) dan sesama manusia akan berlaku sebagaimana srigala yang saling memangsa (homo homini lupus). Kondisi inilah yang membuat manusia mengalami alienasi. Manusia mengalami keterasingan dengan alam, Tuhan dan sesamanya.

Pada era kapitalisme, pendidikan juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi. Lembaga pendidikan dipacu untuk menyediakan sekrup-sekrup bagi mesin kapitalisme dengan menghasilkan lulusan-lulusan yang “siap pakai”. Artinya, diharapkan keluaran lembaga-lembaga pendidikan adalah manusia-manusia yang bisa membantu kapitalisme untuk menjangkarkan hidupnya.

Tak mengherankan kalau kemudian yang dihasilkan oleh sistem pendidikan adalah manusia-manusia zombie yang masuk ke pabrik pagi hari dan pulang sore hari. Maka, Albert Camus mengibaratkan manusia modern produk kapitalisme tak ubahnya serupa Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum oleh Dewa untuk menggelindingkan batu dari atas bukit. Itulah rutinitas yang dilakoninya sepanjang hidupnya hingga ajal menjemput.

Tentu saja kondisi di atas masih berlangsung hingga hari ini. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan salah satu jalan agar manusia kembali menjadi manusia. Di sinilah pentingnya pendidikan untuk mengangkat manusia ketaraf manusia. Lewat sekolah rakyat, konsep pendidikan yang selama ini bengkok akan diluruskan.

Prof. Driyarkara (2006367) memperkenalkan istilah hominisasi, artinya penjadian manusia. Kemanusian yang sudah dilumerkan oleh kapitalisme perlu dimunculkan kembali. Proses hominisasi tak bisa dilepaskan dengan proses humanisasi. Sebagai makhluk yang berasio, manusia perlu berjuang untuk menciptakan masyarakat yang cocok dengan nilai-nilai kemanusian. Itulah tujuan akhir humanisasi.

Ekses-ekses kapitalisme seperti perang, ketimpangan sosial hingga keterasingan terjadi karena manusia mengingkari kemanusiaannya sendiri. Akibatnya, manusia lupa melakukan proses hominisasi dan humanisasi. Padahal, tanpa keduanya apakah beda manusia dengan makhluk yang lain? Multatuli benar, bahwa “tugas manusia adalah menjadi manusia” dan seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “bukan menjadi ternak peliharaan”. Di sinilah pentingnya hominisasi dan humanisasi di era modern ini.

Metode Socrates yang semestinya diterapkan di Sekolah Rakyat ( dan sekolah pada umumnya) paling tidak bisa menjadi cara agar pendidikan mampu mengarahkan manusia pada proses hominisasi dan humanisasi. Laku ini tentu tidak bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan. Tentu saja membutuhkan jalan yang panjang. Bahwa yang terpenting saat ini adalah memulainya seperti yang akan dilakukan pemerintahan Prabowo Subianto.

Mari belajar bersama-sama lewat dialog. Dengan begitu, hominisasi dan humanisasi akan bertumbuh seperti kelompak bunga, yang suatu saat nanti akan bermekaran berwujud manusia Indonesia yang paripurna. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *