ANDI MUNAJAT DAN HARI “BEGY” SUBAGJO: PELOPOR GERAKAN KIRI DI FILSAFAT UGM

Kamera sementara dipindahkan ke Yogyakarta. Sebelum menempati bangunan yang sekarang, Fakultas Filsafat UGM berada disalah satu ruangan di Gedung Pusat UGM. Kalau sodara saudari pernah nonton film “Cintaku di Kampus Biru”, ada ruangan perkuliahan yang ditampilkan, itulah Gedung Pusat UGM. Konon, gedung ini diarsiteki oleh Sukarno. Dulu di halamannya ada pohon cemara berjumlah tujuh, entah sekarang.

Di ruang Fakultus Filsafat itulah bersarang mahasiswa-mahasiswa generasi Arjuna. Mereka rata-rata berasal dari kelas menengah. Awalnya berpakaian perlente, tapi karena sumpek dengan kondisi sosial kampus, mereka berubah hidup bohemian. Mungkin terinspirasi gerakan hippies di Amrik, mereka memilih hidup menggelandang.

Pakaian mereka yang awalnya bagus-bagus, dibiarkan jadi lusuh dan kucel, tak pernah diganti selama berbulan-bulan. Celana jean dibiarkan robek-robek. Mereka tak pernah mandi. Tubuh dibiarkan penuh panu. Rambut gondrong, mata merah kurang tidur. Siang malam dihabiskan untuk mabuk-mabukan. Jarang masuk kuliah. Kalaupun masuk kuliah memakai pakaian yang aneh-aneh: pakai sarung, wajah lusuh belum terbilas air, kaos oblong, dan rambut gimbal. Sesekali mereka memanjat gunung, mencari kebebasan di alam raya.

Ada tiga sosok yang populer dari generasi ini: Raja Kong, Hari “Begy” Subagjo dan Andi Munajat [tentang Andi Munajat sudah saya tulis dalam tulisan tersendiri]. Kalau pembaca bertemu mereka di tahun-tahun itu, pertengahan 80-an, akan mengira mereka bukan mahasiswa, melainkan gelandangan.

Sampai mereka bertemu gagasan kiri. Raja Kong dan Hari Begy Subagjo bertemu dengan Mao sesudah semalaman teler. Dalam suasa itu mereka berikar akan pergi ke desa. Sementara Andi Munajat sebetulnya tak fanatik pada teori tertentu, malah mungkin dia tak pernah baca buku teori. Ia lebih tertarik pers kampus dan papan catur.

Saat Roky Gerung masih bocah dan ingusan, Raja Kong dan Begy mulai pergi ke desa, Andi Munajat membangun Pijar (nama pers mahasiswa Fakultas Filsafat UGM) sebagai sarang baru bagi mahasiswa yang sedang mencari jadi diri. Disitulah jabang bayi SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) secara nasional bermula.

Guna mengetahui suasana kebatin Filsafat UGM tahun-tahun itu, silakan simak lagu lagu John Tobing. Akan terdengar suara gugatan yang romantis, jauh dari nuansa garang. Lagu Darah Juang, misalnya, kata “bunda” yang disebut, bukan kata “palu arit”, kata “tempat padi terhampar” sebuah penggambaran suasana pedesaan yang tenang, kata “samuderanya kaya raya” sebuah renungan tentang kebebasan suasana laut. Suasana ini memang suasana khas generasi Arjuna. Sama dengan kemunculan lagu-lagu John Lenon di Eropa sana, beberapa tahun sebelumnya. Lagu Imagine menandai lahirnya generasi bunga. Generasi-generasi yang merindukan cinta dan perdamaian: love and peace.

Dalam melakukan pengorganisiran mahasiswa, Andi Munajat tak pernah memakai doktrin-doktrin teori Kiri sebagaimana kaum Trotskis yang genit-genit itu, tapi melalui bidak catur. Orang-orang yang mau dia rekrut diajak main catur. Bisa sampai berhari-hari. Setelah permainan catur selesai, orang itu mau bergabung. Begitulah ia mengorganisir mahasiswa. Maka tak mengherankan kalau yang direkrut Andi Munajat macam-macam: ada mahasiswa yang berprofesi sebagai pawang hujan, vokalis band sampai pemain teater.

Dari Pijar, Andi Munajat kemudian merentangkan sayapnya dengan semboyannya: satu hari satu kota. Ia berkeliling dari satu kota ke kota lain. Tak mengherankan kalau dia dikenal dibanyak kota. Di Semarang, misalnya, ia bertemu dengan Mat Gombloh. Di Solo ia menjadikan Agus Jabo dari aktivis Islam garis keras menjadi nasionalis kiri, dan lain-lain.

Saya ambil satu contoh. Mat Gombloh datang dari Brosot ke Semarang bukan bercita-cita menjadi aktivis. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, datang ke Semarang untuk mendapatkan gelar “drs” dari Undip. Seperti mahasiswa yang lain waktu itu, selain kuliah ia memilih main gitar dan mabuk-mabukan. Cara hidupnya jelas kayak hippies, maka ia dapat gelar Gombloh: suatu julukan untuk menunjukkan karakter gelandangannya.

Nah, waktu Mat Gombloh duduk di depan ruang kuliah sambil gitarin dan menenggak congyang, kebetulan ada demo mahasiswa di halaman kampus. Demo golput. Tentu saja demo itu dibubarkan. Gombloh yang sedang genjrang genjreng main gitar ikut diciduk polisi. Dikiranya ia aktivis mahasiswa karena penampilannya yang acak-acakan tadi.

Dari korban salah tangkap itulah Mat Gombloh menjadi aktivis. Terus menerus digosok oleh Andi Munajat. Mat Gombloh tak pernah didoktrin teori-teori Marx dan Lenin oleh Andi Munajat. Tapi ia bisa tumbuh menjadi aktivis yang militan. Pernah ia ditangkap dalam demonstrasi di Belangguan. Disiksa habis-habisan oleh tentara. Kumisnya dicabuti. Waktu itu, kaum Trotski yang sekarang mengaku sok revolusioner itu, masih nenen di tetek emaknya.

Semarang tentu bukan hanya Mat Gombloh. SMID Semarang dikenal gudangnya para Srikandi-Srikandi. Seperti hukum alam, di mana bunga mawar yang mekar, kumbang-kumbang akan hilir mudik di sekitarnya. Oleh sebab itu, tak mengherankan kalau Arjuna Arjuna dari Jakarta banyak pergi ke Semarang. Terutama yang datang adalah aktivis SMID dari UI dan ISTN seperti Wakyo, Pilut, Randru, Rosu, Timbo, dll. Alasannya tentu macam macam biar terkesan revolusioner.

Ini adalah generasi yang sebetulnya ingin menikmati kebebasan hidup, kebetulan kiri menjadi sarana. Kalaupun ada cita-cita sosialisme, itu lebih pada impian, bukan suatu niat yang betul-betul diwujudkan. Mungkin semacam tren, ketika kiri dianggap seksi, maka masuk di dalamnya. Di manapun, anak muda memang ingin mengaktualkan dirinya agar bisa dilihat berbeda dengan yang lain. Saat itu, kiri memberikan jawaban itu sebagai ruang untuk ekspresi diri. Kiri semakin keren karena dilarang oleh Orba. Menjadi kiri merupakan kebanggan sendiri. Sebatas itu.

Sosok Arjuna memang pas untuk menggambarkannya. Kita tahu, Arjuna merupakan tokoh Pandawa dalam Mahabarata. Ia pahlawan yang paling tampan di antara saudara-saudaranya. Nah, aktivis SMID ini memposisikan diri sebagai Arjuna. Mereka menempatkan  diri sebagai pahlawan liberalisme.

Sebagaimana Arjuna, biar sempurna, sosok Srikandi perlu berada di sisinya. Tentu tidak cukup satu Srikandi. Kalau bisa di masing-masing kota memiliki Srikandi, apalagi kalau posisinya pengurus pusat, pasti akan menambah prestise. Agar daya tawar naik, bila ada aksi massa usahakan bentrok. Ditangkap waktu bentrok akan menaikan derajat dan kepopuleran sehingga bisa menarik Srikandi-Srikandi mendekat. Begitulah asmara itu tumbuh dan berkembang.Mereka selalu bermimpi tentang pengantin revolusioner yang penuh romantika perjuangan. Berjuang sambil memadu kasih di medan juang. Ya, anak-anak muda yang masih banyak dipenuhi mimpi romantisme. Apakah mimpi semacam ini sekarang terwujud?

Kembali ke Andi Munajat. Seperti yang lain, ia punya kisah asmara. Pernah dia jatuh cinta pada seorang perempuan, tapi tak berani mengungkapkan. Nah, pada saat menjelang kongres SMID yang terakhir, dia sedang terpuruk: kisah asmaranya dengan seorang perempuan sedang berada di titik nadir. Ia memutuskan untuk tak hadir. Setelah itu ia memang tersingkir dari panggung, selain karena kisah asmara itu, ia diintrik sebagai intel. Ia sempat memutuskan pulang ke kampung halamannya, sampai kemudian berita kematiannya datang dari Kalimantan. Sosoknya memang jarang terdengar, padahal ia Sang Pemula dalam arti sebenarnya.

Di Filsafat UGM zaman itu, Marxisme memang tidak disampaikan seperti pelajaran “ini budi” layaknya yang sering dilakukan kaum Trotskis. Tidak ada penyampaian tentang Rusia 1905, Rusia 1917, Plekanov, Martov, Molotov dan tov tov lainnya. Tak ada kutipan kutipan kata-kata Marx atau Lenin. Yang tertempel di lemari ruang Pijar justru potongan puisi WS Rendra: “Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata.” Kalau ditilik majalah Pijar yang terbit tahun itu, tidak sama dengan web militan yang penuh kutip sana sini omongan Lenin atau Trostki, seolah Indonesia ini Rusia. Paling yang ada kutipan dari Arief Budiman atau mungkin Mangunwijaya. Beda banget dengan gerakan Kiri hari ini yang dogmatis banget. Pokok anti oligarki, anti borjuis dan anti menjadi besar.

Memang gerakan yang berpusar di Filsafat UGM lebih kelihatan sebagai gerakan liberal. Pernah muncul aksi menolak pelarangan pemakaian sandal jepit dan kaos oblong. Ini jelas tipikal tuntutan liberal, menuntut kebebasan dalam berpakaian dan berekspresi. Tak ada tuntutan soviet sekarang juga. Gerakan paling radikal yang pernah ada adalah menurunkan Pembantu Dekan III karena memberlakukan jam malam. Lagi-lagi ini tuntutan liberal.

Apapun itu, kita mesti mengalungkan bunga melati ke Hari “Begy” Subagio dan Andi Munajat: dua pelopor gerakan Kiri di Filsafat UGM. Lewat dua orang ini lahir generasi selanjutnya yang sekarang beken: Andi Arief, Budiman Sudjatmiko, Faisol Reza, Nezar Patria, Wibowo “Jemek” Arif dan lain-lain.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *