TEMPO: PALANG PINTU LIBERALISME DI INDONESIA

Bulan Oktober 1970, Majalah Rampart menerbitkan tulisan intelektual lulusan Harvard, David Ransom. Judul tulisan itu The Mafia Berkeley and the Indonesian Massacre. Ransom dengan teliti mengulik keterlibat Amerika Serikat dalam pembantaian massal 1965 dan menyiapkan Mafia Berkeley serta lembaga donor untuk mengendalikan ekonomi Indonesia dalam cengkraman Amerika.

Lewat lembaga-lembaga semacam Rockefeller Foundation dan Ford Foundation, Amerika mulai menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Pada tahun 50-an, anak-anak muda Indonesia mulai digembleng di Amerika yang kemudian menghasilkan Mafia Barkeley. Selain itu, lewat universitas semacam MIT dan Cornell University, sarjana-sarjana mereka dibiayai untuk melakukan penelitian tentang Indonesia. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Indonesianis.

Setelah Sukarno tumbang, mereka-mereka itulah yang ditugaskan untuk mengelola ekonomi Indonesia. Sebagaimana ditulis Ransom, UU Penanaman Modal Asing segera disahkan. Freeport Sulphur mendapatkan konsensi tambang emas di Papua. Sementara itu, Internasional Nikel mendapatkan proyek nikel di Sulawesi, Alcoa akan mengekplotasi bausit dan beberapa perusahaan lainnya mendapatkan jatah serupa. Sejak itu, Indonesia menjadi jarahan Amerika.

Tulisan Ransom yang membongkar kedok imperialisme gaya baru Amerika ini mendapat tanggapan dari pendiri Tempo, Goenawan Mohamad. Dalam artikelnya di Majalah Tempo tahun 1971, Goenawan menyebut tulisan Ransom sebagai tulisan seorang kiri baru yang berapi-api.“Dengan semangat ‘Kiri Baru’ jang menjala-njala, tulisan itu mentjoba ‘membongkar’ besarnja tjampur-tangan kaum imperialis Amerika (dan sudah tentu CIA) dalam perkembangan Indonesia dibawah Presiden Soeharto – chususnya jang menjangkut hubungan kaum teknokrat dengan penguasa militer sekarang,” tulis Goenawan.

Goenawan melihat tulisan Ransom sebagai tulisan yang ngawur. “Dipersiapkan selama hampir setahun, kisah ‘The Berkeley Mafia; merupakan kumpulan sedjumlah data dan hasil wawantjara – meskipun tidak 100% akurat. Namun banjaknja data tidak dengan sendirinja mendjamin sebuah artikel jang setia kepada kebenaran,” papar Goenawan. Bagi Goenawan, tulisan tersebut dianggap serangan kaum Kiri Baru terhadap lembaga-lembaga seperti “Ford Foundation, Pentagon, CIA, kaum “reaksioner” dikalangan akademi.”

Singkatnya, Goenawan berusaha menyerang balik tulisan Ransom yang dianggapnya sebagai kaki tangam kaum Kiri Baru. Goenawan berusaha menutup-nutupi kepentingan kapitalis liberal Amerika di Indonesia. Bagi Goenawan, tudingan adanya Mafia Barkeley adalah sebuah tahayul.“Fitnakah tjerita tentang Mafia Berkeley itu? Orang bisa lebih tjotjok mengatakannja sebagai sematjam hasil tachajul. Berdasarkan tachajul tentang hebatnja strategi dan djaring-djaring imperialisme Amerika ‘a sophisticated imperial design beyond Cecil Rhode’s wildest dream’, Ransom telah menafsirkan perkembangan sedjarah Indonesia mutachir dengan semena-mena,” papar Goenawan dengan berapi-api.

Pada akhirnya Goenawan menyatakan, “Sebagai seorang jang berlagak revolusioner Ransom memang tidak menjukai politik perekonomian Indonesia sekarang.” Dengan dalih tanggungjawab moral, Goenawan menjaga kepentingan Amerika di Indonesia. Maka dia arahkan Tempo sebagai palang pintu penjaga liberalisme di Indonesia.

Semenjak muda Goenawan memang sudah dekat dengan CIA dan lembaga-lembaga Amerika yang dikritik oleh Ransom. Sebagaimana ditulis Wijaya Herlambang dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965, Goenawan sejak tahun 1960-an sudah menjalin hubungan dengan Ford dan USAID. Tak mengherankan ketika mendirikan ISAI, Goewanan mengajukan anggaran sebesar 100.000-200.000 dollar Amerika pada USAID untuk kegiatan selama dua sampai tiga tahun. Sementara lembaga lain yang dibentuk Goenawan, Jaringan Islam Liberal (JIL), mendapatkan bantuan dari The Asia Foundation sebesar 150.000 dollar/tahun. Dan ini yang perlu diberi garis tebal, sebagaimana diakui oleh Goenawan sendiri saat wawancara dengan Wijaya Herlambang, ia juga dekat dengan Goerge Soros, pendiri Open Society Institute. Menurut Goenawan, Soros sudah banyak membantunya.

Lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Goenawan dalam naungan Komunitas Utan Kayu (KUK) menjadi corong dari liberalisme di Indonesia. Pun, dengan majalah Tempo. Setelah Jokowi semakin liar, tidak mau tunduk terhadap kepentingan Amerika dengan melakukan hilirasi dan mengambil alih perusahaan Amerika seperti Freeport, Tempo dan Goenawan mulai marah. Serangan-serangan Tempo dan Goenawan terhadap Si Tukang Kayu semakin brutal. Bahkan dalam pemberitaan tentang Iriana Jokowi, Tempo menjadi jurnalisme misoginis. Tempo menempatkan Iriana sebagaimana Calon Arong yang dengan ambisinya ingin menempatkan Gibran sebagai calon wakil presiden. Oleh Tempo, ambisi Iriana ini membuat hancur politik Indonesia.

Kini serangan Tempo dialihkan kepada Prabowo Subianto. Bagi Tempo, Prabowo adalah pelanjut Jokowi. Semua tindakan Prabowo dihantam oleh Tempo. Mulai program Makan Bergizi Gratis, Danantara hingga hilirisasi, menjadi bahan peluru untuk menyerang Prabowo. Bahkan hal remeh temeh semacam Prabowo menunjuk Jokowi menjadi utusan pemakaman Paus Fransiscus, juga digunakan Tempo sebagai bahan serangan. Tentu kita terngiikik-ngikik melihat perilaku pemberitaan Tempo.

Sepak terjang Prabowo memang menjadi acaman bagi tuan-tuan Tempo di Amerika sana, dan tentu saja Soros. Dalam berbagai kesempatan terbuka, Prabowo menentang sistem ekonomi liberal. Dalam berbagai acara pula, Prabowo mengungkapkan ada media yang didanai asing dengan target mengacak-ngacak Indonesia. Semua itu tentu membuat Goenawan dan Tempo panas dingin. Sebagai  palang pintu ekonomi liberal di Indonesia, Tempo merasa terancam. Aliansi jahat Tempo, Amerika, Soros dan kader-kader Kasebul didikan Pater Beek,  akan terus-menerus menyerang Prabowo. Kita masih akan terus menyaksikan 1001 episode Bocor Alus akan menyerang Prabowo dengan program-program revolusionernya dengan gosip konan katanya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *