PRABOWO SANG KERTANEGARA

Dalam sajaknya, penyair Toto Sudarto Bachtiar mengatakan, “Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra/Bawahlah daku kepadanya.” Sajak ini menyiratkan bahwa ada yang indah dalam kemerdekaan layaknya cinta. Sayangnya, keindahan bukanlah sesuatu yang bisa hadir sertamerta sebagaimana halnya kemerdekaan. Dalam hal ini, kitalah yang harus membawa diri kita “kepadanya.”

Itulah mengapa para pendiri bangsa berjuang untuk membawa kemerdekaan hadir di bumi Indonesia. Maka kemerdekaan pun hadirlah. Itu hulunya. Lantas, perlukah hilirasi kemerdekaan? Karena Toto Sudarto tidak memberikan jawaban soal itu, ini berarti kita yang harus mencarinya sendiri.

Menghadapi Gempuran

Beberapa kali Kubilai Khan tercatat mengirim utusannya ke Jawa. Utusan-utusan itu dikirim demi menyampaikan keinginan Kubilai Khan yang menuntut Kertanegara agar mengakui kekuasaannya dengan cara mengirimkan anggota keluarga Singasari ke istana Kubilai Khan. Namun, semua utusan itu pulang dengan tangan kosong.

Dengan tegas, Kertanegara menolak tuntutan Kubilai Khan. Ketegasan yang diwujudkan dengan merusak wajah utusan Mongol terakhir. Bagi Kertanegara, ini adalah perkara ekspansi ekonomi Mongol ke Nusantara. Kertanegara jelas menolak hal tersebut. Ia menginginkan Nusantara bebas menentukan jalan nasibnya sendiri, merdeka, berdaulat mengelola sumber daya alam dan manusianya dengan kemampuan sendiri. Inilah patok yang dibangun Kertanegara bagi kita semua, berabad-abad sebelum Bung Karno menggaungkan Tri Sakti.

Kisah Kertanegara mengingatkan pada apa yang terjadi akhir-akhir ini. Kita sudah merdeka hampir 80 tahun. Sebagai bangsa bekas jajahan, kita mewarisi banyak masalah. Selama menjajah Indonesia, Belanda telah melakukan banyak hal demi menghambat pertumbuhan dan perjalanan kita agar tidak bisa cepat besar dan melaju seperti negara-negara maju lain.

Ada semacam tali kekang tak kasatmata yang diwariskan oleh kolonialisme yang telah memperlambat gerakan kita selama ini dan tidak pernah kita sadari. Padahal, kita adalah negara yang kaya dengan beraneka ragam sumber daya alam. Namun, sejak zaman Portugis, Spanyol dan Belanda memperebutkan pala di Maluku, sumber daya alam itu justru berubah menjadi kutukan, bukan berkah.

Program hilirisasi merupakan salah satu upaya untuk melepaskan bangsa ini dari tali kekang warisan kolonialisme tersebut. Sumber daya alam, seperti emas, nikel, batu bara, baja hingga sawit seharusnya diolah di dalam negeri untuk kemudian dijual ke luar negeri. Hal ini tentu akan memacu pertumbuhan industrialisasi di Indonesia, mampu membuka banyak lapangan kerja dan menaikkan harga komoditas berlipat-lipat, hingga akhirnya menciptakan kesejahteraan serta kemakmuran bagi kita bersama.

Dengan kata lain, keuntungan sebesar-besarnya haruslah masuk ke kantong pemilik sumber daya alam tersebut, yaitu bangsa kita sendiri, bukan ke kantong bangsa lain. Namun, upaya ini terus-menerus dihambat oleh kekuatan Barat. Dengan berbagai dalih, gugatan dilayangkan kepada pemerintah Indonesia demi menghentikan upaya hilirisasi.

Edward Said, dalam Orientalisme, telah memberikan garis tebal pada sebuah kenyataan pahit bahwa Barat akan selalu melakukan konstruksi terhadap Timur. Dahulu bangsa-bangsa Timur digambarkan sebagai bangsa yang terbelakang, tidak beradab dan barbar. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh Barat untuk “mengadabkan” Timur dan melahirkan zaman kolonialisme. Bagi kolonialisme “yang-bukan-aku” adalah obyek yang harus ditaklukkan.

Sekarang, hal serupa terjadi lagi. Kita dipaksa mengikuti konstruksi Barat tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehubungan dengan urusan negara kita sendiri. Lewat lembaga-lembaga dunia seperti WTO dan IMF, kita dipaksa mengikuti peta jalan mereka, sebaliknya dilarang mengikuti peta jalan yang kita buat sendiri.

Kita memang sedang memasuki zaman kaliyuga atau zaman yang, menurut Jangka Jayabaya, merupakan masa yang penuh gonjang-ganjing. Keadaan dunia sedang tidak menentu. Alam sedang sakit. Peperangan, kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan tiada henti mengisi kehidupan manusia, tetapi semua itu hanya dianggap sebagai angka-angka statistik semata. Sudah jelas kehidupan hari ini tidak baik-baik saja, tetapi itulah tantangannya. Mampukah kita menghadapi semua gempuran ini dengan tetap berdiri tegak?

Transendensi Bangsa

Perang kita sekarang lebih banyak berwujud perang konstruksi dan hegemoni. Di tengah zaman kemerdekaan ini, tanpa disadari, sesungguhnya kita tetaplah obyek. “Dosa asal semua filsafat,” tulis Theodor Adorno, ”adalah mencoba merengkuh yang nonkonseptual melalui cara-cara konseptual”.

Inilah akar dari kontruksi dalam dunia modern. Semuanya hendak direngkuh dari perspektif aku (Barat), sementara yang lain dianggap sebagai liyan. Sedangkan hegemoni dalam pengertian Antonio Gramsci adalah upaya kultural dan ideologis dari kekuatan dominan untuk melestarikan dominasinya dalam segala aspek kehidupan (Dominic Strinati, 2010:254).  Kita memang bebas berjalan ke mana saja, merdeka memilih apa saja, namun sebetulnya kita dikendalikan oleh konstruksi dan hegemoni. Oleh karena itu, kemerdekaan semata tidaklah cukup.

Ketika para pendiri bangsa berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme, apa yang ada di ujung jalan kala itu memang hanya kemerdekaan. Bagi suatu bangsa yang dijajah,  kebebasan jelas cita-cita tertinggi. Kebebasan yang hanya bisa diperoleh bila memiliki kemerdekaan. Maka diikrarkanlah dalam Proklamasi bahwa “Kami bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia.” Pernyataan ini penting agar manusia Indonesia terbebas dari cengkraman penjajahan.

Sejak 17 Agustus 1945 itulah, dengan bangga, kita akhirnya bisa menyebut diri kita sebagai bangsa yang merdeka. Namun, dalam proseses dialektika berbangsa dan dalam dunia global, kemerdekaan semata belum utuh, kita masih membutuhkan hilirasi kemerdekaan.

Tujuan akhir kemerdekaan adalah kedaulatan. Agar bisa berdaulat maka sebuah bangsa harus mengalami transendensi. Seperti kita ketahui, transendensi sering diartikan sebagai melampaui. Adapun filsuf Prancis, Jean Paul Sartre, mengungkapkan makna trasendensi sebagai “pernyataan diri dalam kebebasan, dengan mengarahkan diri pada dunia” (Toeti Heraty, 218:14).

Pertama, sebagaimana tercatat dalam Proklamasi, kita menyatakan “kebebasan” sebagai bentuk pembebasan diri dari belenggu yang merantai. Selanjutnya, setelah terbebas dari belenggu, bangsa yang merdeka masih perlu melakukan sesuatu demi mengutuhkan kemerdekaanya tersebut. Caranya adalah dengan melampaui dirinya sendiri demi mencapai kedaulatan.

Kita sudah banyak menyaksikan bangsa-bangsa yang merdeka, tetapi sebetulnya belum berdaulat. Lewat kapitalisme gaya baru yang disebut neoliberalisme, bangsa-bangsa bekas jajahan seolah sengaja dihambat jalannya untuk menjadi bangsa berdaulat. Sebutlah negara-negara seperti Libia, Irak, Afganistan dan banyak negara di Afrika.

Bangsa-bangsa tersebut sudah mencapai kemerdekaan, tetapi karena Barat yang terus-menerus ingin melakukan hegemoni maka jadilah mereka tidak memiliki kedaulatan. Bentuk hegemoni yang diterapkan pun bisa bermacam-macam, mulai dari cara paling kasar seperti invansi bersenjata hingga upaya-upaya mengontrol secara halus, entah lewat kebijakan yang timpang atau tekanan-tekanan ekonomi.

Setiap bangsa mesti memiliki tanggal kemerdekaan, tetapi tidak dengan tanggal kedaulatan. Mengapa? Karena kedaulatan adalah proses. Sebagaimana aliran sungai, ada sebentang jarak yang harus ditempuh dalam perjalanan dari hulu menuju hilir. Terkadang, ia harus menghadapi kelokan tajam, batu besar, atau sebatang pohon tumbang, demi bisa tiba di hilir.

Transendesi bangsa bisa dilihat sebagai upaya hilirisasi kemerdekaan. Bahwa kemerdekaan bukan sebatas berhenti pada kebebasan, melainkan harus memiliki nilai tambah, yaitu kedaulatan. Sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan, kita akan mempunyai kekuasaan, kewenangan, independensi dan kemandirian dalam mengatur segala hal.

Kita memang masih dalam proses hilirisasi kemerdekaan demi mencapai kedaulatan bangsa. Tantangannya jelas begitu berat. Untuk menghadapinya, kita bisa belajar dari para pendahulu kita dalam mencapai kemerdekaan. Melampaui segala perbedaan yang ada dan demi bangsa ini, kita mesti bekerja sama, bersatu padu. Jika ada perbedaan, janganlah menjadikannya alasan untuk berpisah. Bila kelak hilirisasi kemerdekaan terwujud, semoga setiap manusia Indonesia bisa hidup sejahtera di bawah satu atap rumah bangsa yang berdaulat, bangsa Indonesia.

Kata-kata Prabowo bahwa bangsa Indonesia tidak membungkuk pada bangsa asing sangat tepat. Prabowo kembali membangkitkan keberanian melawan bangsa asing yang akan mengangkangi kedaulatan bangsa Indonesia. Kita pernah menang melawan Kerajaan Mongol sehingga melahirkan Majapahit. Tentu kini kita tak akan tunduk pada tekanan Trump. Prabowo tidak hanya tinggal di Jalan Kertanegara, tetapi juga mewarisi keberanian raja terakhir Singasari itu. Prabowo akan memimpin perlawanan terhadap tekanan Amerika, sebagaimana Kertanegara memotong telinga utusan Mongol.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *