Yang banyak dituntut adalah sikap simpati dan empati terhadap Kepala Babi yang dikirimkan ke wartawati majalah Tempo. Selanjutnya, kita dituntut untuk mengutuk tindakan tersebut sebagai sebuah teror yang bisa membungkam kebebasan pers. Apabila kita tak melakukan kedua hal itu, kita akan dituduh tak peduli atau bahkan dianggap mendukung teror terhadap media massa. Yang lebih banal, kita akan dilaknat sebagai buzer rezim yang dibayar 700 perak setiap postingan di X kita.
Konstruksi semacam itu sengaja dibangun agar kita percaya akan kebenaran drama Kepala Babi. Seolah-olah benar Indonesia sedang darurat demokrasi. Kita dipaksa mempercayai skenario Kepala Babi yang mereka dongengkan. Agar timbul anggapan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto membungkam kebebasan pers. Dengan kata lain, mereka yang menabuh gendang kita yang disuruh berjoget.
Tempo didirikan oleh agen CIA bernama Goenawan Mohamad. Sebagaimana yang ditulis dengan jernih oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965, Goenawan adalah anggota CCF, organisasi kebudayaan bentukan CIA untuk memerangi budayawan-budayawan Kiri di seantero dunia. Sebagaimana ditulis oleh Janeet Steele dalam bukunya Wars Within, posisi Goenawan di CCF untuk menggantikan Arief Budiman.
Kita tahu, CIA adalah organisasi yang lihai membuat rekayasa. Semasa Sukarno, misalnya, CIA merekayasa kemunculan Dewan Jendral untuk memancing reaksi PKI. Dalam tingkat goblol, CIA merekasaya adanya senjata biologis yang dimiliki Saddam Hussein agar mereka memiliki legitimasi untuk menyerang Irak. Salah satu sarana untuk merekasa adalah media massa. Oleh karena itu, sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dalam esai Saya Bukan Nelson Mandela menulis tak percaya kepada Goenawan Mohamad. Apa yang bisa kita percaya dari seorang agen CIA?
Sementara wartawati yang konon dikirim kepala babi, masuk dalam lingkaran organisasi yang didirikan Pater Beek. Selama Orde Baru, organisasi ini mengacak-ngacak bangsa Indonesia dengan intrik-intrik politik. Kaderisasi Sebulan atau sering disebut Kasebul dalam buku M. Sembodo yang berjudul Pater Beek, Fremason dan CIA, merupakan organisasi yang memanandang ada dua musuh umat Katolik: Islam dan tentara. Tak mengherankan Kepala Babi muncul ketika panas-panasnya revisi UU TNI. Bagi mereka, tentara dianggap sebagai acaman utama.
Terhadap semua itu, kita dipaksa percaya terhadap kisah fiksi yang mereka susun. Seperti kita dipaksa percaya tangisan Hasto Kristianto sebagai tangisan orang yang teraniaya. Ketika masyarakat luas tidak tertarik pada kisah tersebut, mereka marah-marah dengan berbagai tuduhan. Mereka membuat tagar #kamitidaktakut. Kalau tidak takut kenapa mesti heboh dan mengajak orang lain untuk menemani? Kalau rosario dari Paus Fransiskus bisa memberikan keberanian, mengapa mesti resah dan gelisah terhadap drama yang mereka buat sendiri?
Kita tidak tahu kenapa yang dikirim Kepala Babi. Bukankah selama ini yang menakutkan adalah Kepala Banteng? Babi sejauh ini tak pernah membuat rusak politik Indonesia seperti kisah Animal Farm karya George Orwel. Yang membuat kerusakan politik Indonesia justru Banteng. Segerombolan Banteng itu mengacak-ngacak sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Kita patut bersimpati dan berempati terhadap drama Kepala Babi. Tapi bukan karena merupakan bentuk teror terhadap media massa, melainkan simpati dan empati kita berikan karena drama tersebut ketika dipentaskan tidak laku. Ketika sang sutradara menambah dengan drama Tikus Tanpa Kepala, tetap tidak laku. Kita perlu memberikan rasa prihatin terhadap gagalnya drama dua babak itu.***
thanks for info.