BANTENG YANG PECAH KEPALANYA

Ada kisah seekor Banteng yang dipecah kepalanya. Itu terjadi di zaman Demak. Joko Tingkir, pemuda desa menuju Istana Raja. Tujuannya cuma satu: menjadi prajurit. Dalam ujian, dia nomor satu. Namun komandan tak menyukainya. Dalam kekecewaan yang dalam, dia terusir dari kesatuan. Maka ia membuat siasat.

Seekor Banteng ia sumpal hidungnya dengan lemah abang (tanah merah) yang telah diberi mantera. Mengamuklah si Banteng sampai kuta raja. Tua muda, laki perempuan, bocah, panik,  takut kena seruduk Banteng. Joko Tingkir datang sebagai penyelamat. Banteng dihantam kepalanya. Pecah dan roboh ke tanah.

Beratus-tahun kemudian, peristiwa itu terulang. Banteng yang perkasa selama bertahun-tahun, kini pecah kepalanya oleh orang desa bernama Joko pula. Seperti kata Karl Marx, sejarah terulang. Pertama sebagai tragedi. Kedua sebagai komedi. Tak mengherankan kalau tingkah polah tiga penjaga kandang Banteng–Hasto, Deddy dan Adian–seperti kisah komedi. Bila tragedi menurut Aristoteles untuk menggambarkan kisah kepahlawanan, maka komedi untuk mementaskan kekonyolan orang-orang yang dipecundangi.

Hasto tiba-tiba menggantikan peran Feni Rose, menjadi pembawa acara infotainment. Ia mengundang mantan kekasih Kaesang untuk bergosip. Kalut kasusnya semakin mendekati akhir, segala cara ditempuh oleh Hasto. Hanya dua tindakan yang belum ditempuh Hasto: menangis di depan kamera dan mencret-mencret. Ketakutan akut melanda Hasto. Ia berada di ujung tanduk Minotaur. Mungkin agar ada keberanian dalam dirinya, Hasto perlu membuat tato beceng di perutnya, seperti yang dilakukan Hari Sindu agar tak gemetar bila ketemu Agus Jabo.

Deddy Sitorus tak kalah konyolnya. Ia menyalahkan Jokowi atas kekalahan di Pilkada serentak. Padahal ia adalah ketua tim pemenangan PDIP. Atas kegagalannya, ia limpahkan ke orang lain. Dalam setiap kesempatan, nama Jokowi yang disebutnya. Mungkin ia mengalami semacam paranoia. Bila Marx mengatakan ada hantu di Eropa, Deddy menyatakan “ada Jokowi di kepalanya.

Adian Napitupulu tak kalah kocaknya. Sebelum Pilkada ia sesumbar, “Siapa Jokowi? Begitu kalah ia merepet mengkambinghitamkan Jokowi. Padahal seperti ia tahu sendiri, Jokowi sudah tak berkuasa. Robohnya kandang Banteng memang membuat mereka pada lupa ingatan. Seperti kuda lumping, mereka kesurupan. Dan semua itu salah Jokowi. Mungkin mereka berharap Jokowi tak pernah dilahirkan di muka bumi, seperti Raja Thebes tak berharap Oedipus muncul di dunia.

Ilusi wong cilik yang selama ini menjadi komoditi PDIP, tak laku lagi. Selama berkuasa selama 10 tahun, mereka tak berbuat apa-apa untuk wong cilik. Mereka hanya menunggangi wong cilik agar bisa terus-menerus menggemukkan celengan babi mereka. Tak mengherankan kalau wong cilik kemudian merindukan kemunculan Ratu Adil. Dan, Prabowo lah yang dipilih sebagai sosok itu.

Sudah terlihat lama ketika wahyu keprabon meninggalkan kandang Banteng. Puspo Kencono sudah hilang dari as Ibu Suri Banteng. Wong cilik pun sudah menangkap hal itu. Maka mereka meninggalkan kandang Banteng. Kepergian ini mempercepat keruntuhan istana Banteng. Wis wayahe (sudah waktunya) semua berubah.

Sekarang sudah zaman baru. Wong cilik sudah dibebaskan dari belenggu Banteng. Pada akhirnya, Banteng sudah kehilangan kesangarannya. Ia hanya berupa boneka dakocan untuk menjadi mainan anak-anak. Sekuat-kuatnya Banteng, ia hanya untuk hiburan di panggung matador.

Mitologi hampir serupa. Joko Tingkir membunuh banteng.Oedipus membunuh Sphinx. Kedua-duanya menjadi Raja. Baik banteng maupun Sphinx bisa dialegorikan sesuatu yang menghambat, batu sandungan. Seperti yang kita  tahu, PDIP selama lebih sebagai kekuatan yang konservatif, yang selalu mencegah ke arah kemajuan. Ia lebih menjadi duri dalam daging pemerintahan Jokowi. Mereka sebatas mau mempertahankan oligarki yang ada di sekelilingnya. Selain itu, mereka juga hendak berkuasa sendirian. Tak mau bersatu dan selalu memelihara permusuhan. Sementara bangsa ini membutuhkan persatuan.

Kini, setelah kepalanya pecah, Banteng seperti sajak Sitor Situmorang, Bunga di Atas Batu:

Bunga di atas batu

Dibakar sepi

Mengatas indera

Ia menanti

Bunga di atas batu

Dibakar sepi.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *