MENCARI BALING-BALING PARTAI KITA (DARI SYARIKAT PRIJAJI SAMPAI PKI)

Begini, Bung

Sejak Syarikat Prijaji (SP) didirikan, sebetulnya telah tumbuh kesadaran baru, telah muncul kosa kata baru:organisasi. Walaupun, bisa dikatakan, kosa kata ini muncul lebih lambat bila dibanding penduduk Tionghoa, apalagi bangsa Eropa. Tapi memang ada takdir sejarah yang tidak bisa ditembus, walaupun sejak Pati Unus sampai Kartini, mereka telah berputar-putar, mencari kosa kata baru itu, tapi hanya menemukan ruang gelap yang tidak dapat mereka tembus. Baru awal abad 20, kosa kata baru itu muncul samar-samar. Membutuhkan obor Sokrates untuk membuatnya lebih terang. Dan Tirto Ardhi Soerjolah yang ternyata membawa obor Socrates, setelah melalui perjalan yang panjang, mengembara ke Eropa, mengenal Revolusi Prancis, mengenal perlawanan rakyat Filipina, memang bukan perjalan fisik, tapi perjalanan intelektual, lewat bacaan-bacaan berkat penguasaan terhadap bahasa Belanda.

Kemudian tumbuh pikiran bahwa penduduk pribumi seharusnya mempunyai wadah yang bisa memperjuangkan kepentingan mereka, penduduk Tionghoa dan Arab telah memulainya. Mulai dipikirkan apa yang bisa menjadi materi penyusun wadah tersebut. Dari membuka-buka lembaran sejarah masa lalu di dapatkan hubungan kawula-gusti yang melekat dalam tatanan feodal Jawa. Ada sebuah prinsip hidup yang dipegang Rakyat Jawa, bahwa mereka harus patuh kepada gustinya (raja). Sehingga, apa yang dikatakan raja adalah kata-kata yang harus dilaksanakan. Konsep ini diambil oleh Tirto, dengan pemikiran apabila priyayinya mempelopori, maka rakyatnya harus ikut serta. Kemudian dipilihah materi pokok penyusun baling-baling itu adalah kaum priyayi.

Maka, mualilah ia berputar-putar pulau Jawa, mengajak para priyayi yang telah mendapat didikan Barat untuk mendukungnya, sebagai penyusun. Sebagian besar dari priyayi-priyayi ini menolak, sebagian kecil ada yang menerima. Yang merima inilah yang kemudian menjadi materi dasar baling-baling itu, yang kemudian bersama Syarikat Prijaji. Dalam perjalanannya, baling-baling itu tidak berputar. Apa penyebabnya? (1). Materi penyusunya. Sudah aku sampaikan dalam beberapa tulisanku sebelumnya, bahwa kaum priyayi adalah kaum yang beku. Sehingga, mereka enggan bergerak, yang sudah puas dengan kedudukanya, yang masih ada budaya BAPAKISME, yang maunya TAU JADI, tidak mau bersatu dengan rakyat dengan membuat TEMBOK. Jelas, materi-materi ini seperti ini tidak dapat mengerakan baling-baling SP.

(2). Tidak ada program yang jelas. SP didirikan tanpa adanya tujuan yang jelas. Sehingga tidak bisa menyusun tahapan-tahapan kerja. Akibatnya, tidak ada aktivitas-aktivitas yang membuat baling-baling itu berputar. Hanya diam di tempat. Rakyat yang bergabung juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Para Prijaji juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena tidak pernah berputar, akhirnya baling-baling itu berantakan satu persatu, nasibnya sudah jelas mati suri selama-lamanya. Dua persoalan itulah yang harus dipecahkan. Jelas, harus dicari materi-materi penggantinya.

Memang harus dicari tulangpunggung yang kokoh sebagai  penopang organisasi itu, biar ia bisa bergerak secepat kondisi obyektifnya, tidak terombang-ambing terkena terpaan angin perubahan yang terus bergerak. Kembali Tirto Adhi Soerjo harus menggapai-gapai, golongan mana yang akan mampu menjadi tulangpunggung dari organisasi. Akhirnya, ditemukanlah golongan itu yang akan mampu dijadikan baling-baling untuk memutar laju organisasi. Mereka itu adalah golongan “merdeka”, yang terdiri dari pedagang, tukang, pekerja—yang seingatku (semoga tidak salah ingatanku) kalau dalam sejarah Eropa sebelum Revolusi mereka inilah golongan perantara antara tuan-tuan feodal dengan hamba sahaya (baca:pedagang), juga diantara mereka adalah pemilik gilda-gilda dan pekerjanya, karena bisa berkembang sangat pesat, menimbulkan rasa iri tuan-tuan feudal—yang tidak tergantung pada lagi gubermen.

Golongan-golongan itulah yang kemudian menjadi tulangpunggung dengan Islam sebagai pengikatnya, maka lahirlah SDI (Sarikat Daging Islamiah)[1]. Oragnisasi ini berkembang seperti gurita, terutama di pusat-pusat modal seperti Bandung, Solo, Surabaya, gerakannya semakin meluas—walaupun beberapa kali Rinkes, ahli pribumi itu menggelapkan fakta-fakta yang terjadi dan mencoba terus menerus untuk mematikan bayi yang masih merah ini. Organisasi-organisasi ini semakin meliuk-liuk, mencari tempat dimana ia bisa tumbuh berkembang. SDI inilah, yang kemudian menjadi pondasi beridirnya SI (Serikat Islam) dengan pusatnya di kota Solo itu, salah satu pusat modal, seperti angin topan, menerjang apa saja yang menghambat jalanya, tidak terkecuali etnis Tionghoa yang dianggap saingaanya.

Terjangan SI yang semakin tidak bisa dikontrol oleh pimpinannya itu, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial, mengalihkan arah gerak SI ke arah harizontol—diadu dengan ras lain—sehingga terbebaslah mereka, penjajah itu, dari terjangan angin topan SI. Pucaknya dari semuanya terjadi di Kudus, 1919 (yang juga tahun kematian Tirto Adhi Soerjo, bidan yang telah membantu kelahiran SI). SI pun akhirnya bisa dijinakkan, mereka besar tetapi tidak tau arah mana yang akan dituju. Akan tetapi, organisasi ini berantakan, sebelum tujuanya tercapai. Apa penyebabnya?

(1). Tidak ada kepemimpinan. Organisasi ini bisa meluas, cabangnya menyebar ke pusat-pusat perdagangan, terutama yang ada di Jawa. Akan tetapi, tidak ada kepemimpinan pusat yang kuat. Pusat SDI tidak pernah memberikan arahan-arahan yang jelas kepada cabang-cabangnya. Sehingga, cabang-cabang yang ada tumbuh menjadi cabang yang otonom, yang bergerak sendiri-sendiri. Walaupun nama mereka sama, tapi sebetulnya tidak ada hubungan yang bisa menggerakkan mereka menjadi satu kekuatan. Akibatnya, baling-baling yang berputar sendiri-sendiri itu, tidak menghasilkan apa-apa. Ya, mereka memang baling-baling itu berputar, bahkan ada yang berputar sangat cepat sehingga menghasilkan percitakan-percitakan api, tapi tidak tahu mau dibawa kemana.

(2). Materi penyusunnya. Materi utama penyusun baling-baling ini adalah kaum pedagang. Ideologi yang dibawa pedagang adalah mencari untung. Sehingga baling-baling berputar ke arah sektariansime, bahkan kemudian berkembang ke arah rasisme. Kaum pedagang memang dinamis, tapi mereka adalah individualis, yang hanya memikirkan kepentinya sendiri-sendiri. Materi-materi seperti ini jelas menyebabkan tidak ada perluasan unsur-unsur yang menyusun baling-baling, hanya berkembang menjadi organisasi profesi, tidak bisa berubah menjadi organisasi perlawanan yang kuat.

(3). Tidak berhasilnya koran organisasi.  Ada koran yang mampu terbit harian, bisa dibaca oleh banyak orang tiap hari, tetapi hanya berfungsi sebagai mulut-mulut saja (alat propaganda). Ideologi yang dibawanya memang anti kolonialisme, tapi tidak bisa dimengerti, tidak ada lingkaran diskusi-diskusi yang bisa menjelaskan apa maksud ideologi itu. Banyak yang tahu bahwa Belanda jahat, tapi tidak tahu kenapa harus dilawan, dan kalaupun tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara melawannya. Ada koran, tapi tidak berhasil menjadi alat untuk mengorganisasikan cabang-cabang yang ada. Terjadi keterpisahan, antara baling-baling dengan korannya. Baling-baling bergerak sendiri, koran menyebar sendiri. Koran memang tersebar, tapi tidak ditanggapi oleh baling-balingnya untuk diorganisasikan, baik untuk menyatukan baling-baling yang terpencar-pencar itu, maupun membangun baling-baling baru.

 

Begini Bung dan Nona,

Seribu sembilan ratus delapan belas merupakan tahun-tahun yang meresahkan, baik bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun gerakan nasionalisme. Belanda resah setelah patahnya SDI yang kemudian berubah menjadi SI, bibit revolusioner mulai muncul. Bibit-bibit ini dibawa oleh orang-orang Komunis Eropa. Bagi gerakan nasionalisme, keresahan timbul karena pemerintah kolonial mulai ketat mengawasi organisasi-organisasi yang ada, dan mulai melakukan pembuangan terhadap tokoh-tokoh gerakan yang radikal. Dua keresahan itu yang mewarnai tahun-tahun itu.

Pamor SI mulai merosot, organisasi ini tidak mampu lagi menjawab kebutuhan zamannya yang semakin bergerak maju, yang semakin radikal, yang sentimen untuk melepaskan diri dari Belanda semakin kuat. Mulai retak organisasi itu, semakin lama retakannya semakin melebar, dan akhirnya terbelah pada tahun 1920.

Satu belahan tetap menjadi SI yang diisi kaum agaman moderat, satu belahan menjadi PKI. SI Putih, demikian sering disebut, semakin tengelam, pamornya semakin redup. PKI, pelan-pelan mulai menjadi wadah utama dari gerakan rakyat yang semakin radikal. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, mulai dari pembuangan sampai sogokan-sogokan politik—pemberian hak lebih luas pada Volskard—tetap saja tidak bisa membendung laju radikalisasi. Keanggotaan PKI semakin mengelembung, Serikat Rakjat—ormas PKI—semakin banyak cabang-cabangnya, pendidikan-pendidikan revolusioner ditingkatkan, serikat-serikat buruh berhasil diorganisasikan. Pemogokan-pemogokan buruh mulai terjadi, semakin lama semakin membesar.

Pemerintah kolonial semakin resah, mata-mata mereka mulai dipasang dimana-mana, rapat-rapat terbuka—sejak 1923—dilarang. Tokoh-tokoh revolusioner juga resah, mencari muara dari munculnya radikalisasi yang semakin membesar. Radikalisasi memang semakin subur dengan adanya krisis ekonomi yang muncul. Sehingga, walaupun pemogokan dilarang dan pimpinan Partai Revolusioner ditangkap dan dibuang, radikalisasi semakin meningkat. PKI menemukan muara dari semuanya ini: PEMBERONTAKAN.  Akan tetapi, pemberontakan dapat dipatahkan. Apa penyebabnya?

(1) Kepemimpinan. Tidak ada kesatuan pandangan antara pemimpinan di dalam dan di luar negeri tentang pemberontakan. Sampai detik-detik terakhir pemberontakan, perbedaan itu tidak bisa disatukan. Keputusan sudah diketok, tapi pimpinan yang tidak puas dengan keputusan yang diambil, mempengaruhi cabang-cabang lain untuk tidak menjalankan keputusan organisasi. Sehingga, pemberontakan hanya terjadi di beberapa derah Jawa—Banten dan Jakarta—dan di beberapa daerah di Sumatera. Akibanya, pemberontakan dapat dengan mudah dipatahkan. Tidak adanya satu tindakan dalam pengambilan keputusan ini, menyebabkan organisasi menjadi lemah, dalam bahasa sekarang, menyebabkan tidak adanya kohesifitas.

(2) Tidak ada persiapan. Pemberontakan lebih banyak karena “keinginan” pimpinan-pimpinan PKI. Persiapan-persiapan, syarat obyektif, untuk sebuah pemberontakan tidak dipersiapkan. Tahapan-tahapan kerja untuk pemberontakan—yang diputuskan 1925 dan kemudian dilaksanakan November 1926—belum dilakukan. Belum ada pendidikan-pendidikan ideologi kepada anggota-anggota PKI secara sistematis, belum ada propaganda politik yang jelas kepada rakyat untuk memberontak, belum ada persiapan bersenjata yang memadai. Semuanya hanya mengandalkan pada pembacaan sesaat pada kondisi obyektif.

Memang benar bahwa kondisi obyektif rakyat yang bergerak harus dimajukan, sehingga menemukan muaranya, tetapi tidak didukung oleh kemampuan organisasi yang memadai. Sehingga hasil yang dicapai sebetulnya sudah bisa diukur, mengajarkan kepada rakyat metode pemberontakan yang modern (tentang pemberontakan rakyat Indonesia sebetulnya sudah terbiasa, cuma cara-cara yang digunakan masih tradisional) untuk mengulingkan sebuah kekuasaan kolonial. Kegagalan dalam pemberontakan itu sudah wajar.

(3). Front. Pemberontakan yang dilakukan PKI merupankan sebuah revolusi demokratik. Sebagai salah satu syarat revolusi demokratik, yaitu harus adanya front yang meluas, yang akan menopang kaum buruh. Front ini jelas untuk melipatgandakan  energi perlawanan, menyatukan potensi-potensi perlawanan yang berserakan. Hal ini belum berhasil dibangun oleh PKI. Sehingga mereka harus bergerak sendirian. Patahnya perlawanan PKI merupakan sebuah kewajaran. Tidak bisa menembus takdir sejarahnya.

Mungkin itu dulu Bung dan Nona

[1] SDI didirikan pada tanggal 5 April 1909, kota Bogor disetujui sebagai kedudukan pimpinan pusat dan cabag-cabang bisa didirikan disemua pelosok negeri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *