HUMANISME BORJUIS DALAM PARASITE

Ilustrated by AI

Pramoedya Ananta Toer mempunyai ungkapan yang jitu perihal apa itu humanisme borjuis. Sebagaimana dipaparkan dalam risalah Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, dengan nada sinis, Pram menggambarkan humanisme borjuis lewat ungkapan: “kasihan mereka, tapi jangan ganggu kesenangan dan kemakmuranku!”

Di Eropa, sikap yang disampaikan Pram melahirkan para seniman aliran romantisisme. Kemunculannya ditandai oleh kemerosotan masyarakat borjuis yang gagal mewujudkan kehidupan manusia yang ideal. Karya-karya mereka pun bermunculan sebagai bentuk idealisasi dari kondisi masyarakat yang mereka impikan. Sayangnya, sikap jengah terhadap kehidupan borjuasi tidak serta merta membuat para seniman ini terdorong untuk mengubah sistem tersebut. Sebagaimana dicatat G. Plekhanov (2006) tentang pendirian Gautier yang sebatas menuntut agar kaum borjuis menghentikan kebiasaan-kebiasaan vulgar mereka. Pun, pendirian Flaubert yang meski bisa mengobarkan api kebencian terhadap kaum borjuis, tetapi orang-orang yang hendak mengubah sistem borjuasi ikut pula terkena percikannya.

Karya-karya aliran romantisisme memang berhasil menarasikan ketimpangan masyarakat kala itu. Kemiskinan sukses dipotret nyaris sepersis kenyataan. Dekadensi kaum borjuasi juga mampu digambarkan sedetail fakta. Maka lahirlah karya-karya realis dengan tingkat kecakapan tinggi khusus dalam hal penggambaran kebobrokan masyarakat borjuis. Namun, sebagai seniman yang menganut humanisme borjuis, mereka hanya berhenti sampai di situ. Mereka menggambarkan penderitaan para jelata, tetapi menjauhi segala pikiran yang bertujuan merombak sistem borjuasi yang ada. Salah satu contoh tersaji dalam sebuah drama karya de Curel, sebagaimana disebutkan G. Plekhanov, yang menarasikan perlawanan kaum buruh terhadap kaum majikan serupa perjuangan serigala iri hati melawan singa perkasa. Pun, film Parasite yang merupakan contoh paling jernih dari sebuah produk humanisme borjuis kontemporer.

Layaknya karya-karya aliran romantisisme, film Parasite mudah disalahpahami sebagai pemihakan terhadap para jelata atau, lebih jauh lagi, sebagai kritik terhadap kapitalisme. Parasite menggambarkan ketimpangan yang ada di tengah masyarakat Korea Selatan. Sebagai wakil dari negara kapitalis yang sedang bertumbuh pesat, perbedaan sosial terpampang sangat jelas dan jurang antar kelas sudah begitu lebar di sana—sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dari apa yang digambarkan oleh para seniman aliran romantisisme tentang Eropa abad ke-19. Hal ini lantas melahirkan karya/produk yang menggambarkan kesengsaraan para jelata sedetail mungkin.

Dalam film Parasite, para jelata tidak hanya menjadi—meminjam istilah Thomas Hobbes—homo homini lupus atau manusia yang menjadi serigala bagi manusia lain. Para jelata dianggap bukan lagi hanya serigala bagi sesama manusia, tapi juga serigala bagi sesama jelata. Pengejawantahan ini tampak jelas lewat tokoh-tokoh antagonis dalam Parasite. Mereka diberi karakter serupa serigala: licik, serakah, buas. Sebaliknya, tokoh-tokoh protagonisnya dianugerahi sifat-sifat ideal: berbelas kasih dan selalu berbaik sangka. Tokoh orang miskin dipertontonkan borok busuknya, sementara tokoh orang kaya disembunyikan aibnya sebagai kelas borjuis yang kerap mengisap para jelata demi keuntungan dan kepentingannya sendiri. Pada titik ini, Parasite memilih untuk menyembunyikan telunjuknya.

Telunjuk yang Disembunyikan

Humanisme borjuis memang terkenal mahir menyembunyikan telunjuk, sebaliknya piawai mendesakkan iba. Karya-karya mereka seolah bersimpati pada korban ketidakadilan dan berpihak pada kemanusiaan. Dalam sastra Indonesia, hal semacam ini mudah ditemukan pada karya-karya yang menarasikan Peristiwa 1965. Umpamanya, dalam novel Amba dan Pulang yang menyorot korban tragedi Peristiwa 1965. Dalam kedua novel tersebut, penderitaan para korban digambarkan sedetail mungkin hingga mampu menyentuh hati. Lika-liku kehidupan mereka dinarasikan sedemikian rupa demi menggiring simpati para pembaca. Ironisnya, hingga kisah berakhir, akar dan dalang penyebab tragedi itu tidak pernah diungkapkan. Penderitaan yang menimpa para korban seolah hanya sebuah “kecelakaan sejarah”. Pun, dalam Parasite.

Para penonton film Parasite sebatas disuguhi masalah ketimpangan sosial dalam masyarakat industri kapitalis. Ketimpangan itu memang benar ada. Namun, alih-alih menguak penyebab mengapa itu bisa ada, Parasite justru memilih untuk menunjukkan sisi kriminal para jelata. Sebuah pengkambinghitaman yang terasa adil jika merujuk pada analisa intelektual sosial borjuis bahwa kemiskinan akan melahirkan penyakit-penyakit sosial, salah satunya kriminalitas. Hingga Parasite berakhir, tidak ada penjelasan mengapa keluarga Ki-Woo dan tetangganya mesti tinggal di daerah kumuh rawan banjir, sementara keluarga Park bisa berumah aman di atas bukit elit. Mengapa kemiskinan bisa terjadi? Mengapa orang miskin ada? Siapa yang mengisap siapa? Siapa yang sebetulnya parasit? Ketiadaan pertanyaan ini seolah hendak menegaskan pernyataan Dom Helder Camara, pelopor teologi pembebasan Amerika Latin: “mereka [akan] menyebut saya komunis [jika mempertanyakan itu].”

Kita memang tidak bisa berharap karya seni humanisme borjuis bisa membongkar hal-hal semacam itu. Namun, adalah tugas kita untuk membongkar bagaimana humanisme borjuis bekerja demi mengaburkan suatu kontradiksi sosial. Dalam film Parasite, pihak yang menjadi pahlawan jelas bukan jelata miskin, melainkan borjuis kaya. Lewat kematiannya, Tuan Park diposisikan sebagai martir yang mesti meregang nyawa di hadapan para pekerjanya yang sejak awal digambarkan licik dan serakah. Dalam film ini, upaya para jelata untuk merebut aset dari kaum borjuis tidak lagi digambarkan sebagai upaya perjuangan kelas, melainkan dipelintir menjadi sebentuk kejahatan bermotif dengki. Pelintiran yang terasa wajar bagi kaum borjuis, tapi tidak bagi orang-orang miskin, para peserta demonstrasi buruh atau korban penggusuran. Merekalah orang-orang yang sering dikriminalisasi oleh negara dengan mencap mereka sebagai pengacau. Ketidakadilan itu seolah dijatahkan untuk si miskin, tapi tidak pernah dirasakan oleh si borjuis.

Bahkan di dalam film pun, orang miskin diperlakukan tidak adil. Atas apa yang dilakukan keluarga Ki-Woo terhadap majikannya, mereka dianggap patut mendapat hukuman atau diganjar karma, setelah sebelumnya dijebak ke dalam citra sebagai keluarga pengacau. Sebaliknya, tidak ada hukuman atau karma yang menimpa si majikan kaya. Keluarga Park diselamatkan oleh kematian yang syahid karena telunjuk itu memang harus disembunyikan agar dosa kaum borjuis tidak terendus. Pesan film Parasite pun menjadi sangat jelas: kasihan sekali orang miskin itu, tapi jangan masukkan mereka ke dalam rumahmu karena akan mengganggu ketentraman dan kemakmuranmu!

Alhasil, atas keberhasilannya memanipulasi pertentangan kelas dengan menyembunyikan telunjuk itulah film Parasite dianggap pantas mendapat Oscar. Sebuah penghargaan paripurna untuk karya seni humanisme borjuis. ***

*) Novelis dan esais
*) Pernah Dimuat di Harian Rakyat Sultra, 14/09/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *