Dalam bagian awal novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Minke—tokoh protagonis dalam novel itu— mengagumi kemajuan dunia modern. Salah satu yang dikaguminya adalah kereta api. Minke menuliskan: “Kereta api—kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau—belasan tahun telah disaksikan sebangsaku. Adanya kereta api, jarak Jakarta ke Surabaya hanya perlu ditempuh dalam waktu tiga harmal. Pada ujungnya, kemajuan teknologi telah mengubah bumi manusia.
Dengan kereta cepat, Jokowi hadir untuk melanjutkan visi modernitas ini. Sebelum kereta cepat, Jokowi membuat gebrakan dengan MRT-nya. Siapa pernah bermimpi Jakarta akan ada MRT. Pihak yang tak percaya dengan visi kemajuan, menghantam program MRT. Kata mereka, bagaimana membangun terowongan bawah tanah di kota banjir? Namun hari ini warga Jakarta menikmati MRT yang tepat waktu, bersih dan bebas dari kemacetan.
Seorang pemimpin harus punya nyali. Dan, Jokowi memiliki itu. Kita ingat program kereta cepat ini mendapat hantaman kanan kiri. Jokowi bergeming. Program ini jalan terus. Hari ini siapa saja bisa menikmati perjalan Jakarta ke Bandung, dan sebaliknya, hanya memakan waktu satu jam. Tanpa pesawat terbang, peristiwa ini belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Ketika banyak yang pesimis bahwa kereta cepat akan merugi, Jokowi menyatakan dengan tegas bahwa proyek kereta cepat bukan tentang untung rugi. Jokowi mengatakan bahwa yang terpenting: “Rakyat dilayani dengan cepat, karena fungsi transportasi massal itu di situ.” Inilah visi pemimpin yang berpikir jauh ke depan. Berpikir bahwa transportasi publik akan menjadi hal krusial di kemudian hari. Disaat manusia semakin bertambah, mobilisasi semakin meningkat, jalanan semakin berjubel, transportasi publik menjadi tulangpunggung.
Kita memang membutuhkan pemimpin yang berani, bukan yang lembek dan peragu. Kita tidak butuh pemimpin yang hanya peduli dengan citra dirinya sehingga memilih “bermain aman” dalam mengambil keputusan. Jokowi bukan tipe seperti itu.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyatakan, “Asal untuk rakyat, asal untuk negara, saya pertaruhkan reputasi politik saya.” Kata-kata itu bukan pepesan kosong semata. Jokowi memperlihatkan bahwa dia tak pernah mundur bila menyangkut kepentingan rakyat dan negara. IKN dan program hilirisasi yang mendapatkan penentangan sana-sini, tak membuat Jokowi jirih. Jokowi terus melaju karena ia yakin bahwa itu dilakukan untuk kepentingan rakyat dan bangsanya.
Jokowi mengajarkan bahwa reputasi politik bukan hal penting di hadapan kepentingan rakyat. Kalau kita memandang paramater reputasi politik dalam bertindak, kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita akan memilih diam dan memilih jalur yang aman. Abstain dalam setiap peristiwa politik karena takut bila terlibat akan memperburuk citra kita. Jokowi mengajarkan sebaliknya: mesti punya nyali.
Hingga hari ini, program strategis Jokowi akan terus-menerus dihantam. Masih banyak yang menghendaki agar Indonesia tidak tumbuh menjadi negara maju. Mereka tak terima Jokowi meletakkan landasan yang kokoh untuk kemajuan itu.
Semestinya program-program strategis dari Jokowi inilah yang perlu kita bela dari mereka yang menghendaki Indonesia tetap menjadi bagian Dunia Ketiga, bukan justru membela hal-hal yang remeh temeh. Bila pondasi yang dibangun Jokowi ini ambrol, maka impian Indonesia menjadi negara maju akan ambrol juga. Dan, kita hanya bisa gigit jari kuda ketika negara lain jauh meninggalkan kita.
Whoosh dirancang bukan untuk hitung-hitungan untung rugi dengan rakyat. Whoosh dibangun sebagai visi ke depan Indonesia. Dan, Jokowi telah meletakkan betangan relnya dari Jakarta ke Bandung. Dan, rencananya akan diteruskan sampai Surabaya.
Pada Whoosh kita belajar bagaimana Jokowi berdiri kokoh di atas kepentingan rakyat dan bangsa, tak pernah mengenal rasa takut.***





