PEMUDA DAN PERLAWANAN

“Maka kami berconto ke kerbo

Yang jemu diejek, lalu meruncing tanduk

Melambung penunggangnya bengis ke atas

Lantas kakinya kasar mengantam penyet.” (Roda van Eisinga)

 

Baling-baling Bernama Pemuda

Sebagai penggerak zaman, pemuda selalu berperan. Ia berada dalam posisi sentral gerak perubahan. Oleh karena itu, kita sering mendengar istilah “angkatan muda”. Angkatan ini seringkali tampil sebagai pelopor perubahan, walaupun tak jarang yang jadi pengkhianat dari laju sejarah.

Di zaman pra-kolonial (masa sebelum penjajahan bangsa-bangsa Eropa), peranan pemuda banyak tercatat dalam sejarah. Sebut saja pemuda bernama Arok. Ia dikenal sebagai keturunan rakyat jelata (petani) yang berhasil menembus dinding dunia satria (bangsawan) untuk kemudian jadi raja Singasari. Ia dikenal dalam sejarah karena membuat babak baru; memulai zaman Jawa-Hindu, mengakui semua agama (memperkenalkan pluarisme yang kemudian berkembang menjadi slogan Bhineka Tunggal Ika), serta menghapuskan perbudakan.

Dikenal pula pemuda bernama Gajah Mada. Dongeng dan sejarah menempatkan dirinya sebagai pemersatu Nusantara. Sewaktu Gajah Mada berada di puncak, Nusantara yang terpisahkan oleh selat dan laut berhasil diikat oleh kesatuan ekonomi maritim. Puncak zaman perdagangan Nusantara; kapal-kapal Majapahit merambah berbagai kerajaan, kapal-kapal asing banyak singgah di bandar-bandar Nusantara.

Dalam novel Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan pemuda bernama Galeng. Pemuda dari desa Awis Krambil ini—keturunan petani—yang berusaha mengembalikan kejayaan Majapahit yang telah sirna. Ia berusaha membendung cakar-cakar kolonialisme yang mulai mencengkram kawasan Asia Tenggara. Usahanya memang gagal, tapi dia telah berusaha.

Ketika kolonialisme telah mencengkram Nusantara, peranan pemuda sebagai baling-baling sejarah masih dominan. Pada masa ini perlawanan para pemuda masih sporadis, belum mengenal organisasi perlawanan. Perlawan mereka masih lokalis, dalam arti memperjuangkan wilayah mereka yang dicoplok penjajah. Oentoeng Soerapati, salah satu pemuda yang muncul pada kurun ini. Ia budak yang kemudian melawan Belanda. Perlawanannya sepat merepotkan Belanda walaupun akhirnya bisa dipatahkan.

Dan masih banyak lagi pemuda-pemuda yang menjadi pelopor gerak sejarah. Pemuda-pemuda yang disebut di atas hanyalah contoh betapa dalam setiap zaman dan masa para pemuda selalu memngambil peran. Uniknya, mereka bukan dari golongan “atas”, tetapi berasal dari golongan “ bawah”, rakyat jelata. Ini tentunya tidak terlalu aneh karena orang-orang dari golongan “bawah” ini yang secara langsung merasakan penindasan dan penghisapan dari kekuasaan yang ada.

Pengertian “pemuda” dalam masyarakat tradisional sebagai tahap antara masa kanak-kanak dan dewasa dalam perkembangan manusia. Dalam masyarakat tradisonal, perkembangan manusia dibagi menjadi empat tingakt: masa kanak-kanak, muda, dewasa dan lanjut. Dalam rangkain tersebut, masa muda merupakan masa untuk ikut menentukan kehidupan masyarakat.

Tulisan ini akan berusaha mengupas peranan pemuda dalam mengubah kehidupan masyarakat.

Ketika Nasionalisme Mulai Tumbuh

  1. Sastra Yang Membuka Kesadaran: Max Havelaar

Tahun 1860 publik Belanda digegerkan oleh novel berjudul Max Havelaar. Novel ini ditulis oleh seseorang yang mengatasnamakan Multatuli—akulah yang menderita. Novel ini mengisahkan kondisi Hindia Belanda pada masa penjajahan. Sebagai mantan asisten di Lebak, Multatuli tentu dengan kepala dan matanya sendiri melihat kondisi penduduk pribumi yang terjajah. Ketika masih menjabat ia mendapatkan bahwa bupati Lebak telah melakukan pemerasan pada penduduk. Tindakan ini ia adukan pada atasnnya. Namun, sang atasan tidak mengubris dan memelih memihak pada sang bupati, sampai akhirnya Multatuli dinonaktifkan dari jabatannya. Dengan kekecewaan luar biasa Multatuli kemudian pulang ke Belanda. Sampai akhirnya lahirlah novel Max Havelaar.

Dalam Max Havelaar terdapat bagian novel yang menarik, yaitu Saija dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda:

“Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat bersdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan didalam lumbung.

Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru.

Saidja telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidja dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang.

Ajah Saidja jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru.”

 

Begitulah kondisi penduduk pribumi waktu itu, miskin karena harta benda mereka dirampas oleh penjajah. Kerbau yang dibeli ayah Saija kembali dirampas oleh kepada distrik untuk disembelih. Keluarga Saija tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta mereka telah ludes. Tanah mereka pun akhirnya terlantar. Kemiskinan menjadi-jadi.

Multatuli lewat Max Havelaar menggugat kondisi itu. Ia menentang pratek-pratek busuk kolonial. Lewat karya sastra ia berhasil menggoncang negeri Belanda, membangunkan orang-orang Belanda yang tidak peduli pada kondisi tanah jajahan; bahwa mereka hidup di atas kesengsaraan bangsa lain.

Novel Multatuli tidak hanya dibaca oleh orang-orang Belanda, tetapi juga dibaca oleh golongan terpelajar di Hindia Belanda. Salah satu yang membaca karya Multatuli adalah Kartini. Ketika membaca Multatuli, Kartini masih muda. Sebagai anak bupati ia beroleh kesempatan belajar bahasa Belanda sehingga bisa membaca buku-buku berbahasa Belanda, Max Havelaar salah satunya.

Kartini begitu tergugah ketika membaca Max Havelaar: “Max Havelaar aku punja,“ katanja, “karena aku sangat, sangat suka Multatuli.” Maka Karti pun mengikuti jejak Multatuli: menulis. Memang Kartini tidak menulis novel, tapi lewat surat-suratnya ia melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh Multatuli. Kartini tidak hanya dikenal seperti zaman Orde Baru—hanya sebagai pejuang emansipasi—tetapi ia sangat gigih melawan kolonialisme. Surat-suratnya mengecam keras tindakan penjajah yang telah merampas kemerdekaan penduduk pribumi. Sebagai remaja putri ketika itu, Kartini sudah sadar bahwa pangkal kesengsaan bangsanya adalah kolonialisme.

Jarak Multatuli dan Kartini memang berjauhan, tapi keduanya mempunyai semangat sama: melawan kolonialisme. Baik Multatuli maupun Kartini merupakan angkatan muda yang berlawan dengan cara masing-masing.

Baik Multatuli maupun Kartini menyuarakan protes mereka melalui pena. Suara hati mereka dituangkan dalam barisan huruf demi huruf, yang kemudian dibaca oleh orang lain. Inilah masa ketika tulisan memegang peranan penting untuk membuka kesadaran kebangsaan untuk melawan penjajahan. Progam politik etis Belanda sedikit banyak telah memberikan kesempatan terhadap masyarakat pribumi—khusunya kaum terdidik—untuk membaca berbagai pemikiran yang terserak dalam berbagai buku. Dari situ mereka yang telah membaca mulai mengenal kondisi mereka sendiri maupun kondisi masyarakatnya: bahwa mereka terjajah.

Mereka yang telah tercerahkan lewat tulisan tersebut sebagian besar adalah angkatan moeda. Sebagai keturunan prijaji yang mendapatkan keistimewaan dari Belanda, mereka bisa menikmati pendidikan yang mulai dibuka. Mereka mulai belajar bahasa Belanda, dan mulai membaca tulisan-tulisan dari manca negara. Generasi ini tidak lagi membaca babad dan kisah-kisah klasik nenek moyang mereka, tapi mulai membaca pemikiran-pemikiran modern. Mereka inilah yang pada periode berikutnya akan memberikan warna baru dalam perjuangan melawan kolonialisme.

  1. Berangkat Dari Surat Kabar

Masuknya penjajah Bellanda ke Indonesia selain membawa sistem ekonomi baru—kapitalisme—juga membawa hasil dari revolusi industri di Eropa, salah satunya mesin cetak. Sebelum mesin cetak masuk, tulisan ditatah dibatu dan dalam perkembangan selanjutnya ditulis di atas lontar. Lantas masuklah alat cetak.

Perkembangan percetakan di Indonesia bermula ketika Belanda mulai menjajah. Belanda membutuhkan alat pecetak ini melipatgandakan aturan hukum. Ini terjadi ketika masa VOC mulai berkembang biak. Selain oleh pemerintah kolonial, percetakan juga dikenal oleh para misionaris Gereja Protestan. Mereka membutuhkan percetakan untuk memperbanyak literatur Kristen dalam berbagai bahasa daerah, dan juga untuk mencetak Al Kitab.

Percetakan ini membawa dampak yang besar dalam sejarah perjuangan Indonesia. Mesin cetak yang awalnya hanya digunakan untuk kepentingan pemerintah dan gereja, lambat laut digunakan untuk menyuarakan kepentingan perjuangan, yaitu melalui surat kabar. Seperti halnya mulut, surat kabar ini menyurakan gugatan-gugatan terhadap pemerintah kolonial. Pada masa ini lahirlah Medan Prijaji sebagai surat kabar pribumi pertama. Medan Prijaji mulai terbit pada tahun 1904, dengan akta notaris Simon. Surat kabar ini didirikan oleh N.V. Javaanshe Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Kantor Medan Prijaji terletak di Jalan Naripan, Bandung. Modal awal penderiannya F. 75.000.

Pendiri Medan Prijaji, Raden Mas Tirtohadisoerjo, merupakan keturunan bupati Bojonegoro. Ia dilahirkan tahun 1875 dan meninggal tanggal 17 Agustus 1918. Tirto dikenal sebagai wartawan Indonesia pertama yang menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum. Lewat surat kabar ini ia membuat kecaman-kejaman yang pedas terhadap pemerintah kolonial—baik kekuasaan tersebut diwakili oleh orang pribumi maupun oleh Belanda. Oleh karena itu, tak mengherankan karena tajamnya kritik melalui surat kabar, Tirto diasingkan oleh Belanda.

Tirtohadisoerjo jelas pemuda. Ketika mulai merintis usaha surat kabarnya usianya baru 29 tahun. Ia bisa dikatakan sebagai pembuka babakan baru perjuangan Indonesia melawan kolonialisme; babak perjuangan modern. Ia menjadi pelopor kebangkitan nasional. Cita-citanya telah dimulai ketika ia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa surat kabarnya, bukan bahasa Belanda.

Setelah masa ini, surat kabar lain yang dikelola oleh pribumi mulai bermunculan. Perjuangan tidak lagi melalui tombak dan keris, tapi melalui surat kabar sebagai senjata. Senjata baru ini cukup ampuh. Pemikiran-pemikiran pribumi bisa dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Nasionalisme dan kesadaran untuk merdeka menyebar lebih cepat dari masa-masa sebelumnya.

  1. Munculnya Organisasi Perlawan: Dari Yang Moderat Sampai Yang Revolusioner

Kehadiran Medan Prijaji secara langsung semakin mengeliatkan semangat untuk melawan kolonialisme. Kesadaran baru pun tumbuh: kekauatan akan berlipat apabila ada yang mengikat, yaitu organisasi. Berdirilah Sarikat Prijaji. Organisasi ini dipelopori oleh Tirtohadisoerjo. Seperti namanya, organisasi ini  untuk memperjuangkan kepentingan kaum prijaji. Pada akhirnya organisi ini pupus karena tidak menemukan tulangpunggung yang kokoh. Kaum prijaji ternyata sekumpulan orang-orang yang beku, yang hanya peduli pada dunianya sendiri.

Serikat Prijaji pupus, lahirlah Serikat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini diikat oleh dua hal: pedagang dan Islam. Lagi-lagi organisasi baru ini dipelopori oleh Tirto. Kaum pedagang yang bekerja dengan mengandalkan kreativitas mereka diharapkan bisa menjadi ujung tombak dalam memutar baling-baling organisasi. Dan Islam sebagai agama mayaroritas digunakan untuk menyatukannya.

SDI memang bukan organisasi revolusioner, tetapi ia cikal bakal munculnya organisasi revolusioner: Serikat Islam Merah. Serikat Islam Merah ini melahirkan jago-jago kiri dalam sejarah pergerakan Indonesia, di antaranya Marco Kartodikromo dan Semaoen. Mereka merupakan angkatan muda baru yang mulai berkenalan dengan ajaran-ajaran komunis. Dari Serikat Islam Merah Ini kemudian lahir Partai Komunis Indonesia (PKI).

Partai Komunis Indonesia (PKI), berdiri pada 23 Mei 1920. Semaoen terpilih menjadi ketua sedangkan Darsono sebagai wakil ketua. PKI merupakan partai komunis pertama di Asia—Partai Komunis Cina sendiri baru didirikan setahun kemudian, yakni pada bulan Juli l92l. Jarak sebulan setelah berdirinya Partai Komunis Indonesia, Lenin merancang sebuah tesis mengenai negeri-negeri jajahan dan persoalan kebangsaan  (Preliminary Draft Theses on the National and the Colonial Questions), untuk kongres kedua Komunis International. Dalam perancangan ini, Lenin dibantu oleh M.N. Roy, Maring, dan Henk Sneevliet. Di dalam tesis itu, terutama pada poin ke-11 dikemukakan bahwa:

“Sehubungan dengan bangsa-bangsa maupun negeri negeri yang lebih terbelakang lagi, yang merupakan tempat hubungan-hubungan feodal maupun patriarkal, maupun juga tani-patriarkal mendominasi, amatlah penting untuk diperhatikan bahwa:

Pertama, semua partai Komunis harus membantu gerakan pembebasan borjuis demokratik di negeri negeri ini, dan bahwa tugas pelaksanaan bantuan yang paling aktif terutama terletak pada kaum pekerja di negeri di mana bangsa yang terbelakang secara kolonial dan finansial bergantung;

Kedua, kebutuhan untuk melawan kaum agamawan dan elemen elemen abad pertengahan dan reaksioner di negeri negeri terbelakang; Ketiga, kebutuhan untuk melawan Pan-Islamisme berikut kecenderungan-kecenderungan yang serupa, yang mana berusaha menggabungkan gerakan pembebasan melawan imperialisme Eropa dan Amerika dengan satu usaha untuk memperkuat posisi dari para khan, tuan-tuan tanah, kaum mullah, dsbnya.

Keempat, kebutuhan di negeri negeri terbelakang untuk memberikan dukungan khusus kepada gerakan tani melawan tuan tanah, melawan perampas tanah, dan melawan segala manifestasi atau penyelamatan dari feodalisme dan berusaha menyediakan karakter yang paling revolusioner pada gerakan petani dengan membangun aliansi yang paling erat di antara proletariat komunis Eropa Barat dan gerakan petani revolusioner di wilayah Timur, di wilayah jajahan, dan di negeri negeri terbelakang pada umumnya. Dalam hal ini, diperlukan penggunaan dari setiap usaha penerapan prinsip prinsip dasar sistem Soviet di negeri negeri di mana hubungan hubungan pra kapitalis mendominasi –dengan membentuk “Soviet rakyat pekerja”, dsbnya.

Kelima, kebutuhan untuk perjuangan yang menentukan melawan usaha usaha untuk mewarnai komunis dengan kecenderungan kecenderungan pembebasan borjuis demokratik di negeri negeri terbelakang; Komunis Internasional harus membantu gerakan nasional burjuis demokratik di negeri negeri terbelakang maupun negeri jajahan hanya atas kondisi-kondisi bahwa di negeri negeri tersebut elemen-elemen partai proletariat di masa depan, yang mana tidak akan menjadi komunis ‘papan nama’, dikumpulkan dan dilatih untuk memahami tugas tugas khusus mereka, seperti misalnya perjuangan melawan gerakan borjuis demokratik di negeri mereka sendiri. Komunis Internasional harus masuk ke dalam asliansi sementara dengan demokrasi burjuis di negeri negeri terbelakang dan di negeri jajahan, tetapi tidak diperkenakan bergabung ke dalamnya, dan dalam segala situasi harus mendukung independensi dari gerakan proletariat sekalipun jika gerakan itu baru pada tahap embrioniknya;

Keenam, kebutuhan untuk terus menerus menjelaskan dan mengungkapkan di semua massa pekerja meluas di semua negeri, dan terutama di negeri negeri terbelakang, mengenai penipuan yang secara sistematis dilaksanakan oleh kekuasaan imperialis, yang mana mengarahkan massa pekerja pada gagasan negeri negeri yang merdeka secara politik. Namun kaum imperialis sesungguhnya membangun negeri negeri yang sepenuhnya bergantung kepada mereka baik secara ekonomis, finansial dan militer. Di bawah kondisi internasional yang ada saat ini tidak ada keselamatan bagi bangsa bangsa yang lemah dan tergantung, kecuali di Uni Republik Sosialis Soviet.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, PKI merupakan kekuatan politik pertama yang melancarkan pemberontakan pada Belanda tahun 1926-1927. Pemberontakan ini gagal, tetapi telah mengajarkan hal baru: keberanian untuk berontak.

Dari golongan yang lebih moderat, munculah pemuda-pemuda yang kemudian mendirikan Boedi Oetomo (BO). Organisasi ini dipelopori pemuda-pemuda seperti Soetomo, Samanhudi, dan lain-lainnya. Mereka sebagian besar merupakan golongan inteletual lulusan sekolah dokter, Stovia. Organisasi ini memilih bergerak dalam lapangan sosial, khusnya pendidikan.  Sebagai organisasi dari golongan prijaji, mereka tidak menekankan perjuangan revolusi sepertinya halnya PKI. Mereka lebih memilih cara yang “aman” untuk menembuhkan kesadaran nasionalisme pribumi. Komoderatan mereke memang bisa dimaklumi. Sebagian besar penggiat Boedi Oetomo adalah pejabat kolonial.

Zaman ini bisa dikatakan sebagai zaman organisasi. Berbagai organisasi yang dipelopori oleh para pemuda tumbuh dan berkembang.

  1. Bahasa dan Sumpah Pemuda

Setelah surat kabar dan organisasi dimiliki, para pemuda kemudian mulai memikirkan bahasa. Wilayah Hindia Belanda yang begitu luas, yang masing-masing memiliki bahasa sendiri, tentu membutuhkan sebuah bahasa yang bisa menjadi bahasa perantara untuk mengungkapkan gagasan-gagasan. Sebelumnya, bahasa Belandalah yang dipakai. Akan tetapi, karena bahasa Belanda merupakan bahasa kolonial, maka harus dicari bahasa baru. Maka, bahasa Melayu-lah yang kemudian dipilih, yang kemudian dikenalkan sebagai bahasa Indonesia.

Semangat untuk menemukan dan merumuskan bahasa “persatuan” ini muncul ketika Sumpah Pemuda. Seperti yang telah diuraikan di atas, setelah munculnya Serikat Prijaji, organisasi-organisasi baru bermunculan. Di setiap daerah muncul perkumpulan-perkumpulan baru yang bertujuan memperjuangkan kepentingan daerah/suku mereka. Berdiri Jong Java (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1910) dan Jong Bataks Bond (1925). Angota dari perkumpulan tersebut adalah laki-laki dan perempuan muda. Mereka merupakan golongan terpelajar yang menerima pendidikan Eropa.

Perkembangan selanjutnya, para anggota perkumpulan kedaeran itu mulai memikirkan perlunya sebuah organisasi yang bersifat nasional, organisasi yang mampu menyatukan mereka. Semenjak tahun 1920-an, mereka mulai memikirkan untuk membuat suatu federasi yang menyatukan perkumpulan-perkumpulan yang masih berserak tersebut. Maka kemudian terjadi kongres Pemuda II—yang kemudian dikenal dengan “Sumpah Pemuda.” Salah satu tokoh kuncinya adalah pemuda bernama Mohammad Yamin.

Sumpah Pemuda merupakan proses lanjut dalam perjuangan bangsa Indonesia. Di konggres ini diputuskan:

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah jang darah satoe,

Tanah Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa

Indonesia

Kami poetra dan petri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoen, bahasa

Indonesia.

 

Sumpah Pemuda kemudian mendorong penyatuan organisasi pemuda. Hasilnya adalah terbentuknya Indonesia Moeda. Soekarno muncul dalam periode ini. Semasa moeda-nya Soekarno mendapatkan gemblengan dari tokoh nasionalis Tjokroaminoto—ketua SDI. Di tempat Tjokro, Soekarno bersama Moeso mendapatkan pendidikan politik. Inilah yang mendorong keduanya untuk bergerak menjadi aktivis pergerakan nasional. Soekarno kemudian mendirikan PNI, sementara Moeso memilih jalur “kiri” dengan terlibat dalam PKI.

Setelah tahun 1930-an, Soekarno kemudian dominan dalam perjuangan nasionalisme di Indonesia. Ia mendirikan PNI. Karena aktivitas politiknya ia sering berhadapan dengan pengadilan kolonial, dan beberapa kali ditahan dan dibuang. Sampai akhirnya Jepang menjajah Indonesia menggantinkan Belanda.

  1. Gerakan Bawah Tanah Sampai Revolusi 1945

Ketika Jepang masuk, perjuangan pemuda Indonesia menempuh dua jalur: mengikuti politik Jepang—Soekarno, Hatta, dan lain-lain—dan perjuangan bawah tanah. Dalam tulisan ini akan dibahas perjuangan bawah tanah.

P.J.A Indenburg, menguhungi Amir Sjarifuddin begitu Belanda kalah dengan Jepang. Amir sebelumnya dikenal sebagai ketua Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah oraganisasi pemuda kiri pada tahun 1930-an. Indenburg menanyakan kepada Amir apakah bersedia mengorganisasikan perjuangan bawah tanah melawan Jepang. Amir menyetujuinya.

Bagi Amir, sebagaimana prinsip gerakan kiri internasional, yaitu bekerjasama dengan negara kolonial yang menganut demokrasi borjuis untuk menentang fasisme yang tengah bangkit, merupakan pilihan politik paling rasional ketika itu. Inilah pertimbangan Amir untuk menerima tawaran dari Indenburg. Atas persetujuan menerima tawaran Belanda tersebut, Amir menerima uang 25.000 gulden untuk membianyai perjuangan bawah tanah. Amir kemudian merekrut anggota-anggota, yang kemudian diketahui sebagai anggota PKI ilegal. Oleh Amir kemudian dibentuk Gerakan Anti Fasis (Geraf).

Buah dari gerakan bawah tanah ini mulai bermunculan. Di Singaparna terjadi pertempuran antara rakyat melawan tentara Jepang, hal serupa terjadi di Tasikmala. Sedangkan perlawan yang agak besar terjadi di Blitar, ketika Supriyadi salah satu anggota PETA mengorganisir perlawan terhadap Jepang, perlawan sempat meluas ke Malang Selatan—daerah Karang Kates—Tulungagung dan Kediri.

Gerakan Amir ini pada akhirnya bisa dipatahkan oleh Jepang. Ketika Amir ditahan oleh Jepang, muncul gerakan bawah tanah baru yang kemudian dikenal dengan “Menteng 31”. Gerakan ini berpusat di asrama pemuda yang terdapat di Jalan Menteng nomor 31. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam Menteng 31 antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, A.M. Hanafi, Ismail Widjaja, Aidit, Lukman dan Sjamsuddin Tjan. Mereka mengorganisikan perjuangan bawah tanah melalui penyebaran selebaran-selebaran politik melawan Jepang.

Ketika proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan, hasil kerja dari gerakan bawah tanah ini kelihatan. Para pemuda bergerak untuk mempertahankan kemerdekaan dengan melucuti tentara Jepang. Tentara Jepang tak berdaya menghadapi sergapan angktan moeda Indonesia.

Perjuangan bawah tanah ini menunjukkan kalau dalam situasi apapun, para pemuda terus berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Ketika jalur politik legal tidak dimungkinkan karena ketatnya pengawasan dan penangkapan, perjuangan bawah tanah terbukti efektif untuk menghimpun kekuatan perlawanan. Jepang sendiri tentunya tak menyadari kalau di bawah tanah sedang dihimpun kekuatan besar untuk meruntuhkan mereka.

Puncak dari gerakan bawah tanah terjadi ketika rapat raksasa di lapangan IKADA Jakarta, beberapa hari setelah Indonesia merdeka. Gerakan ini membuat kaget dan bingung, baik Soekarno maupun kompetai Jepang. Ratusan ribu orang berkumpul di lapangan IKADA dengann satu tekad, mempertahankan kemerdekaan dan melawan fasisme Jepang.

Revolusi Pemuda 1945

  1. Revolusi Fisik dan Revolusi Jiwa

Situasi politik nasional paska proklamasi 17 Agustus 1945 masih masih rentan. Imperialis Belanda tidak mau begitu saja melepaskan kekuasanya atas Indonesia. Tentara Belanda—NICA—membonceng tentara Sekutu yang dipimpin Inggris. Pada tanggal 24/08/45, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai persetujuan “Civil Affairs Agreement” yang menyebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama Pemerintah Belanda. Pelaksa pemerintahan sipil diselenggrakan oleh NICA di bawah tanngung jawab Komandan Inggris, kemudian kekuasaan akan dikembalikan kepada Kerajaan Belanda.

Pada tanngal 15/09/45, Armada sekutu (Inggris-Belanda) di bawah pimpinan komando Laksamana Muda W.R. Petterson mendarat di Tanjung Priok dengan kapal penjelajah Cumberland. Pasukan ini membawa serta satua RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of Wor and Internees) yang berrtugas memulangkan para tawanan perang dan interniran Sekutu dari kamp-kamp Jepang di Pulau Jawa. Sejak pendaratan pertama ini, pasukan-pasukan sekutu terus melakukan pendaratan susulan.

Tidak dapat dihindari lagi, pertempuran-pertempuran besar terjadi antara rakyat Indonesia dengan aliansi jahat imperialis Inggris dan Belanda—salah satunya adalah pertempuran 10 Nopember 1945 yang menewaskan Jendral Mallaby.  Dan hampir sepanjang tahun 1945, energi perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan meluap-luap. Pertempuran-pertempuran hapir tejadi di kota-kota besar di Indonesia di pelopori oleh pemuda.

Masa revolusi fisik ini telah mendorong pemuda-pemuda turun ke gelandang pertempuran. Dalam novelnya Di Tepi Kali Bekasi, Pramoedya dengan baik menggambarkan gelora angkatan moeda melawan Belanda.Mereka membangun basis perlawanan di Cikampek. Tujuan mereka hanya satu: mempertahankan proklamasi.

Revolusi fisik ini juga memcerminkan para pemuda mengalami revolusi jiwa. Yaitu membebaskan diri dari jiwa jajahan dengan jiwa merdeka. Inilah yang kemudian mendorong para pemuda untuk mengorbankan apa yang mereka miliki demi meraih kemerdekaan. Daerah-daerah gerilya dipenuhi oleh angkatan moeda, baik laki-laki maupun perempuan. Tanpa ada komando mereka memerankan tugas-tugas masing-masing.

  1. Konsolidasi Organisasi

Masa setelah proklamasi juga merupakan masa konsolidasi para pemuda untuk membuat organisasi. Pada tanggal 8/11/45, Partai Buruh Indonesia (PBI) berdiri di bawah Ketua Umum Njono. Azas/tujuan: a. Berazas sosialisme Marxisme-Lenisme;b. Menuju masyarakat sosialis. Sehari setelah itu, Kongres Buruh Indonesia di Surakarta berakhir dengan mengambil keputusan sebagai berikut:

“Barisan Buruh Indonesia di lebur menjadi Partai Buruh Indonesia.

Untuk menjamin nasib kaum buruh, minta supaya Pemerintah menyarahkan soal-soal buruh kepada Partai Buruh.

Perusahan-perusahan yang ditinggalkan oleh penguasa atau yang mempunyai dan sekarang di bawah penilikan Republik Indonesia, suapaya diajadikan milik Republik.

Urusan pembagian amakan dan pakaian suapay diserahkan kepada partai Buruh Indonesia dan dijalankan atas dasar sosialisme.

Modal-modal segala perusahaan harus diserahkan dalam suatu Bank Buru.

Selanjutkan untuk mempertahankan Republik Indonesia akan didirikan Laskar Buruh Indonesia.”

Kemudian, bertepatan dengan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Pemuda Sosialis Indonesia (pesindo) terbentuk di Yogyakarta. Oraganisasi ini meruapakan gabungan dari Pemuda Republik Indonesia (PRI), Angkatan Pemuda Indonesia (API), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GPRI), Angaktan Muda Kereta Api (AMKA), Angaktan Muda PTT (Pos, Telegraf, Telepon) dan Angkatan Muda Gas-Listrik. Pada tanggal 17 Nopember.

Pada tanggal 20 Nopember, Partai Sosialis Indonesia berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Mr. Amir Sjarifudin. Sidang pertama mengambil keputusan:

“Mendukung pemerintahan Republik Indonesia

Menyiapkan front rakyat tanpa pandang golongan dan agama

Mendukung kabinet Sjahrir

Menganjurkan kepada Rakyat untuk mendukung kabinet Sjahrir dengan sekuat-kuatnya.”

Di Yogyakarta, PBI didirikan pada awal januari 1946. Sementara itu, barisan Tani Indonesia (BTI) daerah Besuki, Jawa Timur yang berpusat di Jember mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sejumplah anggotnya di deploy untuk mendirikan cabang-cabang di daerah lain. Sementara itu, pada tanggal 29 Nopember 1946, Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GBSV) dan gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) dilebur menjadi satu dan kemudian bernama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Organisasi-organisasi ini sangat vokal menentang Belanda. Pada tanggal 14/01/46, Rapat Ikatan Serikat Sekerja di Bandung mengambil sejumlah keputusan, a.l: 1). Seluruh kaum buruh Indonesia menolak di jajahnya Indonesia kembali. 2). Menetang kembalinya sisitem kapitalis di Indonesia. 3)Mendukung sepenuhnya dasar demokrasi yang berpedoman sosialisme. Semenatar itu, Serikat Buruh dan Serikat Tani mengeluarkan stetmen bersama salah satu tuntutanya adalah Buruh dan Tani saling berjanji menyokong Pemerintahan dalam perjuangan mempertahankan  Republik Indonesia Merdeka 100%. Dalam pidatonya pada konferensi Partai Sosialis di Cerebon pada tanggal 1/08/46, amir sjarifudin menyampaikan pidatonya sebagai berikut: “ Kekejaman Belanda yang sudah berulang-ulang terjasi tidak pantas kita diamkan saja. Dewan Pertahan siap menghadapi segala kemungkinan. Kita telah mencoba berjuang secara damai, tetapi tidak berhasil, apa boleh buat, kita pun bersedia menghadapi segala kemungkinan.”

Memasuki tahun 1947 situasi politik Indonesia semakin memanas—selain Agresi Militer Belanda I, juga terjadi pergantian Perdana Menteri, dari Sutan Sjahrir ke Amir Sjarifudin. Perjajian Linggajati telah menyebabkan Indonesia kehilangan wilayah—wilayah yang diakui hanya Jawa, Madura dan Sumatera –dan menyebabkan pemerintah Indonesia tersumbordinasi oleh imperialis Belanda. Sutan Sjahrir sendiri dalam sebuah pidatonya pada tanggal 11 Juli 1947 “mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia selama masa peralihan”. Ini kemudian yang memberiakan legitimasi kepada Belanda untuk melakukan pendudukan wilayah-wialay Indonesia. Kota-kota yang menjadi wilayah Indonesia sesuai perjajian Linggajati diserang oleh Belanda untuk dikuasai kembali—misal kota Mojokerto yang terkenal subur tersebut.

Keadaan dalam negeri semakin memanas dengan adanya ‘revolusi sosial’, salah satunya di Sumatera Timur. Pemuda Sumatera Timur pada tanggal 3/03/46, yang mempunyai slogan “100% merdeka” dan lebih baik mandi darah daripada dijajah”, mengulingkan raja-raja feodal yang dianggap masih pro Belanda. Lima hari kemudian, revolusi ini telah menjalar ke seluruh Sumatera Timur. Revolusi Sosial ini juga terjadi di Jawa dengan tujuan membersihkan feodalisme.

Setelah 1965

Setelah tragedi 1965, gerakan rakyat dibungkam. Karena hanya mahasiswa yang sedikit mempunyai kebebasan, merekalah yang lebih banyak berperan. Para mahasiswa yang pada awalnya mendukung penuh Orde Baru, mulai kecewa dengan kondisi yang berkembang. Soeharto mulai memperlihatkan belangnya.

Perlawanan pertama adalah gerakan GOLPUT. Mereka melihat pemilu Orba hanyalah basa-basa saja. Gerakan ini patah. Beberapa tokohnya ditangkap dan dikejar-kejar. Setelah gerakan Golput, perlawanan pemuda muncul lagi ketika TMII didirikan. Mereka memprotes  pembangunan proyek mercusur. Gerakan ini mengilang begitu saja.

Pada bulan Oktober 1973, angkatan moeda mengeluarkan “Petisi 24 Oktober”. Petisi tersebut dibawa ke DPR/MPR. Pada akhirnya, petisi ini tinggal menjadi petisi, menjadi selembar kertas. Gerakan yang agak besar dan lebih luas pada tahun 1974. Mereka berteriak-teriak, “Bubarkan Aspri”, “Soedjono Hoemardani Makelar Jepang”, “Ali Murtopo Calo Politik”, “Jepang Merusak Indonesia”. Mereka ini, terinpirsai gerakan mahasiswa di Thailan yang bisa menumbangkan kekuasaan dikator militer PM Thanom Kittikachom. Di depan kantor Ali Moertopa, para pemuda membakar patung Tanaka dan Soedjono Hoermardani. Tidak tangung-tanggung, mereka didukung oleh jendral Soemitro.

Gerakan yang kemudian dikenal dengan Malari ini mampu melibatkan rakyat miskin perkotaan Jakarta. Kantor dan Show room Toyota Astra di Jl. Jendral Sudirman dan pabrik Coca Cola di Jl Cempaka Putih, dibakar dan dijarah oleh massa Rakyat. Kerusuhan ini kemudian merambet ke isu anti-Tionghoa. Pertokoaan Tionghoa di Golodak di jarah massa, pertokoaan Proyek Senen habis dibakar dan dijarah. Malam harinya, dengan terbata-bata dan gementar, Hariman—pimpinan mahasiswa— muncul di TVRI, menyerukan agar aksi itu dihentikan, karena sudah melenceng dari keinginan mahasiswa.

Lama sekali, setelah peristiwa malapetaka 15 Januari itu, mahasiswa tidak keluar ke jalan. Entah apa yang sedang mereka kerjakan di dalam kampus. Setelah hampir empat tahun mendekam dalam kampus, akhirnya mereka keluar juga. Sungguh mengagetkan apa yang mereka bawa, meminta adanya pergantian pimpinan nasional, mereka emoh dengan Suharto.

Setelah tahun 1978, mahasiswa dikandangkan. Pagar yang melingkupi mereka tertancap dengan kuat, NKK/BKK. Sebagian dari mereka pergi ke luar negeri, mengais-ngais ilmu disana, siapa tahu dapat digunakan bekal hidup. Sebagian lagi menjadi mahasiswa baik-baik, peraturan baru membuat mereka harus cepat lulus. Sebagian lagi bergerombol di kamar-kamar kost, entah apa yang mereka bicarakan. Sebagian lagi mendirikan LSM-LSM. Lama mereka mengurung diri di dalam kampus-kampus. Sebagian besar mimpi mereka sekarang adalah cepat lulus, dan setelah itu mengabdi pada nusa dan bangsa.

Penindasan-penindasam rejim yang dilakukan kepada Rakyat, semakin menusuk. Di Tanjung Priok, ratusan orang hilang sampai saat ini, setelah dengan brutal rejim menghabisi mereka. Sementara, demi pembangunan, tanah-tanah Rakyat di gusur. Pengusuran terbesar muncul di Kedung Ombo. Rakyat mulai menyadari, bahwa hak-hak mereka dilucuti.

Kalau sebelumnya mahasiswa yang melawan, periode ini gilaran pemuda desa dan kota yang mulai membakar perlawan. Di kota, pemuda melawan penidasan terhadap mereka. Mereka sebagian kaum perkotaan yang terus didesak oleh proses pembangunan Orba. Sementara di pedesaan, para pemuda melawan pengusuran dan perebutan lahan. Sementara mahasiswa masih di dalam kampus.

Rakyat ternyata telah melawan. Mulai mereka (mahasiswa) berbicara dengan Rakyat, dan kemudian sama-sama melakukan perlawanan. Para mahasiswa ini mulai sadar, bahwa penyebab semuanya ini adalah MODOL, dan penjaganya adalah TENTARA. Inilah yang kemudian menjadi pondasi perjuangan menumbangkan Soeharto.

Penutup

Itulah sekelumit kronik perjuangan pemuda dalam kurun zaman dan sejarah. Kronik tersebut berusaha memberikan gambaran tentang peran pemuda di republik ini. Apabila ditarik garis merah kita bisa melihat apa yang dilawan pemuda:

Perlawanan menentang kolonialisme. Para pemuda maju di depan untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Awalnya mereka melawan dengan tulisan, lantas dengan organisasi dan kemudian dengan revolusi fisik dan sosial. Muara dari perjuangan ini adalah membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajah. Dan selakigus merevolusi jiwa, dari jiwa jajahan menjadi jiwa meredeka. Maka lahirlah proklamasi 17 Agustus 1945.

Perlawanan melawan kapitalisme. Para pemuda mengorganisasikan diri melawan rejim kapitalis yang diktator. Ini terjadi pada masa Orba. Kekuasaan yang mengekang kebebasan politik telah membuat para pemuda gerah dan kemudian melawan. Perlawan mereka ini bermuara pada penggulingan Soeharto, 1998.

Dalam setiap fase perlawanan, para pemuda selalu dipandu oleh ideologi, politik dan organisasi sesuai dengan zamannya. Semenjak awal, pemuda sangat menyadari pentingnya ideologi sebagai kompas gerakan. Mereka mempelajari berbagai macam teori ideologi yang berkembang pada zamannya untuk kemudian dibumikan di negaranya. Para pemuda juga sadar bahwa keterlibatan mereka dalam perlawan merupakan bentuk perjuangan politik. Artinya perubahan yang dilakukan bertujuan untuk mengubah struktur masyarakat yang menindas menjadi masyarakat yang bebas.  Oleh karena itu, sebagai alat perjuangan mereka mendirikan berbagai macam organisasi politik dari yang moderat sampai yang revolusioner.

Saat ini yang dilawan pemuda itu belumlah sirna. Kolonialisme kini merubah baju menjadi kapitalisme—yang sekarang dengan baju paling baru, neo-liberalisme/nekolim.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *