“Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan meski ditikam dalam-dalam, tak bisa kulupakan.”
Petilan sajak di atas merupakan karya penyair WS Rendra. Manusia memang tak bisa melupakan hutan. Sejak purba, hutan adalah karibnya. Dari hutan-hutan di Afrika, manusia memulai evolusinya menuju sapiens.
Di hutan manusia hidup, mengembangkan teknologi—dari berburu dengan batu hingga menggunakan lembing, dari meramu hingga bercocok tanam—beranak pinak, berpikir tentang sang Pencipta, mati dan dikubur. Di hutan manusia mengenal nama hewan dan tumbuhan, serta mengubahnya menjadi peternakan dan pertanian.
Keintiman manusia dengan hutan kemudian dipangkas oleh dunia modern. Dalam dunia modern manusia melepaskan diri dari hutan dan memandang hutan sebagai obyek semata. Kapitalisme terus-menerus menyapih manusia dari hutan. Hutan telah berubah menjadi bagian industri. Pohon-pohon ditebangi dengan mesin-mesin. Hewan-hewan terusir. Juga manusianya: para pemangku hutan sosial dan hutan adat.
Namun begitu, sebagaimana sajak WS Rendra: “Tak bisa kulupakan hutan.” Sebagai bawaan lahir, hutan telah menyatu dalam dirinya. Manusia tak bisa melupakannya. Abad modern juga mulai menyadari kesalahannya. Tumbuh kesadaran baru bahwa manusia sudah terlalu kebablasan merusak rumahnya sendiri: hutan.
Kita tentu berduka ketika deru mesin menggantikan nyanyi burung kausari dan lengking beruk. Kita ikut ngeri ketika panas bumi semakin naik karena paru-parunya semakin keropos. Namun kita tak bisa meratap saja. Usaha untuk mencegah bencana mesti dilakukan. Hutan mesti dikembalikan kepada manusia.
Setahun ini, upaya Kementerian Kehutanan mengembalikan hutan kepada masyarakat perlu diapresiasi. Kementerian Kehutanan telah berada di rel yang tepat, berada di sisi rakyat. Selama setahun, telah didistribusikan Perhutanan Sosial seluas 8.323.671 hektare . Rinciannya meliputi 11.065 SK dengan penerima manfaat sebanyak 1.420.189 kepala keluarga. Selain itu juga terbentuk 15.754 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial. Konsep ini akan meningkatkan produktifitas masyarakat sekitar hutan. Selain menjaga hutan, mereka juga bisa berproduksi untuk mengangkat kondisi perekonomian. Oleh karena itu, program ini perlu didorong lebih progresif lagi.
Dalam hal hutan adat, selama setahun ini juga terjadi lompatan. Hanya dalam tujuh bulan pertama (Januari sampai Juli 2025), Kementerian Kehutanan telah berhasil menetapkan 70.688 hektare hutan adat baru. Sampai akhir tahun 2025 ditargetkan lagi penambahan hutan adat sebanyak 70.000 hektare. Secara keseluruhan, dari tahun 2016 hingga pertengahan tahun 2025, ada sekitar 400.000 hektare hutan adat.
Langkah perluasan hutan adat merupakan upaya yang tepat. Masyarakat adat adalah penjaga hutan kita secara turun temurun. Mereka sudah mengembangkan pola hidup dalam menjaga ekosistem hutan agar tetap lestari. Dalam gempuran industri kapatilisme yang terus-menerus mencabut hutan, maka langkah melindungi dan memperluas hutan adat sudah tepat dan perlu ditingkatkan agar semakin meluas.
Baiklah. Itu semua soal angka-angka. Bisa ditambah atau dikurangi. Yang penting dari semua itu adalah tumbuhnya kesadaran dalam pemerintahan Prabowo-Ginbran melalui Kementerian Kehutahan, bahwa hutan adalah rumah kehidupan. Selama ini kita ada dalam pola pikir antroposentris, manusia sebagai pusat semesta. Inilah yang menjadi cikal bakal eksploitasi alam, termasuk terhadap hutan. Program hutan sosial dan hutam adat merupakan upaya untuk mengikis cara berpikir antroposentris itu. Manusia dikembalikan sebagai bagian dari hutan, bukan pengeksploitasi maupun pengngrusak, tapi pemelihara.
Dalam dunia wayang ada gunungan. Gunungan merupakan simbolisasi bersatunya jagad alid (mikrokosmos) dengan jagad ageng (makrokosmos). Wujud penyatuan tersebut adalah hutan. Bumi boleh gonjang-ganjing, tapi selama keduanya menyatu, ia akan tetap berada di porosnya. Dan, Jepang menjalankan prinsip ini.
Dalam memelihara lingkungan, Jepang tumbuh menjadi negara industri maju tanpa harus meninggalkan tradisi Tokugawa. Tak mengherankan, dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan industrialisasi yang berkembang pesat, hampir 80% luas Jepang terdiri dari pergunungan berselimut hutan lebat. Hutan-hutan tersebut yang terus dipelihara dengan baik menjadi penyangga pasokan air dan membersihkan Jepang dari polusi udara. Ini bukan berarti Jepang tak membutuhkan kayu, tetapi mereka berhasil membuat hutan produksi yang dijaga secara mikro dan ketat.
Sebagaimana lagu Ebiet G. Ade “mumpung masih ada kesempatan buat kita” dalam memelihara hutan kita, maka kerja keras dibutuhkan. Dan, Kementerian Kehutanan adalah tulangpunggungnya.
Akhirnya, seperti Sajak Matahari karya WS. Rendra:
“Satu juta lelaki gundul keluar dari,
hutan belantara.
Tubuh mereka terbalut lumpur dan
kepala mereka berkilat memantulkan
cahaya matahari.
Mata mereka menyala dan tubuh
mereka menjadi bara
Mereka membakar dunia.”***