Politik bukan soal kalah menang di panggung debat, tapi soal bagaimana orang mau bergabung dengan kita, bahkan lawan sekali pun. Itulah yang diperlihatkan Gibran. Hadirnya Gibran membawa wajah baru dalam perpolitikan kita. Ia politisi muda, bukan bagian dari generasi boomers yang suka gontok-gontokan di mimbar, yang sudah merasa bangga ketika mengalahkan lawan dalam debat. Gibran memperlihatkan kualitas yang lain. Gibran menunjukkan kualitasnya sebagai politisi dengan filosofi “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpa ngasorake”(Mengalahkan lawan tanpa keroyokan dan merendahkan).
Gibran masih muda, tapi sudah memiliki kewaskitaan tingkat tinggi. Terhadap lawan sekali pun lehernya tak pernah berurat, matanya tak pernah mendelik dan tangganya tak pernah menunjuk-nunjuk. Suara Gibran selalu datar dengan wajah setenang airan sungai yang mengalir dari pegunungan. Dalam menghadapi Roy Suryo cs yang menggerunduk makam kakek neneknya, Gibran menunjukkan kelasnya sebagai politisi papan atas yang sangat matang.
Terhadap polah Roy Suryo cs, Gibran tak menyebutnya “teroris”, “biadab” atau bentuk-bentuk makian yang lain. Gibran hanya mengucapkan “terima kasih.” Suatu bentuk kematangan politik yang luar biasa. Jarang dimiliki oleh yang lain.
Terhadap orang yang telah merendahkan martabat keluarganya dalam beberapa tahun terakhir ini, Gibran tetap “nguwongke (memanusikan)” dan “ngajeni (menghormati)”. Hanya orang yang sudah matang secara politik yang bisa berperilaku seperti ini. Manusia “normal” tentuk akan “muntab (emosi)” dan “ngamuk (marah).” Sementara Gibran membela keluarganya dengan cara yang tak pernah terpikirkan oleh manusia “normal.”
Gibran tahu betul cara “menundukkan” lawan. Ia tak mau mengalahkan lawan dengan cara “ngasorake (merendahkan).” Ia meniru bapaknya, Jokowi, dengan cara yang tak kalah piawai. Gibran tahu betul, masyarakan kita tak suka dengan cara-cara merendahkan orang lain, sekalipun itu lawan politik.
Kita ingat bagaimana kata-kata Megawati kepada Jokowi: “Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. Lah iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga duh kasihan dah.” Hasilnya, suara Banteng ambrol dan kalah dalam Pilpres.
Kita ingat kata-kata Anies Baswedan kepada Prabowo: “11, Mas, dari 100.” Penggalan kata-kata Anies yang merendahkan Prabowo itu tersebur sampai ke desa-desa. Simpati kepada Prabowo membludak dan memberikan suaranya di bilik suara. Dan, Anies kalah telak.
Politik bukan sebatas kita bisa mematahkan argumen lawan di pangung-panggung talk show, tetapi bagaimana rakyat menganggap kita adalah teman mereka.
Orang-orang saleh mengajarkan banyak hal bahwa segala sesuatu tak harus diselesaikan dengan pedang, urat leher yang mencuat dan suara bariton. Dalam perjalanan menuju masjid, Nabi Muhammad dilempari kotoran oleh seorang nenek warga Yahudi. Hampir setiap hari nenek itu melakukan hal yang sama kepada Nabi. Marakah Muhammad sang Rasulullah? Ketika suatu hari Nabi lewat di depan rumah nenek dan tidak mendapati sang nenek melemparinya dengan kotoran, Nabi bertanya kepada para sahabat. Mereka menjawab kalau nenek itu sedang sakit. Selepas dari masjid, Nabi langsung menjenguk nenek itu dan mendoakan kesembuhannya. Ketika Cak Nun terbaring sakit, Jokowi orang yang pertama menjenguknya walaupun pernah disebut Firaun. Cara seperti seperti inilah yang ditiru Gibran dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Dan terbukti jitu. Tak perlu makian, cukup kata “terima kasih.”
Sudah sering kita dengar bahwa dalam politik “seribu kawan masih kurang, satu lawan terlalu banyak.” Tujuan kita mengajak orang bergabung dengan kita sekalipun itu lawan. Dan agar ini berhasil bukan dengan cara “ngasorake”/ merendahkan orang lain, sekalipun itu musuh kita.
Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Gibran. Survei membuktikan, popularitas Gibran terus menanjak. Sebab ia tak pernah “ngasorake” dan selalu “nguwongke” orang lain. Dan, orang kebanyakan memberikan simpati kepadanya. Ia tak pernah ditelanjangi karena kata-katanya. Ia selalu dikerumi dalam setiap keberadaannya.
Itulah Gibran Rangkabumi Raka. Orang boleh menyebutnya “bocil”, tapi ialah politikus paling matang hari ini. ***