J muncul ketika kepengurusan DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diumumkan di Djakarta Theater, 26 September 2025. Orang banyak bertanya, dan ini wajar, tentang sosok J. Dari bisik-bisik sampai suara nyaring mencoba menebak apa dan siapa J. Ada yang menebak J adalah Jokowi, sementara di kalangan lain J adalah Jeferson, di dunia campursari dan dagelan J dipersonifikasi menjadi Jo Klutuk dan Jo Klitik. Apapun itu, J menjadi magnet dalam perbincangan politik hari ini.
Kalau melihat J sebagai obyek, seperti kata filsuf Jerman, Theodor Adorno, selalu ada yang turah. Kita tak bisa menangkap obyek secara utuh. Ada bermacam sudut pandang yang menyebabkan obyek tidak bisa satu. Ada beribu tafsir di dalamnya. Dan itu biasa-biasa saja.
Tapi ada yang luput dari semua pembicaraan itu. Sejak era raja-raja, orang memang terpaku pada sosok. Saat itu, sosok merupakan hal sentral karena pengejawantahan dari Tuhan. Maka ada istilah “sabdo pandito ratu“, titah raja adalah sabda Tuhan yang tak bisa dibengkokkan. Maka sosok yang ideal adalah Yudhistira, raja yang sekaligus pandita. Namun, dalam dunia modern, semua itu menjadi lumer. Dalam babad modern manusia menemukan bahwa dirinya setara. Tak ada darah biru. Semua darah adalah merah. Sejak itu orang bicara pikiran, bukan berfokus pada sosok.
Roland Barthes mengenalkan istilah The Death of Author, Matinya sang Pengarang. Inilah era ketika teks yang paling penting untuk dibedah, bukan pengarangnya yang telah mati. Sosok pengarang dipinggirkan, apakah ia seorang bromocorah, pelacur, pendeta atau seorang raja, tidaklah penting lagi. Pada akhirnya yang berbicara kepada kita adalah teks.
Pada suatu malam, seorang sufi berjalan di tengah hujan yang rintik. Seekor anjing kampung hendak melintas di dekatnya. Sang sufi langsung mengangkat jubahnya, takut kecipratan kotoran. Anjing itu sembari lewat berkata, “Najis dari diriku dengan mudah bisa kau bersihkan. Tapi najis di hatimu tak mudah kau bersihkan”. Sang sufi yang mendapat sindirian dari seekor anjing itu, terperanjat. Ia sadar telah melakukan kesalahan. Ia tidak melihat siapa sosok yang berbicara, apakah seekor anjing atau seorang padri. Ia hanya berpatok pada teks, isi perkataan. Bahwa sebuah kebenaran bisa dibawa oleh siapa saja.
Oleh karena itu, J bukan sekadar sosok. Ia nilai yang menjadi panduan dalam gerak. Setiap sosok bisa saja mati, tapi nilai akan terus hidup. Sudah ratusan tahun yang lalu Mpu Tantular tiada, namun ajarannya tentang Bhineka Tunggal Ika tetap dipakai hingga hari ini. Kitalah yang memberi makna pada setiap nilai yang menjadi panduan dalam hidup. Nilai itulah yang menjadi pegangan.
Selain itu, J adalah elan vital. Filsuf Prancis, Henri Bergson mengenalkan istilah itu. Dalam bahasa kita, ia berarti semangat hidup. Dalam konteks partai, ia semangat perjuangan. Inti dari semangat perjuangan adalah kerja keras. Setiap kerja keras membutuhkan keteguhan dan kekonsistenan dalam setiap tindakan.Itulah kenapa kita membutuhkan elan vital.
Pada akhirnya, sebagaimana puisi Chairil Anwar, Persetujuan Dengan Bung Karno, antara PSI dan J:
“Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh.”***