Jabalgading Paper
(Analisa Awal Upaya Makar dan Kontra Makar di Ujung Agustus 2025)
Penjarahan Musium Bhagawanta di Kediri pada huru-hara pada tanggal 30 Agustus, mengingatkan hal serupa puluhan tahan lalu ketika Saddam Hussein digulingkan oleh Amerika Serikat. Saat itu terjadi penjarahan musium yang berisi warisan Sumeria dan Mesophotamia. Mengapa musium? Di tempat itulah ingatan sebuah bangsa disimpan. Inilah pola-pola Nekolim (Neo Kolonialisme/Neo Liberalisme) dalam menghancurkan sebuah bangsa yang tak mau tunduk pada kehendak mereka.
Serangkain huru hara ini memperlihatkan cara kerja Nekolim sebagaimana mereka lakukan tahun 1965 ketika menggulingkan Sukarno yang Kiri. Tentu saja Nekolim memiiliki antek-anteknya di Indonesia. Bagaimana cara kerja mereka?
Cara kerja agen-agen Nekolim
Pertama, propaganda adu domba. Ada upaya adu domba antara Prabowo, Jokowi dan SBY. Upaya-upaya itu dengan mudah bisa kita lihat di media sosial. Mereka berusaha menciptakan opini bahwa hura-hara ini dilakukan oleh Jokowi dan SBY untuk mendongkel Prabowo. Logika yang mereka sodorkan, bila Prabowo lengser maka Gibran akan menggantikan Prabowo dan AHY akan naik menjadi wakil presiden. Bila kita membuka X, IG atau tik tok, propaganda semacam ini cukup masif. Mereka juga, dengan gaya ala Denny Siregar mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang seolah-olah lugu seperti orang bangun tidur: “Apa benar Kaesang gak ada di konferensi press?”, “Kabarnya Gibran gak ada di sidang kabinet?, “Tumben Jokowi tidak diwawancarai” atau” Makanya Megawati mau datang karena gak ada Gibran dan Kaesang.” Seorang bocah yang baru disunat pun paham arah pertanyaan dan pernyataan seperti itu. Setelah diberi penjelasan yang sebenarnya, mereka akan diam dua ribu bahasa karena tujuan mereka bukan untuk mendapatkan jawaban.
Kedua, membenturkan tentara dengan polisi. Mereka memakai bahasa “ijo” vs “coklat”. Dalam propaganda antek-antek Nekolim ini, coklat digambarkan sangat rakus, mengusai berbagai bisnis hingga judi online. Coklat juga digambarkan pro Jokowi. Oleh karena itu, bagi mereka Kapolri perlu diganti dan polisi perlu direformasi. Adu dombo ala “londo ireng” cukup masif pula di media sosial.
Ketiga, mereka terus-menerus memompa amarah massa untuk melakukan kerusuhan. Mereka akan memuji massa bila merusak fasilitas publik. Bila ada orang yang menghedaki sitituasi yang damai, akan segera dituduh pendengung pemerintah. Cara cara kerja ini persis ketika terjadi Arab Spring, yaitu menyebarkan konten-konten provokasi melalui media sosial. Maka ketika tik tok mengahapus konten live, mereka kelimpungan. Saluran provokasi mereka menjadi berkurang. Dengan mudah mereka mengatakan sebagai ulah geng Solo.
Keempat, mereka mati-matian menolak bahwa ada keterlibatan asing dalam aksi huru hara ini. Seolah-olah mereka menjadi orang lugu bahwa semua ini karena amarah massa akibat kebijakkan pemerintah dan DPR. Dengan mati-matian, Pak Chaplin membantah kalau ada keterlibatan asing dalam huru-hara ini. Pak Chaplin memang punya kepentingan kalau huru-hara tak bisa dipadamkan. Konon ada desa-desus kalau Pak Chaplin dijanjikan akan berpasangan dengan Putri Mahkota kalau operasi ini berhasil. Padahal kalau sedikit saja mau memakai MDH, sejak zaman Singasari sampai hari ini, asing selalu terlibat dalam setiap perubahan. Indonesia adalah surganya sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara Nekolim.
Kelima, jauh jauh hari sebelum huru hara ini, agen-agen Nekolim berusaha mendegradasi program-program Prabowo. Dari mulai hilirisasi sampai Makan Bergizi Gratis (MBG). Salah satu program yang sering menjadi sasaran adalah MBG. Kasus keracunan yang terjadi di beberapa daerah, mereka besar-besarkan. Tujuannya agar program ini dibatalkan. Dengan gagah perkasa mereka berkata, “Kami pembayar pajak tidak rela uang kami digunakan untuk program MBG yang meracuni.” Saking pongahnya mereka lupa, bahwa jutaan orang-orang di kampung yang sangat bersyukur dengan program MBG sampai-sampai meneteskan air mata ( kalau manusia boleh menuhankan Tuhan selain Allah, bisa jadi mereka akan menuhankan Prabowo sebagai wujud terima kasih) adalah juga pembayar pajak yang taat. Tapi agen-agen Nekolim yang rata-rata kelas menengah perkotaan merasa bahwa mereka paling “pajakis”, “pembayar pajak kelas utama.” Bagi mereka yang penting MBG gagal, bukan memikirkan bagaimana agar program yang sangat membantu rakyat miskin keluar dari stunting dan kesulitan makan ini bisa berjalan dengan baik dan sekaligus memperbaiki kekurangannya. Dari Kupang dan ujung Tanah Air yang lain ada suara jernih para pelajar yang selama ini tidak pernah menikmati makanan yang layak–bisa makin daging bila ada kondangan–sangat berterimkasih dan sangat bersyukur dengan adanya MBG. Tapi bagi agen-agen Nekolim sumua itu hanya nonsense.
Pelajaran dari Mursi (Arab Spring)
Mursi, presiden Mesir yang terpilih secara demokratis itu, akhirnya digulingkan oleh Nekolim. Mursi mengikuti satu-satunya prosedur yang dihalalkan oleh demokrasi borjuis guna berkuasa: Pemilu. Sewaktu Nasser masih jaya, Ikhwanul Muslimin [IM] mengambil jalan perjuangan bersenjata, tanpa kenal lelah. Kader-kader mereka banyak dibui. Hampir saja IM tumpas. Organisasi berantakan.
Lalu Anwar Sadat muncul: membuka sedikit demokrasi. IM memutar haluan dengan memilih jalan parlementer. Mereka membangun partai untuk bertarung dalam Pemilu. “Pimpinan gerakan yang berasal dari ‘generasi penjara’,” tulis Greg Fealy, dkk, dalam Zealous Democrats: Islamism and Democracy in Egypt, Indonesia and Turky, “melihat keuntungan dalam aktivisme elektoral yang memungkinkan gerakan ini mengiklankan kehadirannya di masyarakat dan mengungkapkan pesan reformasi tanpa, di saat yang sama, bersitegang secara langsung dengan rezim.” Taktik IM ini jitu. IM membangun struktur partai secara luas. Memang, dalam kondisi organisasi lemah, tak ada untungnya bertarung secara langsung dengan kekuasaan otoriter yang mengurita. Mereka mencoba lentur mengikuti irama gendang yang ditabuh penguasa. Adanya celah demokrasi, walaupun seiprit, perlu dimanfaatkan. Sudah tepat. Tapi ada satu yang dilupakan oleh IM. Apa itu? Nanti akan dimunculkan.
Yang ditanam IM berbuah. Ketika kediktatoran Mubarak berhasil dirubuhkan oleh Revolusi, sebuah Pemilu paling demokratis pertama digelar di negeri Fir’un itu. Mungkin hasilnya mengejutkan bagi Nekolim: IM menang dalam Pemilu parlemen dan presiden. Sejak awal Nekolim mengendaki presiden boneka, tapi sejarah berkata lain.
Dan, demokrasi borjuis mulai memunggungi ajarannya sendiri. Ketika yang menang yang tak dikehendaki Nekolim, kekuasaan yang sah mulai dirongrong. Mursi dan IM, seperti Iran, tak disenangi oleh bangsa-bangsa dari Barat. Mereka mau mengatur negara menurut kehendak mereka sendiri, tak mau patuh dan tunduk pada keinginan tuan-tuan dari Barat. Maka sebelum terlambat seperti di Venezuela, mesti dicari jalan untuk menggulingkannya.
Kita tentu ingat Salvador Allende. Dokter bersahaja itu berhasil memenangkan Pemilu di Chile. Ia ingin sosialisme. Tentu saja Amerika tak suka. Ia digulingkan pula oleh Nekolim dengan sandi “Operasi Jakarta.”Kepalanya pecah ditembak tentara di dalam istananya. Hugo Chaves juga mengikuti prosedur borjuasi, ikut Pemilu dan menang. Ia ingin membawa Venezuela keluar dari kemiskinan dan hisapan kapitalis. Ia sempat digulingkan oleh agen-agen Nekolim karena dianggap membahayakan. Tapi, Chaves berhasil merebut kembali kekuasaannya.
Kala itu, ada tempik sorak di kalangan kiri di Indonesia atas penggulingan Mursi—persis terjadi saat ini ketika terjadi hura-hura di Indonesia;mereka bersuka cita ketika ada fasiltas publik dihancurkan, polisi dikejar-kejar, rumah pejabat dijarah, dengan lekas mengambil gawai, menyebarkan di grup-grup WA dengan militansi revolusioner tua; mereka sangat menikmati ketika rakyat panik dan ketakutan sebagaimana psikopat yang menikmati korbannya yang mengerang kesakitan; sepertinya mereka penganut kemanusian Keluarga Polk, ketika kawan/seniornya sendiri akan mereka lindungi dengan alasan profesionalisme, sementara kalau bukan bagian dari mereka akan dinjak-injak sebrutal-brutalnya—Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai kemanusian limited. Sulit mengukur apa di benak orang-orang Kiri yang seperti itu.
Lantas apa yang dilupakan oleh Mursi, IM [dan Allende]? Sejak memilih jalan parlementer, IM benar-benar menanggalkan perjuangan bersenjata. Terperangkap bahwa demokrasi borjuis akan benar-benar demokratis, tak akan main kayu. Lupa Nekokolim selalu mengintai. Maka, ketika dalam situasi krisis, Mursi, IM [dan Allende] tak siap. Dalam hitungan jam mereka bisa digulingkan oleh agen-agen Nekolim. Chaves tak meninggalkan itu. Ia punya milisi bersenjata yang siap untuk melawan agen-agen Nekolim yang hendak menggulingkannya. Sebab itu, Chaves berhasil bertahan.
Di sinilah Mao benar: kekuasaan ada di ujung laras bedil.
Strategi “kutuk marani sunduk.”
Mengapa aksi huru-hara ini bisa meledak akhir Agustus? Prabowo sudah tahu ulah Nekolim dan antek-anteknya akan menciptakan hura-hura pada awal September. Dalam setiap pidato, bahkan ketika huru-hara sedang terjadi, Prabowo selalu mengingatkan adanya upaya untuk adu domba yang dilakukan pihak asing dan antek-anteknya.
Tiga bulan sebelum hura-hara pecah hari ini, Prabowo sudah mengetahui bahwa ada rencana besar-besaran untuk mobilisasi massa ke Jakarta. Agen-agen Nekolim sudah keliling Jawa, Sumatera dan Kalimantan untuk memobilisasi massa ke Jakarta pada awal September. Oleh karena itu, sebelum mobilisasi terjadi, diledakanlah terlebih dahulu. Dengan begitu, mobilisasi bisa digagalkan dan rencana mereka buyar. Terlihat jelas,aksi beberapa hari ini tak ada kepemimpinan dan garis komando. Opisisi pun juga kebingungan dan tak mau mengambil kepemimpinan politik.
Ada pertanyaan, mengapa aksi huru hara terkesan dibiarkan? Apakah karena Prabowo kebingungan menghadapi keadaan? Tokoh Kasebul seperti Made Toni—yang setahun ini paling rajin mendegradasi Prabowo—mengatakan dalam propagannya bahwa Prabowo tidak punya kemampuan kepemimpinan. Tentu jawabannya bukan itu.
Prabowo memakai strategi “kutuk marani sunduk/ ikan kutuk mendatangi tusuknya.” Prabowo membiarkan para kuthuk (agen-agen Nekolim) mendekati tusuknya sendiri. Mereka digiring untuk menuju kematiannya sendiri. Startegi Prabowo ini merupakan strategi khas Sandi Yudha untuk memerangkap lawan-lawan politik yang merupakan agen-agen Nekolim.
Sudah diketahui, Prabowo dan Luhut Binsar merupakan pendiri Satgutor 81, pasukan anti teror dan kontra terorisme yang oleh dunia diakui sebagai yang terbaik. Tentu Prabowo bisa dengan cepat dan mudah membaca arah huru hara kali ini dan sekaligus melakukan aksi kontra makar dalam senyap. Musuh pun mati kutu. Maka “Emak-emak Baju Merah” pun mau tak mau harus nurut. Di Baret Merah, Prabowo sudah semacam dewa. Prabowo bilang hitam, Baret Merah akan bilang hitam.
Bila kita ingat Peristiwa Tianamen, itulah strategi “kutuk marani sunduk” yang sukses. Deng Xiaoping memancing agen-agen Nekolim di Lapangan Tianamen. Diledakkan di lapangan itu. Setelah itu, Deng tinggal menyapu bersih. Nekolim dan agen-agennya kocar-kacir lintang pukang lari ke berbagai negara minta suaka politik. Barat berhasil dikalahkan hanya bisa koar-koar pelanggaran HAM etc. Seperti kita tahu, sekarang Tiongkok bisa membangun sosialismenya dengan tenang. Bila tak ada Peristiwa Tianamen, kita tak akan bisa melihat Tiongkok menjadi raja dunia seperti saat ini. Dan itulah kejeniusan Deng yang sekarang jejaknya coba diikuti Prabowo. Sudah diketahui publik, Prabowo adalah pembaca buku sejarah yang tekun. Dia sudah paham sejarah masyarakat dan revolusi dunia. Semoga, setelah ini bangsa Indonesia bisa melompat jauh ke depan sebagaimana Tiongkok.
Satu-satu agen Nekolim masuk dalam perangkap. Pertemuan agen-agen Nekolim di pindah dari rencananya di Jakarta bergeser ke Singapura pada tanggal 30 Agustus 2025. Begitu sadar, mereka segera membersihkan diri. Lingkaran-lingkaran Kasebul yang ikut di dalam pertemuan—seorang pengusaha papan atas berkepala plontas yang selama ini menempel Pak Caplin—segera sembunyi. Seperti kita tahu, Kasebul tidak suka dengan Prabowo yang diberi cap “tentara hijau”. Tentu mereka menumbalkan “anak Priok” dan beberapa pemain peran yang tak penting itu. Tapi tentu Prabowo sudah tahu titik dan komanya. Setelah ini Prabowo tentu akan membersihkannya. Kita tunggu hari H jam X-nya.
Dari lingkaran Prabowo sendiri, kita sudah bisa melihat siapa saja yang datang dan tidak diundang dalam pertemuan maraton di Hambalang dari tanggal 29-30 Agustus. Sudah ceto welo-welo siapa yang biasanya menempel Prabowo sampai hari belum diketahui keberadaannya. Tak perlu lagi diuaraikan. Juga, dari konferensi pers Prabowo pada tanggal 31 Agustus dengan ketua parpol dan pimpinan lembaga negara, kita bisa melihat mana saja wajah-wajah yang tampak seperti “kucing yang ketangkap basah mencuri pindang” yang mau melakukan makar (dalam bahasa Prabowo). Sudah ceto welo-welo juga. Tak perlu diperjelas.
Setelah ini
Apa yang terjadi kurang lebih satu minggu ini, merupakan takdir sejarah yang mesti ditanggung oleh Prabowo ketika hendak menata ulang formasi kapitalisme Indonesia. Dalam upanya itu, pasti ada upaya-upaya dari borjuasi reaksioner yang korup melakukan serangan balik. Dalam upaya Prabowo untuk mengkonsistekan kapitalisme Indonesia yang bertumpu pada industrialisasi nasional, kemandirian pangan serta energi, dan program untuk rakyat jelata seperti sekolah rakyat dan MBG, tentu akan selalu ada serangan dari agen-agen Nekolim. Dan, hari sudah terjadi. Para kaum—dalam istilah Prabowo sebagai kaum “serakahnomic”— tentu tak tinggal diam ketika kepentingan ekonomi politiknya diganggu. Maka mereka mensposori huru hura di berbagai daerah.
Akhir dari semua ini adalah formasi baru kapitalisme Indonesia dengan elemen-elemen borjuis progresif dan menyingkirkan borjuasi reaksioner. Negara dikembalikan pada relnya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, bukan lagi sarang gurita oligarki serakah.
Prabowo mempunyai obsesi untuk membangun Sosialisme ala Indonesia. Dan, Barat beserta agen-agennya akan selalu mengganjalnya. Kita tinggal memilih: bersama Prabowo atau bersama antek-antek Nekolim.***